Final Fantasy
IX Original Story © Square Soft / Square Enix
Story Fiction © Fariz Azmi
Evil Forest, tempat dimana Prima Vista jatuh. Mereka tidak
menyesalinya, karena ini adalah pekerjaan bagi mereka, Tantalus. Dengan santai
Baku memerintah selagi dia mencari barang yang bisa digunakan. Benar, kapal itu
memang hancur, api dimana-mana.
"Zidane!
Aku tak menyangka kau masih hidup!" Cinna berbicara lega setelah melihat
Zidane yang entah darimana muncul dari balik pohon berwarna hitam itu,
"Aku tidak percaya kau lompat dari kapal! Kau memang sudah gila, kau tahu
itu?" Cinna tertawa terbahak selagi melihat Zidane yang masih terlihat bingung
disana.
"Aku
tidak melompat, bodoh! Aku terlempar karena tabrakan tadi," ia kembali
mengedar pandang ke sekitar kapal yang sedang terbakar itu, berpikir tentang semua anggota Tantalus yang berada di
kapal itu, "Jadi, semuanya baik-baik saja, 'kan?"
"Baik-baik
kepalamu itu!" Cinna menjitak kepala Zidane yang terlihat memang seperti
ingin dijitak itu, memangnya dia tidak bisa melihat jika seluruh kapal sedang
terbakar? Yah, itulah Zidane, "Coba kau lihat sendiri kapal yang sedang
terbakar ini, apa kau masih bisa bilang baik-baik saja, huh?" Dia kembali
lagi masuk ke badan kapal yang berlubang karena tabrakan, Zidane mengikuti dari
belakang.
"Jadi?"
Cinna
tahu apa yang Zidane pikirkan, ia tahu persis apa yang sedang ada di kepala
Zidane, "Tenang, kita semua dapat sebuah keberuntungan dari iblis, tidak
ada yang mati," ia mengambil sebuah kotak disana, lalu mengeluarkannya.
Menatap Zidane yang masih belum puas dengan jawabannya, "Namun kalau kita
tidak bisa menemukan Putri Garnet, kita akan dipanggang di dalam kapal
ini."
"Baiklah!"
Seperti
biasa, tebakan Cinna memang benar, hanya ada gadis yang dipikirannya -selain
Ruby tentunya, setelah mendengar jawaban itu dari Cinna, Zidane segera menuju
hutan, mencari keberadaan Garnet yang sedang hilang, begitu juga dengan
Steiner, si Kapten yang bodoh itu, dan juga Vivi.
Ia
berjalan menyusuri kembali tempat dimana ia terjatuh, 'pasti tidak jauh-jauh
dari sini'. Menyusuri hutan sendirian bukanlah hal yang tidak menakutkan, itu
tidak menjadikan semangat Zidane surut disana, setelah melihat sebuah bukit
kecil, Zidane melihat Vivi dan Steiner, tapi dimana Garnet?
Mereka
berdua pingsan, terlihat bukan seperti pingsan karena tabrakan yang terjadi
tadi, namun karena sesuatu lain. Zidane masih berpikir dimanakah keberadaan
Garnet sekarang? Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana keadaannya sekarang?
Namun semua pikiran negatif itu ia singkirkan jauh-jauh, melihat Steiner dan
Vivi masih hidup, ia berpikir kalau Garnet juga masih hidup.
---
Setelah
itu, dibantu oleh Blank, membawa Vivi menuju sebuah ruang di Prima Vista yang kini sudah tidak
terbakar lagi, tentu saja sebelumnya mereka sudah menempatkan Steiner di ruang
yang berbeda. Zidane keluar, Blank tetap di dalam untuk merawat Vivi sejenak.
"Kalian
memang beruntung. Jika bukan karena Zidane, kalian berdua mungkin sudah
mati," Blank mengambil sebuah handuk yang setengah terbakar karena api
tadi, mencelupkannya ke sebuah ember berisi air, "Sebagian monster
tumbuhan disini di produksi oleh hewan lain yang dengan menanam biji," ia
membilas Vivi dengan handuk tadi, menaruhnya, lalu mengambil sebuah campuran
yang terlihat seperti obat, "Dan ketika biji itu di semprotkan, hasta la vista, kau akan menjadi sebuah
daging busuk." suaranya terdengar menakutkan, namun tidak dengan ekspresi
wajahnya.
"Apa
aku akan mati?" suara lirihnya terdengar bertanya, apakah? Tentu saja
tidak.
"Tidak,
kau akan baik-baik saja," setelah selesai dengan campuran obat-obat yang
aneh itu, Blank kembali menuju arah dimana Vivi tertidur, "Minum ini, ini
akan menghilangkan seluruh biji dari tubuhmu." ia menyodorkan gelas yang
dipakai sebagai wadah obat itu.
"Ugh."
memang terdengar tidak enak, namun ia harus meminumnya, toh untuk dia sendiri.
Kembali
pada Zidane yang masih kebingungan tentang dimana keberadaan Putri Garnet, ia
mencoba mencari tahu melalui bossnya, Baku. Tentu saja, dia sedang berada di
ruang kendali. Berjalan diantara reruntuhan kapal itu bukan hal yang buruk,
walaupun semuanya terlihat kacau, ia sudah terbiasa melihat itu.
Zidane menaiki tangga menuju ruang kendali kapal yang berada diatas, tangganya terlihat rusak, namun masih bisa dinaiki olehnya. Setelah sampai diatas, seperti yang ia pikirkan, Baku berada disana sedang duduk dan menikmati cerutu-nya. Ya, Pak tua berjenggot tebal itu gemar menghisap cerutu, namun bukan cerutu murahan yang dia hisap, cerutu itu dia impor dari sebuah desa kecil di sisi benua lain dari bumi, Conde Petie.
"Umm,
Boss?" Zidane membuka suara ketika sampai disana, Baku sedang duduk kearah
luar kaca yang sudah pecah itu, menikmati hisapan cerutu.
"Hmm?"
ia mengepulkan asap dari cerutu yang ia hisap, pandangannya masih sama seperti
tadi.
"Aku
akan mencari Putri Garnet." Zidane langsung berbicara ke inti permasalahan
yang secara otomatis membuat Baku yang tengah duduk itu mengambil sebuah
posisi.
"Lupakan
itu dulu," suaranya terlihat santai, namun tidak untuk ekspresi wajahnya,
"Monster-monster yang muncul dari kabut itu sedang berkeliaran
dimana-mana." ia kembali menghisap cerutu-nya yang sudah tinggal seperempat
batang.
"Jadi?"
Zidane bertanya, mungkin tidak puas dengan jawaban Boss-nya itu, "Tidak
ada yang tidak dapat kita tangani di luar sana."
"Ya,
tapi apa yang akan kita lakukan jika ada seseorang yang terluka?"
"Kita
dapat membawanya bersama kita." jawabnya singkat.
"Bagaimana
cara kita membawa mereka semua? Percayalah, jika kita keluar mencarinya
sekarang, kita semua akan mati," nadanya kali ini nampak serius, sebuah
guratan di wajahnya juga terbentuk sedikit, "Kita akan tetap disini hingga
semuanya sembuh," ia kembali mengepulkan cerutunya yang sudah habis,
kemudian membuangnya secara asal ke luar jendela, lalu ia berdiri, "Kau
lebih baik tidak menginjakkan kakimu diluar kapal, kau mengerti?" suaranya
ditekankan pada akhir kalimat, kemudian kembali duduk lagi.
"Aku
tak percaya kau meninggalkan Putri begitu saja! Kau itu bukan apa-apa selain
pengecut!" Zidane kesal, dari suaranya saja sudah terdengar marah, lalu ia
keluar ruangan itu, turun menuju bawah lagi. Ia menuju ke ruang dimana Vivi
berada yang tidak jauh dari sana.
Zidane
membuka pintu itu, pintu menuju tempat dimana Vivi berada. Suaranya bisa di
dengar sangat jelas ketika dibuka.
"Oh,"
Vivi melihat Zidane masuk, secara langsung membenarkan posisinya, "Terima
kasih sudah menolongku tadi."
"Ah,
tidak apa. Lagipula, ini adalah berkat kau juga. Kau tahu, kau punya kekuatan
yang kuat untuk seorang yang kecil sepertimu," Zidane tersenyum, melihat
Vivi yang sudah terlihat membaik. Namun Vivi terlihat murung, "Ada apa?
Apa kau tersinggung sudah kupanggil dengan sebutan 'seorang yang kecil'?"
Zidane mulai mencari sebuah alasan agar Vivi tidak murung, "Kau itu
seorang penyihir hebat, kau tahu?"
"Maaf,
aku tidak dapat melakukan apa-apa ketika monster itu membawa lari Tuan
Putri."
"Apa
maksudnya itu? Monster membawa Putri Garnet?"
"I-iya,
monster itu menyemprotkan gas beracun yang membuatku dan Kapten itu tertidur,
setelah itu ia pergi. Lalu aku terbangun disini."
"Tidak
apa, aku akan membawanya pulang nanti."
"Terima
kasih, Zidane."
Lalu
Zidane keluar ruangan itu.
Zidane POV Start
Aku merasa sangat
aneh.
Mungkin takdir
mempertemukan kita berdua.
Aku tidak dapat
menjelaskannya.
'Apa
yang harus kulakukan? Aku tidak dapat berhenti memikirkannya,' batinku sambil
mondar-mandir di ruangan dimana aku bersama kru Tantalus rapat sebelum memulai
misi di Alexandria. 'Ya! Aku akan mencarinya, apa yang kupikirkan lagi selama
ini? Dia imut, cantik... Dan juga dia dalam masalah, Itu yang terpenting!'
Setelah
kupikir memang seharusnya aku mencarinya, tidak peduli apapun yang terjadi. Aku
segera keluar ruangan yang dimana aku menemukan Blank yang ternyata juga
mencariku.
"...disitu
kau rupanya!" Blank melambaikan tangan. Aku tak tahu apa yang sedang ia
pikirkan, ia melihatku begitu serius, mungkin karena dia tidak pernah melihatku
se-serius ini dalam sesuatu, "Kenapa kau terlihat sangat serius? Apa yang
kau rencanakan kali ini?" apa yang aku pikirkan?
"Aku
akan membawa Kapten itu dan juga Vivi untuk mencari Putri Garnet." jawabku
singkat.
"Kau
gila!" ia tampak terkejut mendengar itu, apa hanya aku saja yang tidak
mengerti apa yang ada di luar sana? "Hei, kau bahkan tidak tahu apa yang
ada sebenarnya di luar sana," dugaannya benar, aku memang tidak tahu
apa-apa selain akan menyelamatkan Putri yang sedang berada di luar sana,
"Lagipula, Boss juga tidak akan memperbolehkan itu."
"Aku
tahu..." renungku, merubah ekspresi wajahku tadi yang sedang bersemangat
menjadi cemas, apa yang harus kulakukan?
"Ya
ampun, kenapa kau selalu ingin bermain sebagai Sang Pahlawan? Kali ini Boss
akan benar-benar membunuhmu." benar, aku selalu ingin bermain menjadi Sang
pahlawan yang menyelamatkan Tuan Putri dari ancaman monster-monster ganas di
luar sana, "Lalu, apa yang kau tunggu? Bicaralah kepada Boss, kau tahu aku
ini bukan Boss-nya!" ejeknya yang membangunkanku dari lamunan
sekejap, dengan itu pula tanpa sebuah
balasan aku langsung menuju tempat dimana Boss berada, mungkin masih berada di
ruang kendali.
Belum
sampai ruangan yang ku tuju, ternyata Boss ada di ruangan sebelah. Aku langsung
menghampirinya.
"ACHO...!!!"
suara bersinnya terdengar sangat khas, ia membalikkan badannya, mengetahui
bahwa aku sekarang berada di belakangnya, "Kau cukup lama membuat
keputusan itu, aku sampai tertidur, sial," ia tertawa kecil, "Jadi,
kau mau pergi, eh?" ia tahu maksudku disini.
"Ya,
aku sudah berjanji akan menculiknya." jawabku singkat, guratan ekspresi
semangat tersirah di wajahku.
Ia
tertawa, entah dengan alasan apa. Tawanya cukup keras, "Aku tidak bertanya
mengapa! Aku tidak bisa menyalahkanmu juga. She's
damn beautiful! Kurasa itu adalah alasan yang cukup," kurasa ia cukup
mengerti, kemudian ia melanjutkan lagi, "Well, aku rasa kau sudah siap, 'cause
I'm gonna bust you up for breakin' the rules." Ya, sebuah hukuman.
"...Baiklah."
"Oke, bawa bokong-mu menuju ruang kargo di sebelah,
ada banyak ruang disana untuk kita bertarung." ia sangat santai, terlihat
lebih dari santai, kurasa. Memang itulah dia,
Pak tua yang kukenal dari dulu
---
Pertarugan
itu tidaklah sulit, kurasa dia memang memberiku menang, alasan menghukumku
mungkin hanya sekedar syarat saja.
"Terkutuklah
aku," dia tertawa lagi sambil menepuk punggungku, "Bravo!" ia kemudian berjalan
kembali kearah dimana ruang kendali berada, sebelum ia benar-benar menghilang
dari pandanganku, ia sempat berkata, "Go
find your Princess!" disertai dengan tawanya yang khas, kemudian ia
benar-benar hilang dari pandanganku di sudut koridor yang sudah kacau itu.
Dengan
segera aku berlari menuju ruangan dimana Steiner, si Kapten bodoh itu berada.
Ia terduduk tertegun memegang sebuah boneka yang dinamai dengan 'Garnet'.
"Bangun,
kau terlalu tua untuk bermain boneka seperti itu." ejekku yang
membangunkannya dari lamunannya itu.
"Diam!"
wow, kurasa dia memang seorang yang tempramen seperti yang kubayangkan,
"Seorang bajingan sepertimu tidak akan bisa mengerti tentang apa sebuah
arti seorang 'Princess'! Aku hanya
kewalahan dengan perhatian yang dibutuhkan oleh Sang Putri!" okay, mungkin
aku sedikit mengerti, "Hanya saja jika kau tidak menculiknya..."
suaranya memelan, tidak lagi se-tinggi tadi, "Ini semua salahmu! Jika
sesuatu terjadi pada Tuan Putri, akan kupenggal kepala jelekmu itu!" ia
membentak lagi, lalu diam, memandangi boneka itu lagi.
"Tenanglah,"
cobaku untuk sedikit menenangkannya, "Aku akan mencarinya sekarang,"
seperti dugaanku, dia langsung mengalihkan pandangnya kearah mataku, sorot
matanya begitu tajam, "Aku akan memperbolehkanmu ikut denganku jika kau
bertingkah baik," dia kembali menaruh boneka itu di meja yang ia duduki
sekarang, berpikir mungkin, "Bagaimana menurutmu..." bagaimana aku
harus memanggilnya? "...Rusty?"
"RR...
RUSTY?!" ia terdengar sangat kaget, haha, suaranya sangat kencang di telingaku,
"Aku Adelbert Steiner, Kapten Ksatria Pluto, dan aku tidak akan bekerja
dengan komplotan pencuri!" suaranya sangat tegas, seperti seorang prajurit
kebanyakaan. Wait, Kapten dia bilang?
"Kapten?
Aku pikir kau adalah prajurit rendahan, dengan sesuatu yang kau pakai, rusty armor..." ejekku kepadanya,
"Dengar, ini tidak ada hubungannya dengan Tantalus. Ini adalah sesuatu
yang aku putuskan sendiri," tegasku kepadanya, "Aku hanya ingin
menyelamatkan Garnet." lanjutku, dia sepertinya mengerti, ekspresi
wajahnya berubah dengan cepat.
"Hmm,
kau sebaiknya tidak berbohong!" ia seperti mengutukku dengan menunjukku
menggunakan jarinya, "Karena jika kau berbohong, aku tidak akan segan
untuk membunuhmu!" aku yakin, dia bersungguh-sungguh kali ini.
"Yeah,
aku percaya padamu, Rusty." kini aku mempunyai sebuah panggilan untuk
Kapten itu.
"Jangan
buat suatu kesalahan. Aku tidak hanya berniat menyelamatkan Tuan Putri
denganmu! Kau akan berurusan dengaku ketika semua ini sudah selesai!"
ancamnya begitu meyakinkan.
"...whatever."
"Ini
mungkin aka sulit jika hanya kita berdua. Kita harus mengajak Master Vivi juga." Master katanya?
"Mengapa
kau memanggilnya dengan sebutan 'Master'?"
"Kau
bodoh! Dia itu adalah seorang Black Mage
dengan kekuatan yang tidak dapat kau bayangkan... Aku sebenarnya tidak ingin
dia terlibat, namun sayangnya, itu tidak dapat membantu jika dia tidak
menolong juga. Jadi itulah sebabnya kita
membutuhkan kekuatan Master Vivi
untuk menyelamatkan Tuan Putri." alasan itu memang masuk akal, yang kuketahui
adalah monster disini sangat lemah terhadap ilmu sihir, seperti sihir milik
Vivi.
"Baiklah,
ayo kita bicara dengannya"
Setelah
itu, aku dan Steiner bergegas menuju ruangan dimana Vivi berada.
"Baiklah,
Vivi. Kita akan mencari Putri."
"Benarkah?!"
ia nampak terkejut, "Itu bagus! Hati-hati, oke?" kukira ia sudah tahu
kalau aku akan mengajaknya pergi denganku juga.
"Sebenarnya,
kami ingin kau ikut dengan kita juga." jelasku singkat, raut wajah di
balik mata kuning yang bercahaya itu berubah seketika.
"Ta-tapi
aku tidak bisa melakukan apa-apa." elaknya.
Kemudian
Steiner membujuknya juga, "Dengan berat, Master Vivi. Ilmu sihirmu lebih efektif dengan monster itu. Dan
kalau boleh jujur juga, aku lebih menghargai kekuatanmu dibandingkan jika aku
harus bersama bajingan ini." bajingan, huh?
"Ta-tapi...
Aku takut. Terakhir kali aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa." ia
membuat sebuah alasan lagi.
"Kumohon,
Master Vivi. Demi Tuan Putri, dan
juga seluruh warga Alexandria, Saya dengan rendah hati meminta bantuan
anda!" sebuah permintaan dari seorang Kapten? Aku sendiri bahkan kaget.
"Ayolah!
Kau adalah seorang Black Mage, for crying
out loud! Show us what you've got!" kurasa dia setuju dengan
kata-kataku barusan, ia hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil, Steiner
pun tersenyum, "Baiklah, ayo kita bergegas."
Sebelum
sempat kami bertiga menginjak kaki di luar kapal, Blank terlihat disana, ia
terlihat menungguku, Steiner dan Vivi kuberi tahu untuk menungguku di luar.
"Ya
ampun, kau benar-benar akan menyelamatkannya dengan dua orang itu, huh?"
ia terlihat khawatir, entah mengapa.
"Aku
tidak bisa duduk berdiam disini sedangkan mengetahui ada seorang gadis disana
sedang berada dalam masalah. Itu menentang kehendakku." alasanku cukup
rasional, ia juga mengerti itu.
"Terserah,
kau itu memang banyak dengan omong kosong."
"Oh,
aku tahu. Kau cemburu karena aku akan pergi mengambil pie manis itu." ledekku kepadanya disertai pukulan kecil di
perutnya.
"Psh,
dia bahkan bukan tipeku. Aku menunggumu disini untuk memberikanmu ini."
sebuah botol ia keluarkan dari sakunya.
"Kau
selalu berpikir untukku, tapi aku tidak butuh love potion untuk menghadapi gadis yang satu ini." tebakku
asal, sebuah senyum simpul tergurat di sudut bibirku.
"Kenapa
kau tidak pernah bisa berpikir selain gadis untuk sejenak? Ini adalah obat yang
kuberikan kepada Black Mage dan
Kapten itu. Ini sejenis ramuan untuk menghilangkan biji yang disebar oleh
monster disini." jelasnya panjang.
"Cool. Itu pasti sangat berguna."
"Kenapa
aku selalu membantumu?" ia tertawa kecil lalu memberikan botol itu padaku, "Oh iya, ini aku membawa
sebuah surat kecil dari Boss." ia memberikan sepucuk surat kecil dari
sakunya yang lain.
Meninggalkan
Tantalus adalah urusanmu sendiri,
tetapi kau harus
tetap berlatih!
Berlatih berbagai
kemampuan akan membuatmu lebih kuat.
Good luck,
Baku.
Ya,
Pak tua itu bahkan masih perhatian padaku walau aku memutuskan untuk
meninggalkan Tantalus. Mungkin nanti aku bisa bergabung lagi dengan Tantalus?
"Terima
kasih, Blank. Aku akan mengunjungimu jika ada kesempatan." aku beranjak
pergi meninggalkannya, memulai sebuah misi independenku dari sini.
"Bagaimana
kalau tidak usah?" ia tertawa saat itu.
Zidane POV End
---
Blank POV Start
Bodoh,
memang seperti itulah Zidane. Di saat seperti ini pun dia rela meninggalkan
Tantalus demi seorang Putri tunggal sebuah kerajaan yang mungkin akan
memenggalnya setelah ia menyelamatkannya dan kembali ke Alexandria. Haha, dasar
bocah, kau hanya berfikir tentang perempuan, tidak ada yang lain selain di
kepalamu selain perempuan.
Walaupun
begitu, aku tidak bisa tinggal diam melihatnya pergi bersama dua orang itu, si
Kapten bodoh yang gendut itu dan juga seorang penyihir cilik yang entah
darimana datangnya. Mungkin aku harus membantunya, tapi?
Tapi
bukanlah sebuah alasan untuk saat ini, bagaimanapun dia ada saudaraku di
Tantalus. Aku tidak boleh mengacuhkannya begitu saja dan membiarkan dia mati
sia-sia seperti itu hanya demi sebuah misi yang dianggapnya penting.
Baiklah,
tekadku sudah bulat. Aku akan berbicara dengan Boss.
Beranjak
dari tempatku tadi, aku menuju ruang sebelah dimana Boss berada.
Dia
sedang bersantai, seperti biasa, walau sikapnya begitu santai, namun sebenarnya
dia sedang berfikir. Aku harus segera berbicara padanya.
“Boss.”
“Blank.”
dia langsung menyahut, suaraku memang sudah sangat khas di telinganya.
“Aku
ingin meminta izin.”
“Untuk
membantu menolong Zidane?” dia sudah tahu? Bahkan aku belum berbicara ke inti
permasalahan ini.
“Iya.”
“Hmm.
Nampaknya aku memang tidak bisa berfikir kalau dia akan selamat jika hanya
ditemani oleh dua orang itu,” dia mengeluarkan sebuah kertas besar yang dilipat
membulat dengan sebuah tali pita berwarna merah melilit. Sebuah peta?
“Boss
yakin tentang ini?” aku bertanya memastikan keputusan yang kukira akan
ditolaknya itu, nampaknya memang benar, Boss memang khawatir tentang anak
angkatnya itu.
“Ya,
tenang saja. Kita akan keluar dari sini secepatnya,” ucapnya singkat, lalu
berjalan keluar ruangan itu, mungkin untuk memberitahu yang lain jika mereka
akan keluar dari sana. Sebelum ia benar-benar keluar dari ruangan ini,
langkahnya terhenti di ujung pintu yang barusan dia buka, “Bawa peta itu, bawa
itu untuk pergi ke Lindblum segera setelah kau menolong Zidane. Jaga baik-baik
dia.”
Seperti
dugaanku, Boss memang tidak pernah meninggalkan kru-nya, walau Zidane sudah
keluar dari Tantalus, namun Boss masih memperlakukannya seperti dia masih di
Tantalus. Baiklah, aku akan segera mengejarnya.
---
Tempat
yang pertama ku tuju adalah tempat dimana sarang monster itu berada. Dan,
ternyata memang benar, mereka berada disana, melawan induk dari monster
tumbuhan itu. Tak ragu, aku langsung pergi menemui dan membantunya disana
melawan monster-monster itu.
“Rupanya
aku tepat waktu.” monster itu memang cukup kuat, setelah beberapa saat
bertarung, kita berempat berhasil mengalahkan monster itu.
“Tuan
Putri! Bertahanlah!” Steiner memegang Putri itu, bak seorang ksatria kesiangan
yang menyelamatkan seorang tuan putri.
“Berikan
minuman itu, Zidane.” suruhku pada Zidane yang berada tepat di samping Steiner,
memandanginya dengan seksama.
“Tuan
Putri, tolong minum ini.” mukanya yang pucat selalu membuatku merinding, dia
itu terlalu dramatis untuk hal seperti ini, terlebih untuk tuan putri
tercintanya.
Tepat
setelah Garnet meminum ramuan itu, tempat dibawah dimana induk monster itu
berada, sebuah lubang muncul, menarik induk itu dan muncullah pasukan monster,
banyak, sangat banyak. Serentak yang dapat kita lakukan hanyalah berlari
mencari jalan keluar.
Liku-liku
dekorasi hutan ini tidak terlalu menyulitkan kita untuk berlari menjauh, namun
monster yang mengejar kita semakin bertambah. Vivi dan Steiner yang menggendong
Garnet berlari di depan, Zidane berada di sampingku.
“Ada
sesuatu yang tidak beres!” Zidane berbicara, sambil melihat kearah belakang.
Aku tak tahu apa yang tidak beres dengan hutan ini, karena menang hutan ini
tidak beres.
“Apa?”
“Tak
bisakah kau lihat? Seluruh penghuni sekarang mengejar kita!” dia memang ada
benarnya, mengapa hanya kita saja yang dikejar? Itu hal ganjil bagiku, “Blank, take care of everyone.” hah? apa maksud
dia berbicara seperti itu?
Firasatnya
memang benar, namun jika ia tertangkap, mengapa aku harus kesini dan
menolongnya? Akulah yang seharusnya mati karena menolongnya. Kulihat kearah
belakang, semuanya nampak membatu! Ini gawat, dan Zidane sepertinya akan
tertangkap, aku tak bisa diam saja seperti ini melihatnya tertangkap. Dengan
segera aku mendorongnya tepat sesaat sebelum monster itu berhasil menangkapnya,
dan ya, akulah yang tertangkap.
Mungkin
ini adalah akhir dari hidupku disini. Tak kusia-siakan kesempatan yang tersisa,
kulempar peta yang Boss berikan padaku. Kulihat Zidane berhasil menangkapnya.
Sekarang,
mungkin aku bisa mati dengan perasaan sedikit lega.
Blank POV End
Zidane POV Start
Blank, ia memang
sangat bodoh! Datang menyelamatkan seperti seorang pahlawan, namun pada akhir
dia sendiri yang celaka seperti itu.
---
Keesokan
harinya, aku hanya bisa memandangi dari luar akar-akar yang terbentuk membentangi
hutan yang membatu ini, petrify. Apa
yang ia rasakan sekarang?
“Bagaimana
keadaanmu?” aku bertanya pada Garnet yang baru saja mendatangiku, tak jauh dari
tenda yang kita buat semalam.
“Baik,
terima kasih atas minuman yang kau berikan padaku,” ia melihat-lihat akar yang
membatu itu, memeganginya, “Apakah ini?”
“Ya,
aku juga terkejut,” aku kembali duduk di tanah, memandangi dari sela-sela akar
itu, “Setelah kita mengalahkan induk monster itu, hutan ini benar-benar menjadi
batu.”
“Vivi
mengatakan kepadaku bahwa kita bisa melarikan diri karena temanmu.”
“Namanya
Blank.”
“Kita
harus menolongnya.” ia memandangiku, mungkin ia mengerti perasaanku saat ini,
namun sebenarnya ia tidak mengerti.
“Kita
tidak bisa melakukan apapun saat ini.”
“Tapi,
aku tidak da-“
“-kita
akan kembali untuknya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelamatkannya,” aku
memotong pembicaraannya secara spontan, entah apa yang ada dipikiranku tidak
sama dengan apa yang dia pikir sekarang, “Kita harus bergegas, menurut peta
yang Blank berikan sebelum ia membatu, kita bisa menuju Desa Dali di sebelah
selatan tidak jauh dari sini.”
Dia
menunduk, mungkin juga merasa sedih kalau tidak ada cara untuk menyelamatkannya
di dalam sana. Aku berdiri, berjalan mendekatinya, “Kau tidak apa-apa, ‘kan?”
ia mendongak lagi, memandang wajahku yang berada hanya sekitar tiga puluh senti
dari wajahnya, “Semuanya akan baik-baik saja, percayalah padaku.” ia mengangguk
pelan, senyum indahnya kembali terlihat, sebuah senyum manis dari seseorang
yang pernah kulihat.
Setelah
itu, aku bersama yang lain bergegas menuju Dali, sebuah desa kecil yang berada
di sebelah selatan, namun sebelum itu kita harus melewati sebuah gua, Ice Cavern.
To Be Continued.