12 May 2015

Princess - 03 (Final Fantasy IX)

Princess (Chapter 03)

Final Fantasy IX Original Story © Square Soft / Square Enix

Story Fiction © Fariz Azmi



Evil Forest, tempat dimana Prima Vista jatuh. Mereka tidak menyesalinya, karena ini adalah pekerjaan bagi mereka, Tantalus. Dengan santai Baku memerintah selagi dia mencari barang yang bisa digunakan. Benar, kapal itu memang hancur, api dimana-mana.

"Zidane! Aku tak menyangka kau masih hidup!" Cinna berbicara lega setelah melihat Zidane yang entah darimana muncul dari balik pohon berwarna hitam itu, "Aku tidak percaya kau lompat dari kapal! Kau memang sudah gila, kau tahu itu?" Cinna tertawa terbahak selagi melihat Zidane yang masih terlihat bingung disana.

"Aku tidak melompat, bodoh! Aku terlempar karena tabrakan tadi," ia kembali mengedar pandang ke sekitar kapal yang sedang terbakar itu, berpikir  tentang semua anggota Tantalus yang berada di kapal itu, "Jadi, semuanya baik-baik saja, 'kan?"

"Baik-baik kepalamu itu!" Cinna menjitak kepala Zidane yang terlihat memang seperti ingin dijitak itu, memangnya dia tidak bisa melihat jika seluruh kapal sedang terbakar? Yah, itulah Zidane, "Coba kau lihat sendiri kapal yang sedang terbakar ini, apa kau masih bisa bilang baik-baik saja, huh?" Dia kembali lagi masuk ke badan kapal yang berlubang karena tabrakan, Zidane mengikuti dari belakang.

"Jadi?"

Cinna tahu apa yang Zidane pikirkan, ia tahu persis apa yang sedang ada di kepala Zidane, "Tenang, kita semua dapat sebuah keberuntungan dari iblis, tidak ada yang mati," ia mengambil sebuah kotak disana, lalu mengeluarkannya. Menatap Zidane yang masih belum puas dengan jawabannya, "Namun kalau kita tidak bisa menemukan Putri Garnet, kita akan dipanggang di dalam kapal ini."

"Baiklah!"

Seperti biasa, tebakan Cinna memang benar, hanya ada gadis yang dipikirannya -selain Ruby tentunya, setelah mendengar jawaban itu dari Cinna, Zidane segera menuju hutan, mencari keberadaan Garnet yang sedang hilang, begitu juga dengan Steiner, si Kapten yang bodoh itu, dan juga Vivi.

Ia berjalan menyusuri kembali tempat dimana ia terjatuh, 'pasti tidak jauh-jauh dari sini'. Menyusuri hutan sendirian bukanlah hal yang tidak menakutkan, itu tidak menjadikan semangat Zidane surut disana, setelah melihat sebuah bukit kecil, Zidane melihat Vivi dan Steiner, tapi dimana Garnet?

Mereka berdua pingsan, terlihat bukan seperti pingsan karena tabrakan yang terjadi tadi, namun karena sesuatu lain. Zidane masih berpikir dimanakah keberadaan Garnet sekarang? Apa yang terjadi dengannya? Bagaimana keadaannya sekarang? Namun semua pikiran negatif itu ia singkirkan jauh-jauh, melihat Steiner dan Vivi masih hidup, ia berpikir kalau Garnet juga masih hidup.

---

Setelah itu, dibantu oleh Blank, membawa Vivi menuju sebuah ruang di Prima Vista yang kini sudah tidak terbakar lagi, tentu saja sebelumnya mereka sudah menempatkan Steiner di ruang yang berbeda. Zidane keluar, Blank tetap di dalam untuk merawat Vivi sejenak.

"Kalian memang beruntung. Jika bukan karena Zidane, kalian berdua mungkin sudah mati," Blank mengambil sebuah handuk yang setengah terbakar karena api tadi, mencelupkannya ke sebuah ember berisi air, "Sebagian monster tumbuhan disini di produksi oleh hewan lain yang dengan menanam biji," ia membilas Vivi dengan handuk tadi, menaruhnya, lalu mengambil sebuah campuran yang terlihat seperti obat, "Dan ketika biji itu di semprotkan, hasta la vista, kau akan menjadi sebuah daging busuk." suaranya terdengar menakutkan, namun tidak dengan ekspresi wajahnya.

"Apa aku akan mati?" suara lirihnya terdengar bertanya, apakah? Tentu saja tidak.

"Tidak, kau akan baik-baik saja," setelah selesai dengan campuran obat-obat yang aneh itu, Blank kembali menuju arah dimana Vivi tertidur, "Minum ini, ini akan menghilangkan seluruh biji dari tubuhmu." ia menyodorkan gelas yang dipakai sebagai wadah obat itu.

"Ugh." memang terdengar tidak enak, namun ia harus meminumnya, toh untuk dia sendiri.

Kembali pada Zidane yang masih kebingungan tentang dimana keberadaan Putri Garnet, ia mencoba mencari tahu melalui bossnya, Baku. Tentu saja, dia sedang berada di ruang kendali. Berjalan diantara reruntuhan kapal itu bukan hal yang buruk, walaupun semuanya terlihat kacau, ia sudah terbiasa melihat itu.

Zidane menaiki tangga menuju ruang kendali kapal yang berada diatas, tangganya terlihat rusak, namun masih bisa dinaiki olehnya. Setelah sampai diatas, seperti yang ia pikirkan, Baku berada disana sedang duduk dan menikmati cerutu-nya. Ya, Pak tua berjenggot tebal itu gemar menghisap cerutu, namun bukan cerutu murahan yang dia hisap, cerutu itu dia impor dari sebuah desa kecil di sisi benua lain dari bumi, Conde Petie.

"Umm, Boss?" Zidane membuka suara ketika sampai disana, Baku sedang duduk kearah luar kaca yang sudah pecah itu, menikmati hisapan cerutu.

"Hmm?" ia mengepulkan asap dari cerutu yang ia hisap, pandangannya masih sama seperti tadi.

"Aku akan mencari Putri Garnet." Zidane langsung berbicara ke inti permasalahan yang secara otomatis membuat Baku yang tengah duduk itu mengambil sebuah posisi.

"Lupakan itu dulu," suaranya terlihat santai, namun tidak untuk ekspresi wajahnya, "Monster-monster yang muncul dari kabut itu sedang berkeliaran dimana-mana." ia kembali menghisap cerutu-nya yang sudah tinggal seperempat batang.

"Jadi?" Zidane bertanya, mungkin tidak puas dengan jawaban Boss-nya itu, "Tidak ada yang tidak dapat kita tangani di luar sana."

"Ya, tapi apa yang akan kita lakukan jika ada seseorang yang terluka?"

"Kita dapat membawanya bersama kita." jawabnya singkat.

"Bagaimana cara kita membawa mereka semua? Percayalah, jika kita keluar mencarinya sekarang, kita semua akan mati," nadanya kali ini nampak serius, sebuah guratan di wajahnya juga terbentuk sedikit, "Kita akan tetap disini hingga semuanya sembuh," ia kembali mengepulkan cerutunya yang sudah habis, kemudian membuangnya secara asal ke luar jendela, lalu ia berdiri, "Kau lebih baik tidak menginjakkan kakimu diluar kapal, kau mengerti?" suaranya ditekankan pada akhir kalimat, kemudian kembali duduk lagi.

"Aku tak percaya kau meninggalkan Putri begitu saja! Kau itu bukan apa-apa selain pengecut!" Zidane kesal, dari suaranya saja sudah terdengar marah, lalu ia keluar ruangan itu, turun menuju bawah lagi. Ia menuju ke ruang dimana Vivi berada yang tidak jauh dari sana.

Zidane membuka pintu itu, pintu menuju tempat dimana Vivi berada. Suaranya bisa di dengar sangat jelas ketika dibuka.

"Oh," Vivi melihat Zidane masuk, secara langsung membenarkan posisinya, "Terima kasih sudah menolongku tadi."

"Ah, tidak apa. Lagipula, ini adalah berkat kau juga. Kau tahu, kau punya kekuatan yang kuat untuk seorang yang kecil sepertimu," Zidane tersenyum, melihat Vivi yang sudah terlihat membaik. Namun Vivi terlihat murung, "Ada apa? Apa kau tersinggung sudah kupanggil dengan sebutan 'seorang yang kecil'?" Zidane mulai mencari sebuah alasan agar Vivi tidak murung, "Kau itu seorang penyihir hebat, kau tahu?"

"Maaf, aku tidak dapat melakukan apa-apa ketika monster itu membawa lari Tuan Putri."

"Apa maksudnya itu? Monster membawa Putri Garnet?"

"I-iya, monster itu menyemprotkan gas beracun yang membuatku dan Kapten itu tertidur, setelah itu ia pergi. Lalu aku terbangun disini."

"Tidak apa, aku akan membawanya pulang nanti."

"Terima kasih, Zidane."

Lalu Zidane keluar ruangan itu.

Zidane POV Start

Aku merasa sangat aneh.

Mungkin takdir mempertemukan kita berdua.

Aku tidak dapat menjelaskannya.

'Apa yang harus kulakukan? Aku tidak dapat berhenti memikirkannya,' batinku sambil mondar-mandir di ruangan dimana aku bersama kru Tantalus rapat sebelum memulai misi di Alexandria. 'Ya! Aku akan mencarinya, apa yang kupikirkan lagi selama ini? Dia imut, cantik... Dan juga dia dalam masalah, Itu yang terpenting!'

Setelah kupikir memang seharusnya aku mencarinya, tidak peduli apapun yang terjadi. Aku segera keluar ruangan yang dimana aku menemukan Blank yang ternyata juga mencariku.

"...disitu kau rupanya!" Blank melambaikan tangan. Aku tak tahu apa yang sedang ia pikirkan, ia melihatku begitu serius, mungkin karena dia tidak pernah melihatku se-serius ini dalam sesuatu, "Kenapa kau terlihat sangat serius? Apa yang kau rencanakan kali ini?" apa yang aku pikirkan?

"Aku akan membawa Kapten itu dan juga Vivi untuk mencari Putri Garnet." jawabku singkat.

"Kau gila!" ia tampak terkejut mendengar itu, apa hanya aku saja yang tidak mengerti apa yang ada di luar sana? "Hei, kau bahkan tidak tahu apa yang ada sebenarnya di luar sana," dugaannya benar, aku memang tidak tahu apa-apa selain akan menyelamatkan Putri yang sedang berada di luar sana, "Lagipula, Boss juga tidak akan memperbolehkan itu."

"Aku tahu..." renungku, merubah ekspresi wajahku tadi yang sedang bersemangat menjadi cemas, apa yang harus kulakukan?

"Ya ampun, kenapa kau selalu ingin bermain sebagai Sang Pahlawan? Kali ini Boss akan benar-benar membunuhmu." benar, aku selalu ingin bermain menjadi Sang pahlawan yang menyelamatkan Tuan Putri dari ancaman monster-monster ganas di luar sana, "Lalu, apa yang kau tunggu? Bicaralah kepada Boss, kau tahu aku ini bukan Boss-nya!" ejeknya yang membangunkanku dari lamunan sekejap,  dengan itu pula tanpa sebuah balasan aku langsung menuju tempat dimana Boss berada, mungkin masih berada di ruang kendali.

Belum sampai ruangan yang ku tuju, ternyata Boss ada di ruangan sebelah. Aku langsung menghampirinya.

"ACHO...!!!" suara bersinnya terdengar sangat khas, ia membalikkan badannya, mengetahui bahwa aku sekarang berada di belakangnya, "Kau cukup lama membuat keputusan itu, aku sampai tertidur, sial," ia tertawa kecil, "Jadi, kau mau pergi, eh?" ia tahu maksudku disini.

"Ya, aku sudah berjanji akan menculiknya." jawabku singkat, guratan ekspresi semangat tersirah di wajahku.

Ia tertawa, entah dengan alasan apa. Tawanya cukup keras, "Aku tidak bertanya mengapa! Aku tidak bisa menyalahkanmu juga. She's damn beautiful! Kurasa itu adalah alasan yang cukup," kurasa ia cukup mengerti, kemudian ia melanjutkan lagi, "Well, aku rasa kau sudah siap, 'cause I'm gonna bust you up for breakin' the rules." Ya, sebuah hukuman.

"...Baiklah."

"Oke,  bawa bokong-mu menuju ruang kargo di sebelah, ada banyak ruang disana untuk kita bertarung." ia sangat santai, terlihat lebih dari santai, kurasa. Memang itulah dia,  Pak tua yang kukenal dari dulu

---

Pertarugan itu tidaklah sulit, kurasa dia memang memberiku menang, alasan menghukumku mungkin hanya sekedar syarat saja.

"Terkutuklah aku," dia tertawa lagi sambil menepuk punggungku, "Bravo!" ia kemudian berjalan kembali kearah dimana ruang kendali berada, sebelum ia benar-benar menghilang dari pandanganku, ia sempat berkata, "Go find your Princess!" disertai dengan tawanya yang khas, kemudian ia benar-benar hilang dari pandanganku di sudut koridor yang sudah kacau itu.

Dengan segera aku berlari menuju ruangan dimana Steiner, si Kapten bodoh itu berada. Ia terduduk tertegun memegang sebuah boneka yang dinamai dengan 'Garnet'.

"Bangun, kau terlalu tua untuk bermain boneka seperti itu." ejekku yang membangunkannya dari lamunannya itu.

"Diam!" wow, kurasa dia memang seorang yang tempramen seperti yang kubayangkan, "Seorang bajingan sepertimu tidak akan bisa mengerti tentang apa sebuah arti seorang 'Princess'! Aku hanya kewalahan dengan perhatian yang dibutuhkan oleh Sang Putri!" okay, mungkin aku sedikit mengerti, "Hanya saja jika kau tidak menculiknya..." suaranya memelan, tidak lagi se-tinggi tadi, "Ini semua salahmu! Jika sesuatu terjadi pada Tuan Putri, akan kupenggal kepala jelekmu itu!" ia membentak lagi, lalu diam, memandangi boneka itu lagi.

"Tenanglah," cobaku untuk sedikit menenangkannya, "Aku akan mencarinya sekarang," seperti dugaanku, dia langsung mengalihkan pandangnya kearah mataku, sorot matanya begitu tajam, "Aku akan memperbolehkanmu ikut denganku jika kau bertingkah baik," dia kembali menaruh boneka itu di meja yang ia duduki sekarang, berpikir mungkin, "Bagaimana menurutmu..." bagaimana aku harus memanggilnya? "...Rusty?"

"RR... RUSTY?!" ia terdengar sangat kaget, haha, suaranya sangat kencang di telingaku, "Aku Adelbert Steiner, Kapten Ksatria Pluto, dan aku tidak akan bekerja dengan komplotan pencuri!" suaranya sangat tegas, seperti seorang prajurit kebanyakaan. Wait, Kapten dia bilang?

"Kapten? Aku pikir kau adalah prajurit rendahan, dengan sesuatu yang kau pakai, rusty armor..." ejekku kepadanya, "Dengar, ini tidak ada hubungannya dengan Tantalus. Ini adalah sesuatu yang aku putuskan sendiri," tegasku kepadanya, "Aku hanya ingin menyelamatkan Garnet." lanjutku, dia sepertinya mengerti, ekspresi wajahnya berubah dengan cepat.

"Hmm, kau sebaiknya tidak berbohong!" ia seperti mengutukku dengan menunjukku menggunakan jarinya, "Karena jika kau berbohong, aku tidak akan segan untuk membunuhmu!" aku yakin, dia bersungguh-sungguh kali ini.

"Yeah, aku percaya padamu, Rusty." kini aku mempunyai sebuah panggilan untuk Kapten itu.

"Jangan buat suatu kesalahan. Aku tidak hanya berniat menyelamatkan Tuan Putri denganmu! Kau akan berurusan dengaku ketika semua ini sudah selesai!" ancamnya begitu meyakinkan.

"...whatever."

"Ini mungkin aka sulit jika hanya kita berdua. Kita harus mengajak Master Vivi juga." Master katanya?

"Mengapa kau memanggilnya dengan sebutan 'Master'?"

"Kau bodoh! Dia itu adalah seorang Black Mage dengan kekuatan yang tidak dapat kau bayangkan... Aku sebenarnya tidak ingin dia terlibat, namun sayangnya, itu tidak dapat membantu jika dia tidak menolong  juga. Jadi itulah sebabnya kita membutuhkan kekuatan Master Vivi untuk menyelamatkan Tuan Putri." alasan itu memang masuk akal, yang kuketahui adalah monster disini sangat lemah terhadap ilmu sihir, seperti sihir milik Vivi.

"Baiklah, ayo kita bicara dengannya"

Setelah itu, aku dan Steiner bergegas menuju ruangan dimana Vivi berada.

"Baiklah, Vivi. Kita akan mencari Putri."

"Benarkah?!" ia nampak terkejut, "Itu bagus! Hati-hati, oke?" kukira ia sudah tahu kalau aku akan mengajaknya pergi denganku juga.

"Sebenarnya, kami ingin kau ikut dengan kita juga." jelasku singkat, raut wajah di balik mata kuning yang bercahaya itu berubah seketika.

"Ta-tapi aku tidak bisa melakukan apa-apa." elaknya.

Kemudian Steiner membujuknya juga, "Dengan berat, Master Vivi. Ilmu sihirmu lebih efektif dengan monster itu. Dan kalau boleh jujur juga, aku lebih menghargai kekuatanmu dibandingkan jika aku harus bersama bajingan ini." bajingan, huh?

"Ta-tapi... Aku takut. Terakhir kali aku bahkan tidak bisa berbuat apa-apa." ia membuat sebuah alasan lagi.

"Kumohon, Master Vivi. Demi Tuan Putri, dan juga seluruh warga Alexandria, Saya dengan rendah hati meminta bantuan anda!" sebuah permintaan dari seorang Kapten? Aku sendiri bahkan kaget.

"Ayolah! Kau adalah seorang Black Mage, for crying out loud! Show us what you've got!" kurasa dia setuju dengan kata-kataku barusan, ia hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan kecil, Steiner pun tersenyum, "Baiklah, ayo kita bergegas."

Sebelum sempat kami bertiga menginjak kaki di luar kapal, Blank terlihat disana, ia terlihat menungguku, Steiner dan Vivi kuberi tahu untuk menungguku di luar.

"Ya ampun, kau benar-benar akan menyelamatkannya dengan dua orang itu, huh?" ia terlihat khawatir, entah mengapa.

"Aku tidak bisa duduk berdiam disini sedangkan mengetahui ada seorang gadis disana sedang berada dalam masalah. Itu menentang kehendakku." alasanku cukup rasional, ia juga mengerti itu.

"Terserah, kau itu memang banyak dengan omong kosong."

"Oh, aku tahu. Kau cemburu karena aku akan pergi mengambil pie manis itu." ledekku kepadanya disertai pukulan kecil di perutnya.

"Psh, dia bahkan bukan tipeku. Aku menunggumu disini untuk memberikanmu ini." sebuah botol ia keluarkan dari sakunya.

"Kau selalu berpikir untukku, tapi aku tidak butuh love potion untuk menghadapi gadis yang satu ini." tebakku asal, sebuah senyum simpul tergurat di sudut bibirku.

"Kenapa kau tidak pernah bisa berpikir selain gadis untuk sejenak? Ini adalah obat yang kuberikan kepada Black Mage dan Kapten itu. Ini sejenis ramuan untuk menghilangkan biji yang disebar oleh monster disini." jelasnya panjang.

"Cool. Itu pasti sangat berguna."

"Kenapa aku selalu membantumu?" ia tertawa kecil lalu memberikan botol  itu padaku, "Oh iya, ini aku membawa sebuah surat kecil dari Boss." ia memberikan sepucuk surat kecil dari sakunya yang lain.

Meninggalkan Tantalus adalah urusanmu sendiri,

tetapi kau harus tetap berlatih!

Berlatih berbagai kemampuan akan membuatmu lebih kuat.

Good luck,

Baku.

Ya, Pak tua itu bahkan masih perhatian padaku walau aku memutuskan untuk meninggalkan Tantalus. Mungkin nanti aku bisa bergabung lagi dengan Tantalus?

"Terima kasih, Blank. Aku akan mengunjungimu jika ada kesempatan." aku beranjak pergi meninggalkannya, memulai sebuah misi independenku dari sini.

"Bagaimana kalau tidak usah?" ia tertawa saat itu.

Zidane POV End

---

Blank POV Start

Bodoh, memang seperti itulah Zidane. Di saat seperti ini pun dia rela meninggalkan Tantalus demi seorang Putri tunggal sebuah kerajaan yang mungkin akan memenggalnya setelah ia menyelamatkannya dan kembali ke Alexandria. Haha, dasar bocah, kau hanya berfikir tentang perempuan, tidak ada yang lain selain di kepalamu selain perempuan.

Walaupun begitu, aku tidak bisa tinggal diam melihatnya pergi bersama dua orang itu, si Kapten bodoh yang gendut itu dan juga seorang penyihir cilik yang entah darimana datangnya. Mungkin aku harus membantunya, tapi?

Tapi bukanlah sebuah alasan untuk saat ini, bagaimanapun dia ada saudaraku di Tantalus. Aku tidak boleh mengacuhkannya begitu saja dan membiarkan dia mati sia-sia seperti itu hanya demi sebuah misi yang dianggapnya penting.

Baiklah, tekadku sudah bulat. Aku akan berbicara dengan Boss.

Beranjak dari tempatku tadi, aku menuju ruang sebelah dimana Boss berada.

Dia sedang bersantai, seperti biasa, walau sikapnya begitu santai, namun sebenarnya dia sedang berfikir. Aku harus segera berbicara padanya.

“Boss.”

“Blank.” dia langsung menyahut, suaraku memang sudah sangat khas di telinganya.

“Aku ingin meminta izin.”

“Untuk membantu menolong Zidane?” dia sudah tahu? Bahkan aku belum berbicara ke inti permasalahan ini.

“Iya.”

“Hmm. Nampaknya aku memang tidak bisa berfikir kalau dia akan selamat jika hanya ditemani oleh dua orang itu,” dia mengeluarkan sebuah kertas besar yang dilipat membulat dengan sebuah tali pita berwarna merah melilit. Sebuah peta?

“Boss yakin tentang ini?” aku bertanya memastikan keputusan yang kukira akan ditolaknya itu, nampaknya memang benar, Boss memang khawatir tentang anak angkatnya itu.

“Ya, tenang saja. Kita akan keluar dari sini secepatnya,” ucapnya singkat, lalu berjalan keluar ruangan itu, mungkin untuk memberitahu yang lain jika mereka akan keluar dari sana. Sebelum ia benar-benar keluar dari ruangan ini, langkahnya terhenti di ujung pintu yang barusan dia buka, “Bawa peta itu, bawa itu untuk pergi ke Lindblum segera setelah kau menolong Zidane. Jaga baik-baik dia.”

Seperti dugaanku, Boss memang tidak pernah meninggalkan kru-nya, walau Zidane sudah keluar dari Tantalus, namun Boss masih memperlakukannya seperti dia masih di Tantalus. Baiklah, aku akan segera mengejarnya.

---

Tempat yang pertama ku tuju adalah tempat dimana sarang monster itu berada. Dan, ternyata memang benar, mereka berada disana, melawan induk dari monster tumbuhan itu. Tak ragu, aku langsung pergi menemui dan membantunya disana melawan monster-monster itu.

“Rupanya aku tepat waktu.” monster itu memang cukup kuat, setelah beberapa saat bertarung, kita berempat berhasil mengalahkan monster itu.

“Tuan Putri! Bertahanlah!” Steiner memegang Putri itu, bak seorang ksatria kesiangan yang menyelamatkan seorang tuan putri.

“Berikan minuman itu, Zidane.” suruhku pada Zidane yang berada tepat di samping Steiner, memandanginya dengan seksama.

“Tuan Putri, tolong minum ini.” mukanya yang pucat selalu membuatku merinding, dia itu terlalu dramatis untuk hal seperti ini, terlebih untuk tuan putri tercintanya.

Tepat setelah Garnet meminum ramuan itu, tempat dibawah dimana induk monster itu berada, sebuah lubang muncul, menarik induk itu dan muncullah pasukan monster, banyak, sangat banyak. Serentak yang dapat kita lakukan hanyalah berlari mencari jalan keluar.

Liku-liku dekorasi hutan ini tidak terlalu menyulitkan kita untuk berlari menjauh, namun monster yang mengejar kita semakin bertambah. Vivi dan Steiner yang menggendong Garnet berlari di depan, Zidane berada di sampingku.

“Ada sesuatu yang tidak beres!” Zidane berbicara, sambil melihat kearah belakang. Aku tak tahu apa yang tidak beres dengan hutan ini, karena menang hutan ini tidak beres.

“Apa?”

“Tak bisakah kau lihat? Seluruh penghuni sekarang mengejar kita!” dia memang ada benarnya, mengapa hanya kita saja yang dikejar? Itu hal ganjil bagiku, “Blank, take care of everyone.” hah? apa maksud dia berbicara seperti itu?

Firasatnya memang benar, namun jika ia tertangkap, mengapa aku harus kesini dan menolongnya? Akulah yang seharusnya mati karena menolongnya. Kulihat kearah belakang, semuanya nampak membatu! Ini gawat, dan Zidane sepertinya akan tertangkap, aku tak bisa diam saja seperti ini melihatnya tertangkap. Dengan segera aku mendorongnya tepat sesaat sebelum monster itu berhasil menangkapnya, dan ya, akulah yang tertangkap.

Mungkin ini adalah akhir dari hidupku disini. Tak kusia-siakan kesempatan yang tersisa, kulempar peta yang Boss berikan padaku. Kulihat Zidane berhasil menangkapnya.

Sekarang, mungkin aku bisa mati dengan perasaan sedikit lega.

Blank POV End

Zidane POV Start

Blank, ia memang sangat bodoh! Datang menyelamatkan seperti seorang pahlawan, namun pada akhir dia sendiri yang celaka seperti itu.

---

Keesokan harinya, aku hanya bisa memandangi dari luar akar-akar yang terbentuk membentangi hutan yang membatu ini, petrify. Apa yang ia rasakan sekarang?

“Bagaimana keadaanmu?” aku bertanya pada Garnet yang baru saja mendatangiku, tak jauh dari tenda yang kita buat semalam.

“Baik, terima kasih atas minuman yang kau berikan padaku,” ia melihat-lihat akar yang membatu itu, memeganginya, “Apakah ini?”

“Ya, aku juga terkejut,” aku kembali duduk di tanah, memandangi dari sela-sela akar itu, “Setelah kita mengalahkan induk monster itu, hutan ini benar-benar menjadi batu.”

“Vivi mengatakan kepadaku bahwa kita bisa melarikan diri karena temanmu.”

“Namanya Blank.”

“Kita harus menolongnya.” ia memandangiku, mungkin ia mengerti perasaanku saat ini, namun sebenarnya ia tidak mengerti.

“Kita tidak bisa melakukan apapun saat ini.”

“Tapi, aku tidak da-“

“-kita akan kembali untuknya, aku yakin pasti ada cara untuk menyelamatkannya,” aku memotong pembicaraannya secara spontan, entah apa yang ada dipikiranku tidak sama dengan apa yang dia pikir sekarang, “Kita harus bergegas, menurut peta yang Blank berikan sebelum ia membatu, kita bisa menuju Desa Dali di sebelah selatan tidak jauh dari sini.”

Dia menunduk, mungkin juga merasa sedih kalau tidak ada cara untuk menyelamatkannya di dalam sana. Aku berdiri, berjalan mendekatinya, “Kau tidak apa-apa, ‘kan?” ia mendongak lagi, memandang wajahku yang berada hanya sekitar tiga puluh senti dari wajahnya, “Semuanya akan baik-baik saja, percayalah padaku.” ia mengangguk pelan, senyum indahnya kembali terlihat, sebuah senyum manis dari seseorang yang pernah kulihat.

Setelah itu, aku bersama yang lain bergegas menuju Dali, sebuah desa kecil yang berada di sebelah selatan, namun sebelum itu kita harus melewati sebuah gua, Ice Cavern.

To Be Continued.

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)