Final Fantasy
IX Original Story © Square Soft / Square Enix
Story Fiction © Fariz Azmi
Malam itu cukup meriah, sebuah pembuka acara pesta
dengan iringan musik teater orkestra
Lindblum sangat indah, merdu suaranya dapat memberi semangat kepada para
penonton yang sedang melihat. Sorak-sorak dan tepuk tangan penonton juga ikut
menghiasi dalam acara itu.
Seseorang dari balik panggung terlihat keluar, Baku,
dengan sebuah kostum ala seorang raja berjalan ke tengah panggung drama yang
sudah dihiasi sedemikian rupa sehingga terlihat seperti sebuah istana. Para
penonton pun bertepuk tangan dengan sangat meriah.
"Para penonton yang saya banggakan!"
suaranya terdengar jelas dari panggung drama yang cukup luas itu, para penonton
menghentikan tepuk tangannya secara serentak. Sebuah keheningan tercipta untuk
beberapa saat.
"Drama kali ini adalah sebuah cerita yang
terjadi dahulu kala," Baku memberi napas pada kalimat yang akan ia
lanjutkan, "Pahlawan kita, Putri Cornelia, dipisahkan dari kekasih
tercintanya, Marcus," ia memandang ke seluruh sudut penonton yang tertuju
padanya, "Cornelia, ia berniat untuk kabur dari kastil, namun ia
tertangkap oleh ayahnya, Raja Leo," Baku berjalan ke sudut panggung drama,
lampu sorot ikut mengikutinya, "Ketika cerita dimulai, Marcus telah
mendengar kabar ini, menentang sang raja hanya untuk bertemu dengan kekasih
tercintanya, Cornelia." Dia menghentikan kalimatnya, berjalan kembali
tengah panggung.
Baku menatap kearah Ratu yang duduk di singgasana
yang berada diatas, "Dan sekarang, Yang Mulia, Ratu Brahne, dan Putri
Garnet..." Baku kembali menatap kearah penonton sebelum melanjutkan,
"...bangsawan dan tuan-tuan sekalian, serta penonton yang berada di atap,
Tantalus sangat bangga mempersembahkan 'I
Want To Be Your Canary'!" iringan musik orkestra kembali di mulai,
penonton kembali bersorak dengan pembuka itu.
---
Di belakang panggung, terlihat tiga orang, mereka
adalah Zidane, Blank, dan Cinna yang sedang bersiap-siap untuk giliran mereka
di panggung drama, mereka semua terlihat sangat bersemangat dibalik rencana
mereka untuk menculik Putri Garnet.
"Kehilangan Ayah dan Ibu! Marcus! Kau bahkan
kehilangan orang yang sangat kau cintai! Betapa malangnya dirimu!" suara
Blank terdengar sangat meyakinkan bahkan untuk drama palsu ini, ia berdiri.
"Untuk apa engkau harus mengakhiri hidupmu
dengan cara seperti ini?" Cinna melengkapi kalimat Blank barusan, ia pun
juga ikut berdiri sambil mengeluarkan pedang yang ia bawa.
"Demi teman kita disana... Mari kita mengubur
pedang kita di dalam jantung Raja Leo!" Zidane memberi semangat kepada
mereka, berdiri dan berlari menuju panggung drama yang sangat indah itu.
"Aye!" Cinna dan Blank berteriak semangat
sebelum menuju panggung itu.
Gemerlap cahaya menyinari mereka yang baru saja tiba
di panggung, bergabung dengan Marcus yang sudah berada disana, berdiri di depan
Raja Leo yang sedang murka terhadap mereka. Permainan pedang mereka terdengar
sangat meyakinkan, beberapa orang prajurit juga ikut bertarung disana bersama
Raja Leo, tak satupun dari mereka yang lengah dengan hunusan pedang
masing-masing orang itu.
"Kita tidak boleh menyerah! Kita akan
memenangkan pertarungan ini!" Blank berteriak di tengah ayunan pedangnya
terhadap seorang prajurit di depannya, namun dengan mudah dihindari olehnya.
"Berdoalah terhadap pedangmu! Para penjahat ini
harus kita bunuh!" Marcus pun berteriak dalam ayunan pedangnya, mundur dua
langkah untuk menangkis serangan prajurit.
"Ya! Karena aku juga telah kehilangan seorang
saudara, karena iblis ini!" Cinna menambahkan.
"Kau tidak akan bisa membunuhku!" Raja Leo
berteriak kepada mereka bertiga yang sebelumnya mundur, "Berani-beraninya
kau ingin membunuhku, seorang raja!" ia maju beberapa langkah, maju
bersiap untuk menghunuskan pedangnya, "Semua yang menghalangiku akan
kuhancurkan!" serangan itu ditepis oleh Zidane yang juga mengayunkan
pedangnya sebagai pertahanan.
"Perjuangan teman-temanku tidak akan kubiarkan
sia-sia karenamu! Karena aku akan mengajarimu dengan sebuah luka yang tidak
dapat kau sembuhkan untuk selamanya!" Zidane manju, menepis ayunan pedang
Raja Leo yang dilancarkannya, pertarungan itu sangat sengit.
Namun, pertarungan itu berhasil dimenangkan oleh Marcus
yang dibantu oleh ketiga temannya. Raja Leo, ia terluka dan melarikan diri,
Zidane pun berniat mengejarnya karena ia rasa ia bisa membunuh Raja Leo yang
terluka seperti itu, namun setelah beberapa langkah berlari, Blank tiba-tiba
menghalangi jalannya.
"Jangan menghalangiku, Blank!" Zidane
berteriak dihadapan Blank yang menghalangi jalannya.
"Pikirkan lagi, Zidane! Jika Pangeran Schneider
menikah dengan Putri Cornelia, sebuah perdamaian akan terjadi dikedua belah
kerajaan!" sebuah ucapan yang sangat masuk akal, namun Zidane tidak
menyetujuinya.
"Kebodohan ini! Jika semua itu begitu mudah,
mengapa, tak akan ada lagi yang menderita di dunia ini!" Zidane menghunus
pedang kearah Blank, namun ia menghindari. Sebuah pertarungan terjadi, drama
ini berjalan begitu lancar sesuai rencana mereka. Tidak sampai disana, mereka
berdua bertarung hingga di ujung panggung, semua penonton yang berada disana
berteriak kagum terhadap Zidane dan Blank karena permainan pedang mereka yang
sangat mengagumkan. Namun tak mereka sadari, ternyata mereka bertarung hanya
untuk melewati para penonton dan pergi ke kastil. Sesuai rencana mereka.
---
Mereka memasuki sebuah ruang di kastil itu, dua
orang prajurit Alexandria ada disitu, dengan cepat Zidane dan Blank menghajar
mereka berdua, prajurit itu pingsan.
"Dengan ini kita akan dengan mudah menyelinap
di dalam kastil ini!" Blank mulai mencopot armor yang prajurit itu kenakan, begitu juga Zidane.
Tak beberapa lama, mereka berdua sudah memakai armor prajurit Alexandria, jadi tak
satupun akan mencurigainya.
"Helm ini, berbau busuk!" Zidane melempar
helm besi itu ke meja yang berada di depannya, mengeluh terhadap apa yang
dipakainya.
"Apa yang kau bicarakan? Helm ini sangat busuk
juga..." Blank memukul kecil helm yang ia kenakan, "...armor ini juga terlalu besar," ia
memperlihatkan armor yang ia pakai
kepada Zidane, "Punggungku juga terasa gatal karena armor ini! Sarung tangan ini juga basah terkena keringat," ia
menyodorkan kedua tangannya kepada Zidane, "Dan juga, ada remah-remah sisa
kue di saku ini!" sebuah remah kue juga ia ambil dan ditunjukkan kepada
Zidane.
"Baiklah, aku dapat gambarannya," Zidane
berjalan ke pintu dan melihat-lihat keadaan, lalu menoleh lagi kearah Blank,
"Kamu masih membawa 'paket' nya, 'kan?"
Blank berjalan mendekat dan membuka pintu itu,
"Tenang saja, aku tidak akan mengacaukannya kali ini."
"Baiklah, kita hanya perlu mencampurkan pil
tidur ini ke dalam minuman Putri Garnet!"
"Dan aku punya hadiah istimewa untuk sang
Ratu!" ia tertawa kecil, sepertinya ada yang ia sembunyikan dibalik tawa
kecilnya itu.
Mereka berdua berjalan menjelajahi kastil itu untuk
menemukan kamar Putri Garnet, sebelum sebuah tangga ia lihat, Blank berhenti di
tengah anak tangga yang ia pijak, Zidane tetap berjalan menaiki anak tangga
itu.
"Menurut petunjuk, kursi sang Putri seharusnya
berada tepat setelah tangga ini!" Blank berpikir sejenak sebelum
melanjutkan jalannya. Sorakan penonton dari luar terdengar sangat keras,
"Adegan dimana Marcus menyelinap ke kamar Cornelia akan dimulai! Kita
harus bergegas sebelum mencapai akhir drama."
Sebuah pintu yang sangat besar dan megah ia lihat,
sepertinya itu adalah pintu menuju kamar Putri Garnet. Zidane hendak
melanjutkan ke arah lain, namun perhatiannya teralihkan kepada seorang gadis
yang membuka buka pintu itu. DItutupi dengan jubah di seluru tubuhnya, gadis
itu berlari kearahnya dan berhenti, Zidane tidak dapat melihat wajah sang gadis
yang berada dihadapannya itu.
'Ia terlihat sangat lucu dengan jubah itu.' hati
Zidane berkata seperti itu selagi ia melihat-lihat sang gadis yang berada
didepannya.
"Umm, maukah kau membiarkan aku untuk
lewat?" gadis itu bertanya, namun wajahnya masih tidak bisa Zidane lihat
dengan jelas.
"Hmm, mari kita lihat," Zidane
berbasa-basi dengan memutari gadis itu, melihat setiap detail yang tidak bisa
ia lewatkan. Gadis itu hanya bingung dibuatnya.
"Apakah ada yang aneh denganku?" gadis itu
mencoba menebak-nebak apa yang sedang Zidane lakukan.
'Gadis ini mempunyai gaya bicara seperti bangsawan.'
Zidane berpikir juga sambil terus mengamati gadis yang hanya diam itu. Mereka
berdua sama-sama sedang berpikir, "Oh, tidak. Kau dapat lihat..,"
Zidane berhenti memutari gadis itu dan berhenti di depannya, "Aku hanya
berpikir mungkin kau adalah seseorang yang selama ini aku tunggu." Zidane
manggut-manggut yakin.
"Maafkan aku? Kau telah menungguku?" gadis
itu bingung, sama seperti yang Zidane pikirkan, instingnya tidak salah lagi.
"Yeah! Aku selalu bermimpi bertemu denganmu
sejak aku dilahirkan!" Zidane meyakinkan gadis itu agar percaya.
"Apa kamu mengejekku?" raut wajah gadis
itu berubah seketika, cemberut.
"Tentu saja tidak."
"Kalau begitu aku harus pergi." gadis itu
mencoba melewati Zidane, namun dengan cepat dihentikan, tangan Zidane memegang
pergelangan tangannya.
"Sebentar! Apakah kita pernah bertemu
sebelumnya?" Zidane mencoba membujuk gadis itu lagi, ia melepas genggaman
tangannya pada pergelangan tangan gadis itu.
Tidak, aku tidak kenal kau." dengan cepat gadis
menggeleng kepadanya.
"Mungkin kau benar, aku tidak pernah membiarkan
seseorang secantik dirimu pergi," Zidane berpikir lagi, kali ini dia yakin
kalau gadis itu adalah Putri Garnet, "Katakanlah, maukah kau kua-"
belum sempat Zidane menyelesaikan kata-katanya, Blank datang, perhatiannya
teralihkan.
"-Hey, ada apa, Zidane?" Blank bertanya
kepada Zidane yang berada disana bersama seorang gadis.
"Aku..." gadis itu melihat sebuah celah
agar bisa lari, "...aku harus pergi!" dengan segera dia berlari,
mendorong Zidane hingga terjatuh, lalu melewati Blank, ia juga ikut terjatuh.
"Siapa dia tadi?!" Blank mengaduh sambil
bertanya kepada Zidane yang sudah berdiri dan mengejar gadis itu.
"Cepat berdiri, Blank! Dia Putri Garnet!"
Zidaneberlari kebawah menuruni tangga untuk mengejar gadis yang ternyata Putri
Garnet itu, disusul oleh Blank yang segera berdiri dan ikut mengejarnya.
"Apa kau serius?!" Blank bertanya di sela
pengejarannya dengan Putri Garnet. Pada satu titik tertentu, Zidane dan Blank
harus berpencar untuk mencari Putri Garnet yang kabur itu.
---
Tidak beberapa lama kemudian, berita bahwa Putri
Garnet menghilang itu terdengar oleh sang Ratu, dengan cepat ia memerintahkan
Steiner, Kapten Ksatria Pluto, untuk mencari tahu dimana Putri Garnet berada.
Di sisi lain, Zidane masih mengejar Garnet yang naik ke sebuah tower tua yang
berada di kastil itu, tower tua itu terlihat jarang dikunjungi, karena banyak
debu yang bertebaran. Zidane terus mengikuti, karena armor yang ia kenakan terlalu berat, ia memutuskan untuk
melepasnya. Naiklah mereka hingga di puncak tower tersebut, dari sana, mereka
dapat dengan jelas menyaksikan pertunjukkan drama itu.
Putri Garnet segera naik ke pagar pembatas di atas
tower itu, mengambil seutas tali yang berada disana, Zidane sekarang berhenti
tepat di depannya, memandang bingung gadis itu. Gadis itu tersenyum manis
melihat Zidane disana, kemudian hal yang tidak ia pikirkan terjadi, gadis itu
loncat dari sana menggunakan seutas tali yang ia ambil tadi. Zidane yang kaget
pun ikut mengambil tali lalu ikut meloncat. Dari kejauhan, Kapten yang
ditugaskan oleh Ratu tadi melihat mereka dari puncak tower yang berbeda, kaget,
dan kemudian ikut melompat menggunakan tali yang juga tersedia disana.
Garnet mendarat diatap balon ruangan dimana para
pemain orkestra di kapal itu. Ya, atap balon. Diikuti oleh Zidane yang juga
mendarat, namun terjatuh duluan ke dalam ruangan pemain orkestra tersebut. Lalu
Garnet pun juga jatuh, menindihi Zidane yang barusan terjatuh duluan.
Garnet langsung bangun, kembali berlari kabur dari
Zidane, memasuki sebuah ruangan.
"Kemana Putri itu pergi?" Zidane berdiri,
kebingungan. Ia lalu mencari Putri Garnet. Memasuki ruangan yang sama dengan
Putri Garnet, menemukan ia sedang ditahan oleh temannya, Ruby. Ia dengan cepat
menemui mereka berdua, Garnet nampak gelisah sekarang.
"Hey, Zidane! Apa kau melihat jika dia tadi
menabrakku?" suara manjanya yang terdengar khas diikuti gerakan centil,
rambutnya yang berwarna biru ikut berayun kesana-kemari mengikuti gerakan
tubuhnya.
"Biarkan aku bicara padanya, Ruby! Aku juga
sedang terburu-buru!" Zidane juga ikut gelisah, seorang yang ia kejar
sudah di depan matanya sekarang, namun Ruby menghalanginya. Ruby berjalan
kearah Zidane, membuka sebuah ruang bagi Garnet untuk pergi, dan kesempatan itu
tidak ia sia-siakan.
"Ayolah, apa kau tidak mendengar yang aku
katakan tadi, Zidane?" suara manjanya terdengar lagi, masih diikuti dengan
gerakan manja. Zidane yang mengetahui bahwa Garnet pergi pun langsung pergi
melewati Ruby yang berada di depannya, menggeser tubuh Ruby dengan memegang
kedua pundaknya.
"Kita bicara nanti!" Zidane pun menuruni
tangga dimana Garnet lewati.
"Selalu saja begitu!" raut wajahnya
menjadi cemberut sekarang.
Zidane masih mengejar Garnet, dimana pada akhirnya
Garnet berhenti di sebuah ruangan, ruangan gelap dimana Zidane menyalakan
lilinnya, lilinya masih menyala, walau hanya tinggal beberapa batang saja.
"Akhirnya kau menyerah juga!" Zidane
kelelahan, keringatnya mengucur dari pelipisnya, memandangi gadis yang berada
di depannya dengan napas tersenggal-senggal.
"Bagaimana kau..." Garnet melihat seisi
ruangan tersebut, kotor, bahkan terlihat tak terawat, "...bagaimana bisa
kau bekerja di sebuah kapal teater seperti ini?" Garnet memandangi Zidane
yang kelelahan, menunggu sebuah jawaban.
'Jadi dia sudah mengetahui identitasku, huh?' Zidane
berbicara dalam hati, masih memandangi Garnet yang tertutup jubah berwarna
putih bercorak merah itu.
"Seperti yang kau ketahui..." Garnet
melihat dalam-dalam laki-laki berambut pirang yang berada di hadapannya,
"...sebenarnya..." Garnet melepas tudung di kepalanya, memperlihatkan
wajahnya, tidak dapat disangkal, walaupun masih berusia enam belas tahun, namun
sebenarnya Garnet sudah terlihat sangat dewasa, lalu ia menarik napas sebelum
melanjutkan kalimat yang ia hentikan itu, "Aku adalah Putri Garnet Til
Alexandros, pewaris satu-satunya kerajaan Alexandria."
Zidane tidak terkejut karena ia sudah mengetahuinya
dari tadi.
"Aku mempunyai sebuah permintaan
kepadamu..." Garnet membalikkan tubuhnya, membelakangi Zidane, "Aku
ingin kau menculikku... Sekarang juga." ya, sebuah permintaan yang sangat
tidak wajar, mana ada orang yang meminta dirinya untuk diculik? Namun itulah
yang ia katakan, tak dapat diragukan lagi. Dengan beberapa fakta bahwa Garnet
sebenarnya ingin kabur dari sana.
Zidane terkejut dengan permintaan Putri Garnet
barusan, "Huh?!" dia mencoba untuk bersikap normal, namun tidak bisa,
"Aku tidak... Maksudku..." kata-katanya terhenti lagi ketika ada sebuah teriakan dari luar pintu, suara
yang familiar bagi Putri Garnet. Steiner, pengawal pribadinya, datang untuk
menyelamatkannya, atas perintah sang Ratu.
"Kumohon... Mereka akan datang dan menyeretku
kembali ke istana!" Garnet memohon kepada Zidane, memegang kedua tangannya
dengan erat. Hal yang sangat jarang, bahkan tidak pernah terjadi, dimana
seorang Putri kerajaan memohon kepada seorang pencuri.
"Aha... Jadi itulah yang sebenarnya
terjadi...," Zidane tidak berpikir panjang lagi, memang menculik Garnet
lah tujuan utamanya, "Baiklah! Serahkan itu padaku!" dengan percaya
diri dia menjawab.
"Terima kasih, aku akan berhutang budi
padamu."
"Baiklah kalau begitu, Yang Mulia! Aku akan
berusaha yang terbaik untuk menculikmu!" Zidane menepuk dadanya dengan
kepalan tangannya, merasa bangga akan dirinya saat itu. Kemudian secara
tiba-tiba Cinna datang.
"Apa yang kalian lakukan disini? Ayo
kesini!" Cinna yang terlihat tergesa-gesa segera lari ke ruang dimana
mereka tadi rapat.
"Tenang saja, Putri. Dia adalah temanku,
Cinna!" mereka bertiga berjalan masuk ke ruangan itu.
"Oh, benarkah? Maaf, dia mengagetkanku."
Garnet dengan wajahnya memandang kearah Cinna dengan sebelah tangannya memegang
dadanya, tanda dia terkejut.
"Well,
dengan wajahnya yang seperti itu, aku pasti akan kaget juga!" Zidane
bercanda untuk mencairkan suasana, agar mereka semua tidak tegang dengan apa
yang sedang terjadi.
"Teman, Itu sungguh menyakitkan! Aku mencuci
wajahku setiap pagi, kau tahu!" Cinna mengangkat palu yang ia pegang tadi
kearah Zidane, namun karena situasi, ia memahami itu.
"Kemana kita akan pergi?" Zidane bertanya
kepada Cinna yang juga berada disana, "Tidak ada jalan lagi!" Zidane
mulai khawatir.
"Tenang saja, aku sudah menduga jika ini akan
terjadi," kemudian, Cinna melangkahkan kakinya di samping meja dengan
miniatur kastil tersebut, menginjak sebuah tombol dengan kakinya,
"Taraa~" meja itu pun
terangkat naik secara otomatis, "Ayo cepat masuk!" terlihat
sebuah pintu dibawah sana, kemudian Cinna membuka pintu itu, ada tangga disana,
tangga menuju pusat kendali mesin kapal tersebut.
Sesaat setelah mereka turun, Kapten itu datang
dengan seorang prajurit yang entah darimana datangnya, "Tuan Putri pasti
berada dibawah sana!" ia menunjuk kearah pintu di lantai yang berada di
depannya itu.
"Aku duluan, Pak!" prajurit itu kemudian
lompat kearah lubang itu, namun tak disangka, ia terjepit dan tidak bisa turun
kebawah."
"Hey hey hey, apa yang kau pikirkan sedang
lakukan?!" tentu saja Steiner marah, dengan situasi yang gawat seperti
ini, "Lupakan saja!" ia kemudian keluar ruangan itu, mencari jalan
lain menuju bawah.
"Hehehe, dia tertipu!" dan nampaknya
prajurit itu menipu Steiner. Lalu ia kembali menuruni tangga yang berada di
bawahnya itu, dan tentu saja, mengejar Zidane dan yang lain.
---
"Wow, kau sangat atletik sekali, Tuan Putri!
Aku kira aku akan jatuh hati padamu!" Zidane terkagum-kagum melihat Putri
Garnet yang tidak kenal lelah itu.
"Ini belum apa-apa!" dia menjawab di sela
larinya mengikuti Cinna ke seuatu tempat, "Aku sudah berlatih untuk kabur
dari istana, selama ini."
"Sungguh membuang waktu. Jika saja kau bukan
Putri, mungkin kau akan kujadikan pac-"
"-kita tidak punya banyak waktu untuk
berbincang. Ayo!"
Mereka kemudian berlari ke suatu ruangan, namun tak
disangka, mereka bertemu Steiner yang tadi mengejar mereka dari pintu yang
mereka akan tuju. Dan tentu saja, langkah mereka terhenti untuk beberapa saat.
"Anda tidak perlu khawatir, Tuan Putri!"
prajurit yang terjepit tadi pun juga muncul dari belakang mereka.
"Kerja yang bagus! Dengan ini aku akan
mengingatmu sebagai salah Ksatria Pluto terbaik yang pernah Alexandria
miliki!" dengan sombong Steiner itu berbicara.
"Tenang, Tuan Putri. Kita akan mengeluarkanmu
dari sini!" prajurit itu berbicara lagi, rupanya dia bukan prajurit
Alexandria, dia adalah Blank yang menyamar menggunakan armor prajurit Alexandria.
"APA?!" Steiner kaget, marah, dan jengkel,
"Kau bukan salah satu anak buahku!" Steiner yang baru menyadari
itupun sudah terlambat untuk membawa Putri Garnet. Ia mengeluarkan pedangnya
dan menghunuskan kepada prajurit palsu itu, armor
yang prajurit itu gunakan secara dramatis terbelah akibat pedang Kapten itu.
Mengeluarkan semua Oglop yang ia simpan di dalam pakaiannya, berhamburan kesana
kemari di seisi ruangan, "Aku benci OGLOP!" Kapten itu berteriak
sambil lari tidak jelas kesana kemari.
"Ini kesempatan kita, Putri!" Zidane
kemudian dengan Garnet dan juga Cinna berlari ke ruangan sebelah, dimana adalah
ruangan untuk naik ke atas panggung dengan sebuah mesin.
"Cepat berdiri disana!" Cinna berteriak
sambil menunjuk pada sebuah platform
yang berada tidak jauh dari sana. Lantas kemudian ia sendiri menekan sebuah tombol
di mesin itu.
Steiner pun yang secara tiba-tiba datang pun
mendorong Cinna hingga terjatuh dan menaiki platform
itu.
---
Drama itu masih terus berjalan, dimana saat Raja Leo
berhasil menangkap Marcus.
"Malam ini, aku akhirnya dapat melihat anakku
Cornelia akan menikan dengan Pangeran Schneider! Dan kemudian Pangeran
Schneider dan kerajaan yang ia miliki akan segera menjadi milikku!"
diikuti oleh tawanya, Raja Leo sangat bangga terhadap dirinya sendiri.
"Yang Mulia, kita menangkap seorang
pengacau!" Zenero dan Benero, dimana mereka adalah pengawal pribadi Raja
Leo datang dengan membawa Marcus.
"Kenapa, Marcus yang malang!" ia kembali
menunjukkan raut wajah yang murka seketika saat melihat Marcus, "Tidak
peduli seberapa berharga Cornelia..." ia memberi jeda, "...tidak
peduli dia mencintai seseorang..." dia kembali memberi jeda, sambil terus
menatap Marcus dengan sepasang matanya, "...tidak akan aku melihatnya
menikahi seorang rakyat jelata sepertimu!" dan kemudian, sebuah bel berdentang
untuk pertama kali, "Ketika bel itu mencapai hitungan ketiga..." bel
itu kembali berdentang, "Dibawah sebuah kapak aku akan membunuhmu!"
bel ketiga berdentang, namun sebuah hal yang tak disangka, Zidane dan Garnet
muncul melalui platform diikuti
dengan Steiner.
"Improvisasi!" Zidane berteriak kecil
kepada semua krunya yang berada disana. Steiner masih kebingungan dengan apa
yang sedang terjadi.
"Apa yang sedang terjadi?" Steiner
melihat-lihat sekitarnya, masih bingung seperti ketika baru naik.
Kemudian Marcus melepaskan genggaman kedua prajurit
itu, "Cornelia!" dan ia menyebutkan nama itu didepannya. Garnet yang
juga kebingungan tidak mengerti harus bagaimana.
"Cornelia adalah kekasih Marcus!" Zidane
membisikkan itu di telinga Garnet
Dengan cepat ia sadar jika sudah tergabung dalam
drama tersebut, dengan gerakan tubuhnya, ia bisa mengimbanginya, "Oh,
Marcus!" Garnet yang sedang berperan sebagai Cornelia pun tahu harus
berbuat apa.
"Ya, kau melakukannya dengan bagus!"
Zidane berbicara kecil di tengah drama itu, sambil memberi semangat kecil
kepada Garnet yang sedang berperan sebagai Garnet.
"Aku juga mempelajari drama, kau tahu!" ia
berbicara juga disana, mungkin ia bangga.
"Baiklah anak-anak, ayo selesaikan. Brahne
masih tetap menonton kita!" Baku juga memberi semangat kepada para anak
buahnya.
"Oh, Marcus! Aku sangat merindukanmu!"
Garnet pun memeluk Marcus yang berada di depannya, "Aku berharap akan
selalu disampingmu. Bawa aku pergi dari sini!"
"Kau lihat, Raja Leo? Kau seharusnya memberi
mereka restumu!" Zidane pun ikut tergabung kembali dalam drama tersebut,
aktingnya memang sungguh hebat walau notabene sebenarnya ia adalah seorang
pencuri.
"Tidak akan! Aku tidak akan pernah membiarkan
putriku menikah dengannya. Dia hanya akan menikah dengan Pangeran Schneider!"
Raja Leo menunjuk kearah Steiner yang berada disana, "Bukankah begitu,
Pangeran?"
"M-menikah dengan Tuan Putri? Aku?!"
Steiner hingga saat ini masih kebingungan ia berada di situasi ini.
"Benar! Mereka para pengkhianat, akan aku bunuh
mereka semua!" ia memberi isyarat kepada kedua prajuritnya untuk
menyerang, namun dengan mudah dikalahkan oleh Zidane dan Marcus. Kedua prajurit
itu pun kabur dari sana, "Berdoalah, putriku, kembalilah ke istana
bersamaku."
"Tidak ayah, aku tidak akan kembali!" Garnet
menggeleng.
"Cornelia... Jangan buat masalah lagi.
Pernikahan ini adalah untuk kebahagiaanmu sendiri. Pikirkan itu
baik-baik." Raja Leo menurunkan nada suaranya, terdengar sangat perih.
"Tidak jika aku bisa membantunya!" Marcus
marah, kini ia maju selangkah, "Ini adalah kesempatanku untuk balas
dendam! Untuk orang tuaku, dan untuk kekasihku, Cornelia..." ia pun
mengeluarkan pedang, " Aku akan membunuhmu!" ia berjalan kedepan
untuk menusuk Leo, namun Garnet menghalanginya, menusuk perut Garnet -walaupun
tidak sebenarnya terjadi, di sisi lain, Steiner panik karena mengira bahwa
Garnet benar-benar tertusuk.
"Tidak... Cornelia!" Marcus memeluk tubuh
Garnet yang sudah lemah.
"Mar...cus, maafkan aku, tetapi aku masih
menyayangi ayahku..." suaranya terdengar sangat berat, memang benar jika
ia sedang memerankan seorang yang sedang sekarat.
Cornelia!" Raja Leo pun iku menangis karena
itu.
"Tuan Putri!" Steiner masih panik dan
menangis melihat Garnet.
"Maafkan keegoisanku, ayah, dan ampuni
Marcus..." matanya pun tertutup secara perlahan.
"Apa yang telah kulakukan?! Aku tidak akan
pernah bisa mendengar suara indahnya lagi?! Aku terkutuk untuk tidak bisa
merasakan sentuhan lembutnya lagi?!" Marcus pun iku menangis melihat
Garnet yang dipelukannya sudah tiada, "Oh, benar-benar takdir, mereka
telah merebut semua yang kupunya!" Marcus pun berdiri, mengambil pedang
yang tergeletak disebelahnya dan menusuk dirinya sendiri.
"Marcus!" Zidane berteriak kepada temannya
yang telah tiada itu. Bahkan Ratu Brahne pun iku menangis karena drama yang ia
saksikan.
"Maafkan aku Cornelia!" Raja Leo masih
tertunduk menyesal disana, melihat Cornelia sudah tidak bernyawa. Lalu,
terlihat dua orang asing yang sangat aneh berlari keatas panggung, mereka
terlihat sedang dikejar oleh prajurit.
"Kembali kemari!" dua orang yang ternyata
adalah Puck dan Vivi berlari mengelilingi para pemain drama disana, sebelum
pada akhirnya ia mengeluarkan sebuah sihir yang secara tidak sengaja membakar
jubah Putri Garnet, Vivi terjatuh, lalu Garnet pun melepas jubahnya yang
terbakar dan membuka semua penyamarannya.
"Zidane, Inilah waktunya!" Baku secara
spontan menyadarinya langsung berteriak kepada Zidane yang berada tidak jauh.
"Tuan Putri, ayo pergi dari sini." sebuah
senyum simpul terlihat di wajah Zidane, sambil mengulurkan tangan untuk
membantunya bangun.
"Apa... Apa yang sebenarnya sedang
terjadi?!" Steiner masih tetap panik, kaget terlebih karena ia melihat
ternyata Tuan Putrinya masih hidup.
"Steiner, jangan mengikutiku lagi!"
perintah Garnet dengan nada kebangsawanannya.
"Well,
aku ragu dengan hal itu, Tuan Putri." Steiner bingung, didampingi dua
orang prajuritnya yang tadi mengejar Vivi dan Puck.
"Keras kepala seperti biasanya, huh?" raut
wajahnya sekarang cemberut, diikuti dengan menyilangkan kedua tangannya di
depan dadanya.
"Ayolah, Tuan Putri!" Zidane lalu berjalan
kearah Vivi yang masih terjatuh, "Hei, anak kecil... Apa kau baik-baik
saja?"
"Y-ya, aku tak apa, hanya terjatuh." ia
pun berdiri dan membersihkan pakaiannya yang kotor, dan membenarkan posisi topi
yang menandakan sebuah penyihir itu.
"Tuan Putri, saya tidak bisa membiarkan ini
semua!" pertarungan kecil pun terjadi diantara Steiner dengan Zidane serta
Vivi.
Di tengah pertarungan itu, kapal yang mereka naiki
itu mulai menyalakan mesinnya, sedikit demi sedikit baling-baling kapal itu
berputar, berputar semakin cepat. Ratu Brahne yang menyadari jika kapal itu
hendak pergi membawa anaknya, segera memerintahkan para prajuritnya menembak
kapal itu, tiga buah meriam pun ditembakkan. Namun, nampaknya keberuntungan
masih berpihak kepada Zidane dan krunya, walaupun tiga tembakan meriam itu
mengenai kapal mereka, kapal itu masih bisa terbang.
--
"Garnet... Aku tak menyangka kau akan berbuat
seperti itu, mungkin kau bukanlah gadis kecil yang tidak berguna lagi."
Brahne murka, mematahkan sebuah kipas yang daritadi ia pegang, "Zorn!
Thorn!" ia kemudian memanggil mereka berdua, dua orang badut, namun mereka
sebenarnya penyihir. "Apakah percobaan kecil kita sudah siap?"
"Ya, Yang Mulia, semua persiapan sudah
selesai." Zorn menjawab disusul oleh Thorn.
"Ini akan sangat mudah untuk menyingkirkan Tuan
Putri."
"Aku butuh dia hidup-hidup! Bawa dia kemari
secepatnya!" setelah itu, Zorn dan Thorn pun pergi.
Sebuah awal petualangan baru telah dimulai...
To Be Continued.