Tidak ada yang istimewa siang itu,
hanya antrean panjang yang tak kunjung selesai sejak pagi. Ada yang mengeluh,
kebanyakan, ada juga yang lesu dengan keringat bercucuran disana-sini, ada pula
yang hampir pingsan –cuma katanya sih, tapi nggak
tau juga.
“Ajegile, mau sampe kapan nih antreannya, panjang bener!” celetuk seorang cowok
berpenampilan rapi yang berkeringat dibalik panjangnya antrean yang mencapai
beberapa puluh meter, bahkan mungkin ratusan jika dihitung dengan benar-benar.
“Iya, nih.” seorang cewek di belakangnya ikutan nimbrung, mengelap
keringat yang meluncur bebas di pelipis dahinya dengan tangan yang ditutupi
oleh kemeja panjang berwarna putih.
“Suer nih, kalo gini bisa sampe subuh kita disini.” cowok itu
kembali berkicau dengan nada keluhannya seperti tadi, namun kali ini si cewek lebih
memperhatikan perkataan si cowok tadi, “Kalo
tau gini mending besok aja.”
Cewek itu hanya menghela napas
pendek lalu menyandarkan kepalanya di punggung cowok yang mengeluh itu, jadi
cewek itu sekarang sedang menatap ke arah lantai “Sama aja kali, kalo lu sekarang
dikosan main game, besok kesini juga bakal kayak gini lagi, mending kelarin sekarang aja, biar besok lu bisa
ngegame sepuasnya!” suaranya sedikit
kesal juga disertai ekspresinya, kesal dengan antrean juga ocehan cowok itu,
namun keluhan cowok itu terasa sudah biasa didengar oleh telinganya.
“Selanjutnya!” suara itu terdengar
kembali setelah beberapa menit dari seseorang dibalik meja di antrean paling
depan. Seketika antrean itu maju satu langkah, seolah seperti mobil sedang
terjebak macet.
“Mana nggak dikasih nomor lagi, biar bisa ditinggal, kek!” sekarang giliran si cewek yang mengeluh. Cowok di depannya hanya ikut
mengangguk menyetujui. “Kursi juga nggak
ada.” tambahnya, si cowok mengangguk lagi.
“Liv.” cowok itu memanggil, juga
menoleh 90 derajat ke kiri.
“Apa?” cewek yang dipanggil dengan
sebutan Liv itu mengangkat kepalanya
seketika, hampir seperti kaget namun tidak.
Cowok itu terdiam sebentar,
terlihat berpikir untuk sesaat.
“Nggak jadi.”
“Ih, Nara, apaan hayo?” ia
memukul bahu kanan cowok yang bernama Nara itu dengan telapak tangannya dengan
pelan.
“Nggak, nggak jadi, kok,
Liv.” Nara kembali menolak untuk berbicara.
“Ih, kebiasaan nih, suka
buat orang penasaran!” suaranya terdengar sebal, lalu ia menyilangkan kedua
tangannya di depan dadanya, wajahnya cemberut.
Nara berbalik badan, “Lu jelek banget kalo pas lagi
cemberut, biasanya cewek kalo cemberut
itu cantik, tapi lu nggak.” Nara tertawa sejenak
memperhatikan, lalu kembali berbalik.
“Biar!” wajah cemberutnya semakin
bertambah parah, bukannya dibaikin malah bikin tambah parah situasinya.
“Ntar, deh.” ucap Nara.
Seketika wajah cemberutnya hilang,
seperti mendapat sebuah keberuntungan, ia memegang kedua bahu Nara dengan kedua
tangannya.
“Beneran?”
“Iya, Oliv cantik.” suaranya
terdengar menggoda, namun bagi Oliv itu terdengar menggelikan untuknya.
“Hih~” seketika itu juga ia melepaskan kedua tangannya dan mundur
sedikit. “Geli tau!”
“Hahaha.” Nara hanya tertawa kecil
sambil menutupi mulutnya dengan map
berwarna merah muda tua yang ia pegang sejak tiba di tempat itu. Beberapa orang
menoleh ketika ia tertawa.
Tiba-tiba
saja handphone di dalam saku celana
Oliv bergetar, kali ini cewek berpakaian simpel namun rapi ini tidak lupa untuk
merubah mode pada handphonenya. Ia sedikit tersentak
dengan getaran yang tiba-tiba itu, merogoh saku celananya dan mendapati sebuah
nama yang muncul di layar handphone
sebesar 4,7 inci berwarna putih polos. Terlihat sedikit terlalu besar untuk
digenggamnya.
Dewa.
Itulah nama yang muncul di layar handphonenya.
Oliv
dengan segera menepuk bahu kiri Nara dengan tangan kirinya, sedangkan tangan
kanannya sudah bersiap dengan handphonenya
untuk ditunjukkan pada Nara.
Nara
menoleh, mendapati sebuah layar handphone
ketika ia menoleh, membaca sebuah nama yang tidak asing. “Angkat gih.”
“Ogah, lu aja.” Oliv menolak
dengan gelengan, ekspresinya terlihat benar-benar seperti tidak mau menerima
panggilan telepon itu.
“Udah angkat aja.” Nara juga menolak panggilan itu. Toh Oliv yang ditelepon, kan
harusnya dia yang ngangkat panggilan
itu, pikirnya.
Oliv
cemberut lagi sambil enggan menerima panggilan itu. Sudah terlalu lama
dibiarkan seperti itu juga tidak enak.
Setelah
beberapa detik berpikir, akhirnya mau tidak mau Oliv menerima panggilan itu
dengan menggeser tombol bulat berwarna hijau di sisi kiri layar menuju sisi
kanan. Lalu dengan cepat ia menaruh benda berbentuk persegi panjang itu di
telinga kanannya.
“Halo,
Dewa?” Oliv membuka suara untuk telepon itu, kedua matanya menatap wajah Nara,
berpindah-pindah seputar wajah secara bergantian. Berbeda dengan Nara yang
hanya menatap mata berwarna cokelat tua milik Oliv dengan lesu namun masih
tetap terlihat serius memperhatikan mimik wajah Oliv.
“Enggak, ini lagi ngantre nyerahin berkas
di kampus.” suara Oliv lirih namun masih bisa didengar oleh Nara. “Iya, dari
tadi pagi, nih.” Lanjutnya berbicara
pada Dewa di telepon. Nara terus memperhatikan seperti tadi, namun dengan kedua
tangan disilangkan di depan dada. “Emm,
sama Nara.”
“Tanyain dia lagi dimana sekarang.” Nara
berbisik. Oliv mengangguk mengerti.
“Eh, lu
lagi dimana De?” ucap Oliv dengan sebuah ekspresi dan nada yang sedikit beda.
Setelah itu ia menggeleng dengan memberikan isyarat tubuh nggak tahu kepada Nara.
“Oh,
ya udah kalo gitu.” telepon ditutup
setelah nada itu, cukup singkat untuk sebuah telepon yang sebenarnya sudah Oliv
tunggu-tunggu untuk beberapa saat namun tidak terduga, terutama disaat-saat
seperti ini.
“Gimana?” pertanyaan pertama yang selalu
ditanyakan oleh Nara.
“Kayak
biasanya.” jawaban yang selalu ia dapatkan ketika ia menyuruh Oliv menanyakan
tadi. Lagi dimana dia sekarang.
“Ah,
udahlah, biarin aja.”
“Selanjutnya!”
suara tadi, dengan nada yang sama terdengar lagi, semua orang yang berdiri berjajar
antre disana menoleh kearahnya, menjadi
pusat perhatian sesaat. Satu langkah lagi, dan masih tersisa puluhan langkah
lagi menuju meja itu. Nara menerka-nerka berapa waktu yang dibutuhkan untuk
menyelesaikan antreannya.
“Sampe subuh beneran nih ntar.” celetuknya lagi sambil menghitung sisa antrean.
“Hah!”
Oliv kembali menenggelamkan kepalanya ke punggung Nara, menghela napas yang
lebih panjang, kedua tangannya meremas kemeja polos milik Nara yang tidak
dikancing pada bagian pinggang.
“Eh,
ini jam berapa?” Nara mencoba membuat sebuah pembicaraan agar Oliv tidak bosan
dengan situasi yang memang dari awal mereka tiba disini sudah cukup membosankan
dengan hanya melihat saja, apalagi ikut terlibat seperti ini.
Oliv
melepaskan genggaman tangan kirinya, mengangkatnya sedikit untuk melihat jam
berbentuk bulat dan berwarna biru muda yang terlihat sangat cocok di tangan
mungil itu. “Jam dua. Udah lima jam nih.” Keluhannya kali ini justru lebih
terasa dibanding sebelumnya. Ia kembali menggenggam kemeja Nara “Bisa lu bayangin nggak kalo kita kesini pas hari terakhir? Hari pertama aja udah
kayak gini, apalagi pas terakhir,
pasti nggak kebayang, ‘kan?”
Nara
bertambah lesu, ia memutar mata mencoba membuat sebuah pertahanan terhadap
pernyataan Oliv yang memojokkannya, “Nggak
juga, kok. Bisa aja hari pertama yang
penuh, tapi hari terakhir sepi. Dan biasanya emang gitu ‘kan.”
“Nggak kebalik? Biasanya hari pertama
yang sepi, soalnya banyak yang santai, trus
ntar di hari terakhirnya yang penuh.”
“Tapi,
sekarangbuktinya lu salah ‘kan.” Serangannya kali ini berhasil
membuat Oliv kalah berdebat pada langkah awal. Dia diam, genggamannya semakin
kuat mencengkeram kemeja itu hingga menjadi sedikit kusut.
“Udah deh, gue lagi nggak mood lu ajak debat.” Suaranya sangat lesu, justru
samar-samar untuk bisa didengar. “Sebenernya
mereka ngapain sih, ngumpulin berkas aja lama bener.”
“Ntah,” Nara menaikkan kedua bahunya lalu
kembali menurunkannya “Mungkin ada yang lain.”
Tambahnya.
“Yang
lain?”
“Tau lah apaan.”
“Nggak ada orang jualan lewat lagi.” Oliv
celingak-celinguk seperti mencari sebuah harta karun. Nara menengok ke arah
Oliv sebentar.
“Eh, plis deh, lu kira bakal dibolehin gitu pedagang masuk ruangan?” protes
Nara dengan menujukkan ruangan di sekelilingnya, ruangan ini aula, dan ditutup.
“Ya
kali aja mereka khilaf sehari, Nar. Sapa tau juga ‘kan?” Oliv memang sedang
sangat berharap ada pedagang asongan eksklusif yang nyasar ato paling nggak ada Maba
(Mahasiswa Baru) yang ngerangkep
jualan minuman.
“Makanya,
bawa kek dari kos-kosan.” Nara ikut
protes juga, membuat Oliv semakin jengkel berbicara dengannya.
“Eh
kampret,” Oliv mencubit pinggang
Nara, reaksinya pun seperti pada umumnya, tidak perlu dijelaskan lagi seperti
apa “Gue mana tau kalo bakal lama kayak
gini.”
“Lu juga sih, pake maksa-maksa gue buat nyerahin berkas, padahal gue
udah rencana nyerahin pas hari terakhir.” Ucap Nara ketus, ekspresinya dibuat
sedatar mungkin.
“Iya
deh iya, gue yang salah.” Balas Oliv pasrah, dia udah nggak kuat lagi nahan
haus. “Lu keluar dulu gih, beliin
minuman kek, ato apa gitu, gue aus
banget nih Nar. Ya ya ya?” pinta
Oliv memelas, ngerayu Nara itu sebenernya agak susah, tapi Oliv nggak peduli itu kalau lagi mau sesuatu,
dia pasti maksa sampe yang dipaksa ngaku
nyerah, kalo nggak si Oliv pasti
ujung-ujungnya ngambek ato paling nggak dicemberutin doang selama seminggu. Dan Nara sendiri sudah sampe hafal ketika Oliv lagi minta
sesuatu, itu pasti sebuah pertanda buruk buat dia, karena dia juga butuh Oliv.
Contohnya saja seperti ketika Nara minta Oliv buat bantuin ngerjain tugasnya,
atau paling nggak Nara nyuruh Oliv masak buat dia. Tahu
sendiri, ‘kan, kalo cowok itu jarang
ada yang bisa masak, terutama tipe-tipe kayak Nara yang notabene malesnya dia lebih gede daripada tenaganya.
“Lu mau dibeliin apa dah, mumpung
gue lagi baek ni. Jarang-jarang ‘kan gue
baek sama lu.” Nara menjawab
malas.
Oliv
sempat berpikir sejenak, memikirkan apa yang dia inginkan untuk diminum nanti.
“Emm, apa ya. Apa aja deh. Asal
jangan yang kecut ya.”
“Ya
udah, lu tunggu disini ye,
jangan kemana-mana, ntar lu gue tinggal
malah ilang aja lu diculik sama
om-om.” Ucap Nara horor mengatakan hal itu kepada Oliv.
“Ih
apaan sih, rese’ banget lu. Mana ada juga lagi om-om disini.” Wajahnya
cemberut, bibirnya sedikit monyong. Nara tambah ingin tertawa ketika Oliv
berekspresi seperti itu.
“Ya
mana tau ‘kan.” Nara nyodorin map yang ia pegang kepada Oliv “Nih, bawa dulu, jangan dimakan
lho!” lagi-lagi Nara memberi sebuah guyonan sebelum pergi membeli minuman.
“Jangan
lama-lama.”
“Iya-iya
bawel banget lu ah, kayak tante-tante aja.”
“Udah sono!”
usir Oliv sambil mendorong Nara.
Panjang
antrean itu terlalu lama untuk dapat dinikmati, terutama untuk mereka berdua.
Nara kembali sekitar sepuluh menit setelah itu, membawa dua botol minuman
berbeda untuk dirinya dan Oliv.
--