14 May 2015

01 - Berkas Siang dan Sebuah Telefon (Kita dan Dia)



Tidak ada yang istimewa siang itu, hanya antrean panjang yang tak kunjung selesai sejak pagi. Ada yang mengeluh, kebanyakan, ada juga yang lesu dengan keringat bercucuran disana-sini, ada pula yang hampir pingsan –cuma katanya sih, tapi nggak tau juga.
Ajegile, mau sampe kapan nih antreannya, panjang bener!” celetuk seorang cowok berpenampilan rapi yang berkeringat dibalik panjangnya antrean yang mencapai beberapa puluh meter, bahkan mungkin ratusan jika dihitung dengan benar-benar.

“Iya, nih.” seorang cewek di belakangnya ikutan nimbrung, mengelap keringat yang meluncur bebas di pelipis dahinya dengan tangan yang ditutupi oleh kemeja panjang berwarna putih.
Suer nih, kalo gini bisa sampe subuh kita disini.” cowok itu kembali berkicau dengan nada keluhannya seperti tadi, namun kali ini si cewek lebih memperhatikan perkataan si cowok tadi, “Kalo tau gini mending besok aja.”
Cewek itu hanya menghela napas pendek lalu menyandarkan kepalanya di punggung cowok yang mengeluh itu, jadi cewek itu sekarang sedang menatap ke arah lantai “Sama aja kali, kalo lu sekarang dikosan main game, besok kesini juga bakal kayak gini lagi, mending kelarin sekarang aja, biar besok lu bisa ngegame sepuasnya!” suaranya sedikit kesal juga disertai ekspresinya, kesal dengan antrean juga ocehan cowok itu, namun keluhan cowok itu terasa sudah biasa didengar oleh telinganya.
“Selanjutnya!” suara itu terdengar kembali setelah beberapa menit dari seseorang dibalik meja di antrean paling depan. Seketika antrean itu maju satu langkah, seolah seperti mobil sedang terjebak macet.
“Mana nggak dikasih nomor lagi, biar bisa ditinggal, kek!” sekarang giliran si cewek  yang mengeluh. Cowok di depannya hanya ikut mengangguk menyetujui. “Kursi juga nggak ada.” tambahnya, si cowok mengangguk lagi.
“Liv.” cowok itu memanggil, juga menoleh 90 derajat ke kiri.
“Apa?” cewek yang dipanggil dengan sebutan Liv itu mengangkat kepalanya seketika, hampir seperti kaget namun tidak.
Cowok itu terdiam sebentar, terlihat berpikir untuk sesaat.
Nggak jadi.”
Ih, Nara, apaan hayo?” ia memukul bahu kanan cowok yang bernama Nara itu dengan telapak tangannya dengan pelan.
Nggak, nggak jadi, kok, Liv.” Nara kembali menolak untuk berbicara.
Ih, kebiasaan nih, suka buat orang penasaran!” suaranya terdengar sebal, lalu ia menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya, wajahnya cemberut.
Nara berbalik badan, “Lu jelek banget kalo pas lagi cemberut, biasanya cewek kalo cemberut itu cantik, tapi lu nggak.” Nara tertawa sejenak memperhatikan, lalu kembali berbalik.
“Biar!” wajah cemberutnya semakin bertambah parah, bukannya dibaikin malah bikin tambah parah situasinya.
Ntar, deh.” ucap Nara.
Seketika wajah cemberutnya hilang, seperti mendapat sebuah keberuntungan, ia memegang kedua bahu Nara dengan kedua tangannya.
Beneran?”
“Iya, Oliv cantik.” suaranya terdengar menggoda, namun bagi Oliv itu terdengar menggelikan untuknya.
Hih~” seketika itu juga ia melepaskan kedua tangannya dan mundur sedikit. “Geli tau!”
“Hahaha.” Nara hanya tertawa kecil sambil menutupi mulutnya dengan map berwarna merah muda tua yang ia pegang sejak tiba di tempat itu. Beberapa orang menoleh ketika ia tertawa.
Tiba-tiba saja handphone di dalam saku celana Oliv bergetar, kali ini cewek berpakaian simpel namun rapi ini tidak lupa untuk merubah mode pada handphonenya. Ia sedikit tersentak dengan getaran yang tiba-tiba itu, merogoh saku celananya dan mendapati sebuah nama yang muncul di layar handphone sebesar 4,7 inci berwarna putih polos. Terlihat sedikit terlalu besar untuk digenggamnya.
Dewa. Itulah nama yang muncul di layar handphonenya.
Oliv dengan segera menepuk bahu kiri Nara dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya sudah bersiap dengan handphonenya untuk ditunjukkan pada Nara.
Nara menoleh, mendapati sebuah layar handphone ketika ia menoleh, membaca sebuah nama yang tidak asing. “Angkat gih.”
Ogah, lu aja.” Oliv menolak dengan gelengan, ekspresinya terlihat benar-benar seperti tidak mau menerima panggilan telepon itu.
Udah angkat aja.” Nara juga menolak panggilan itu. Toh Oliv yang ditelepon, kan harusnya dia yang ngangkat panggilan itu, pikirnya.
Oliv cemberut lagi sambil enggan menerima panggilan itu. Sudah terlalu lama dibiarkan seperti itu juga tidak enak.
Setelah beberapa detik berpikir, akhirnya mau tidak mau Oliv menerima panggilan itu dengan menggeser tombol bulat berwarna hijau di sisi kiri layar menuju sisi kanan. Lalu dengan cepat ia menaruh benda berbentuk persegi panjang itu di telinga kanannya.
“Halo, Dewa?” Oliv membuka suara untuk telepon itu, kedua matanya menatap wajah Nara, berpindah-pindah seputar wajah secara bergantian. Berbeda dengan Nara yang hanya menatap mata berwarna cokelat tua milik Oliv dengan lesu namun masih tetap terlihat serius memperhatikan mimik wajah Oliv.
Enggak, ini lagi ngantre nyerahin berkas di kampus.” suara Oliv lirih namun masih bisa didengar oleh Nara. “Iya, dari tadi pagi, nih.” Lanjutnya berbicara pada Dewa di telepon. Nara terus memperhatikan seperti tadi, namun dengan kedua tangan disilangkan di depan dada. “Emm, sama Nara.”
Tanyain dia lagi dimana sekarang.” Nara berbisik. Oliv mengangguk mengerti.
Eh, lu lagi dimana De?” ucap Oliv dengan sebuah ekspresi dan nada yang sedikit beda. Setelah itu ia menggeleng dengan memberikan isyarat tubuh nggak tahu kepada Nara.
“Oh, ya udah kalo gitu.” telepon ditutup setelah nada itu, cukup singkat untuk sebuah telepon yang sebenarnya sudah Oliv tunggu-tunggu untuk beberapa saat namun tidak terduga, terutama disaat-saat seperti ini.
Gimana?” pertanyaan pertama yang selalu ditanyakan oleh Nara.
“Kayak biasanya.” jawaban yang selalu ia dapatkan ketika ia menyuruh Oliv menanyakan tadi. Lagi dimana dia sekarang.
“Ah, udahlah, biarin aja.”
“Selanjutnya!” suara tadi, dengan nada yang sama terdengar lagi, semua orang yang berdiri berjajar antre  disana menoleh kearahnya, menjadi pusat perhatian sesaat. Satu langkah lagi, dan masih tersisa puluhan langkah lagi menuju meja itu. Nara menerka-nerka berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan antreannya.
Sampe subuh beneran nih ntar.” celetuknya lagi sambil menghitung sisa antrean.
“Hah!” Oliv kembali menenggelamkan kepalanya ke punggung Nara, menghela napas yang lebih panjang, kedua tangannya meremas kemeja polos milik Nara yang tidak dikancing pada bagian pinggang.
“Eh, ini jam berapa?” Nara mencoba membuat sebuah pembicaraan agar Oliv tidak bosan dengan situasi yang memang dari awal mereka tiba disini sudah cukup membosankan dengan hanya melihat saja, apalagi ikut terlibat seperti ini.
Oliv melepaskan genggaman tangan kirinya, mengangkatnya sedikit untuk melihat jam berbentuk bulat dan berwarna biru muda yang terlihat sangat cocok di tangan mungil itu. “Jam dua. Udah lima jam nih.” Keluhannya kali ini justru lebih terasa dibanding sebelumnya. Ia kembali menggenggam kemeja Nara “Bisa lu bayangin nggak kalo kita kesini pas hari terakhir? Hari pertama aja udah kayak gini, apalagi pas terakhir, pasti nggak kebayang, ‘kan?”
Nara bertambah lesu, ia memutar mata mencoba membuat sebuah pertahanan terhadap pernyataan Oliv yang memojokkannya, “Nggak juga, kok. Bisa aja hari pertama yang penuh, tapi hari terakhir sepi. Dan biasanya emang gitu kan.”
Nggak kebalik? Biasanya hari pertama yang sepi, soalnya banyak yang santai, trus ntar di hari terakhirnya yang penuh.”
“Tapi, sekarangbuktinya lu salah ‘kan.” Serangannya kali ini berhasil membuat Oliv kalah berdebat pada langkah awal. Dia diam, genggamannya semakin kuat mencengkeram kemeja itu hingga menjadi sedikit kusut.
Udah deh, gue lagi nggak mood lu ajak debat.” Suaranya sangat lesu, justru samar-samar untuk bisa didengar. “Sebenernya mereka ngapain sih, ngumpulin berkas aja lama bener.”
Ntah,” Nara menaikkan kedua bahunya lalu kembali menurunkannya “Mungkin ada yang lain.” Tambahnya.
“Yang lain?”
Tau lah apaan.”
Nggak ada orang jualan lewat lagi.” Oliv celingak-celinguk seperti mencari sebuah harta karun. Nara menengok ke arah Oliv sebentar.
“Eh, plis deh, lu kira bakal dibolehin gitu pedagang masuk ruangan?” protes Nara dengan menujukkan ruangan di sekelilingnya, ruangan ini aula, dan ditutup.
“Ya kali aja mereka khilaf sehari, Nar. Sapa tau juga ‘kan?” Oliv memang sedang sangat berharap ada pedagang asongan eksklusif yang nyasar ato paling nggak ada Maba (Mahasiswa Baru) yang ngerangkep jualan minuman.
“Makanya, bawa kek dari kos-kosan.” Nara ikut protes juga, membuat Oliv semakin jengkel berbicara dengannya.
“Eh kampret,” Oliv mencubit pinggang Nara, reaksinya pun seperti pada umumnya, tidak perlu dijelaskan lagi seperti apa “Gue mana tau kalo bakal lama kayak gini.”
Lu juga sih, pake maksa-maksa gue buat nyerahin berkas, padahal gue udah rencana nyerahin pas hari terakhir.” Ucap Nara ketus, ekspresinya dibuat sedatar mungkin.
“Iya deh iya, gue yang salah.” Balas Oliv pasrah, dia udah nggak kuat lagi nahan haus. “Lu keluar dulu gih, beliin minuman kek, ato apa gitu, gue aus banget nih Nar. Ya ya ya?” pinta Oliv memelas, ngerayu Nara itu sebenernya agak susah, tapi Oliv nggak peduli itu kalau lagi mau sesuatu, dia pasti maksa sampe yang dipaksa ngaku nyerah, kalo nggak si Oliv pasti ujung-ujungnya ngambek ato paling nggak dicemberutin doang selama seminggu. Dan Nara sendiri sudah sampe hafal ketika Oliv lagi minta sesuatu, itu pasti sebuah pertanda buruk buat dia, karena dia juga butuh Oliv. Contohnya saja seperti ketika Nara minta Oliv buat bantuin ngerjain tugasnya, atau paling nggak Nara nyuruh Oliv masak buat dia. Tahu sendiri, ‘kan, kalo cowok itu jarang ada yang bisa masak, terutama tipe-tipe kayak Nara yang notabene malesnya dia lebih gede daripada tenaganya.
Lu mau dibeliin apa dah, mumpung gue lagi baek ni. Jarang-jarang ‘kan gue baek sama lu.” Nara menjawab malas.
Oliv sempat berpikir sejenak, memikirkan apa yang dia inginkan untuk diminum nanti. “Emm, apa ya. Apa aja deh. Asal jangan yang kecut ya.”
“Ya udah, lu tunggu disini ye, jangan kemana-mana, ntar lu gue tinggal malah ilang aja lu diculik sama om-om.” Ucap Nara horor mengatakan hal itu kepada Oliv.
“Ih apaan sih, rese’ banget lu. Mana ada juga lagi om-om disini.” Wajahnya cemberut, bibirnya sedikit monyong. Nara tambah ingin tertawa ketika Oliv berekspresi seperti itu.
“Ya mana tau ‘kan.” Nara nyodorin map yang ia pegang kepada Oliv “Nih, bawa dulu, jangan dimakan lho!” lagi-lagi Nara memberi sebuah guyonan sebelum pergi membeli minuman.
“Jangan lama-lama.”
“Iya-iya bawel banget lu ah, kayak tante-tante aja.”
Udah sono!” usir Oliv sambil mendorong Nara.
Panjang antrean itu terlalu lama untuk dapat dinikmati, terutama untuk mereka berdua. Nara kembali sekitar sepuluh menit setelah itu, membawa dua botol minuman berbeda untuk dirinya dan Oliv.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)