Final Fantasy
IX Original Story © Square Soft / Square Enix
Story Fiction © Fariz Azmi
Garnet POV Start
Aku
terbangun dari tidur yang tak kusengaja siang tadi, mata ini masih berat untuk
terbuka. Barusan aku bermimpi lagi, mimpi yang sama akhir-akhir ini kurasakan.
Aku melihat dua orang yang wajahnya tertutup jubah, berada di sebuah kapal yang
sedang melintasi lautan, cuacanya sangat kacau karena sedang badai.
Sayup-sayup
sinar matahari menerangi isi ruangan kamarku yang kurasakan terlalu luas
untukku sendiri, berhiaskan berbagai macam perabotan untuk memperindah ruangan
yang berdominasikan warna putih bercorak. Kukucek kedua mataku, perlahan,
hingga semua yang kulihat kini menjadi jelas. Kupandang sejenak jendela yang
nyaris tertutup tertiup angin dimana kuhadap daritadi, aku berdiri dan
melangkah mendekati jendela dan membuka kembali jendela itu. Pemandangan indah
seperti biasanya, hari ini tidak terlalu panas, kicau dan burung-burung terbang
memperindah suasana Alexandria saat ini. Ya, Alexandria adalah nama tempat
kerajaan yang sedang aku tinggali, diperintah oleh Queen Brahne, ibuku,
kerajaan ini sangat makmur.
Dari
kejauhan, aku melihat sebuah kapal yang cukup besar. Oh, aku ingat, hari ini
adalah ulang tahunku yang ke-16. Ibuku sengaja mengundang Lindblum Theater Ship datang kemari untuk pesta ulang tahunku. Tiap
tahun saat ulang tahunku, selalu ada pesta besar-besaran di Alexandria. Pesta
yang tiap tahun kurasakan sangat membosankan itu akan terus berlanjut entah
hingga kapan. Kurasa pesta ulang tahunku akan dimulai dalam beberapa jam lagi,
dan aku rasa aku harus kembali dalam kegiatan rutin seorang Princess sebelum pesta ulang tahunnya
dimulai, apa lagi jika bukan berdandan?
---
Tiga
jam bukanlah waktu yang singkat, ditambah lagi dengan dua orang yang
mendadaniku. Berbagai gaun telah kucoba selama tiga jam itu, yang pada akhirnya
sebuah gaun putih polos yang kukenakan. Gaun yang indah untuk malam ini,
kurasa. Ini adalah kali pertama aku mengenakan gaun. Rasanya sangat tidak
nyaman, indah namun tidak nyaman.
Setelah
semuanya siap, seorang pengawal pribadi memasuki ruangan kamariku. Pengawal
yang sudah kukenal sejak lama, Beatrix.
"Semuanya
sudah siap, Tuan Putri." dia menekuk punggungnya seperti semua orang
dikerajaan ini, sebuah penghormatan yang sangat wajar. Dia menaikkan
punggungnya, tersenyum seperti biasanya, sangat ramah, "Sekarang Tuan
Putri biar saya antar ke singgasana Ratu."
Dengan
gaya ala Tuan Putri aku berdiri dari tempatku duduk di depan cermin rias yang
sangat besar, sambil tersenyum kecil aku menatap wajahnya yang tak asing,
"Baiklah!" kemudian Beatrix mengantarku ke singgasana ibuku, tempat
dimana nantinya aku bersama yang lainnya melihat acara teater tersebut
-tentunya hanya aku, ibuku, dan dua pengawal pribadi saja yang ada disini.
Tak
jauh, aku sudah sampai di singgasana, ibuku sudah berada disana sejak tadi. Aku
segera duduk di kursi di belakang kursi ibuku, sambil melihat-lihat sekitar,
ternyata banyak tamu yang datang kali ini, lebih banyak daripada tahun lalu.
Hening untuk sementara waktu ketika kapal teater itu mendarat, seketika tidak
ada sebuah suara terdengar. Tiba-tiba sebuah bagian dari kapal itu terbuka,
memperlihatkan sebuah panggung drama, tepat diatasnya adalah tempat dimana para
pemain orkestra berada. Diikuti oleh ledakan kembang api yang sangat terang,
keadaan pun sekarang kembali meriah. Kulihat ibu juga sangat terkesan dengan
pembuka itu.
Namun
apa yang mereka rasakan tidak sama apa yang seperti aku rasakan, mereka semua
terlihat gembira, namun tidak denganku. Hari-hari yang kulalui disini sangatlah
membosankan, aku selalu merasa terkurung disini, tidak pernah bisa keluar dari
kastil. Sebuah ide pun muncul di benakku untuk melarikan diri dari sini. Memang
bukan ide yang bagus, tapi hanya itulah yang bisa aku lakukan untuk keluar dari
sini.
Sesaat
setelah drama yang berjudul 'I Want To Be
Your Canary' itu dimulai, aku meminta izin kepada salah pengawal pribadiku
untuk pergi sebentar. Dengan sedikit alasan yang rasional aku dengan mudah
mendapat izin dari pengawalku. Dengan segera aku berjalan menuju kamarku.
Kuharap rencanaku ini bisa berjalan dengan mudah.
Garnet POV End
Di kapal, tiga puluh
menit sebelumnya.
Seorang
bocah berambut pirang dan berekor terlihat memasuki sebuah ruangan yang gelap.
Sangat gelap, tak ada yang bisa dilihat didalam ruangan tersebut. Bocah itu
merogoh kantong kanannya, mencari sesuatu, sebuah korek api ia temukan dan ia
nyalakan, sekarang ia dapat melihat sedikit isi ruangan tersebut. Ia berjalan
beberapa langkah kedepan, ia temukan meja bulat dengan enam buah lilin
diatasnya, lalu ia nyalakan dengan korek api yang ia bawa. Akhirnya seisi
ruangan itu dapat ia lihat dengan cahaya yang mencukupi.
"Siapa
disana?" sebuah suara dari pintu di ruangan sebelah yang lain terdengar,
sebuah suara yang familiar, ia tahu pasti siapa yang berada di balik pintu itu.
"Ini
aku, Zidane!"
Seketika
pintu dari suara itu berasal terbuka, diikuti oleh tiga orang yang keluar dari
sana, mereka adalah kru kapal tersebut, Blank, Marcus, dan Cinna. Sebuah salam
khas ala Kelompok Tantalus mereka berikan, salam itu lebih terlihat seperti
salam para bajak laut.
"Dimana
Boss?" Zidane bertanya pada mereka bertiga, namun sebuah gelengan ia
terima dari ketiga temannya itu.
"Dia
belum datang." Cinna menjelaskan singkat sambil mengangkat palu yang
selalu ia bawa kemana-mana itu.
Sebuah
suara langkah kaki terdengar jelas dari ruangan itu, pintu yang berada di sisi
lain terbuka, seorang yang mereka sebut dengan 'Boss' itu telah tiba, ia
bernama Baku. Seorang lelaki tambun setengah baya yang selalu bersemangat.
"Hei
orang-orang bodoh!" ia berseru dengan semangat seperti biasanya, namun
kali ini terlihat lebih bersemangat, "Kalian terlihat sama saja seperti
terakhir kita bertemu!" sambil berjalan melewati empat bocah itu, Baku
tertawa, "Ayo kita segera rapat." dia menendang pintu itu, pintu
dimana ketiga orang tadi berada.
Setelah
di dalam ruangan itu, terlihat sebuah meja dengan miniatur kastil, miniatur
kapal Prima Vista dan satu boneka yang berbentuk seperti Putri Garnet. Mereka
berlima berdiri mengelilingi meja coklat yang tidak terlalu besar itu.
"Ini
rencana kita!" Baku mulai bicara, ia mengambil miniatur kapal itu pada
tangan kanannya, "Tantalus, sebuah organisasi pencuri yang sangat berani
-itu kita, sedang menuju Kerajaan Alexandria," ia kembali menaruh miniatur
kapal itu dan berganti mengambil boneka yang berada di meja, "Misi kita
adalah: untuk menculik pewaris tahta kerajaan, Putri Garnet!" setelah
kata-katanya itu, dia kembali menaruh boneka itu di meja.
"Baiklah,
aku ambil alih dari sini, jadi dengarkan baik-baik!" suaranya terdengar
tegas kali ini dibalik wajahnya yang konyol, "Kapal kita akan mendarat di
Alexandria," ia mengambil jeda pada kalimatnya, "Ketika kita sudah
mendarat, kita akan memainkan peran kita..." jelasnya, "...kita akan
memainkan drama yang berjudul 'I Want To
Be Your Canary', sebuah drama yang sangat terkenal di Alexandria!"
lalu ia melanjutkan, "Bersiaplah, Marcus! Karena kau yang akan memainkan
peran utamanya!" Cinna menunjuk kearah Marcus dengan jari telunjuknya.
"Serahkan
semua itu kepadaku!" Marcus terlihat bersemangat dengan perannya itu,
"Dan tentu saja, penculik sebenarnya adalah Blank dan Zidane." dia
melanjutkan singkat.
"Aku
akan mengalihkan perhatian penonton dari belakang panggung dengannya" ia
menunjuk kearah Zidane, lalu melanjutkan kata-katanya, "Aku tidak tahan
terhadap Oglop, namun aku sudah mengaturnya, jadi jangan khawatir. Dan itu akan
menjadi isyarat untukmu, Zidane!"
"Baiklah,
jadi itu adalah saat ketika aku menculik Putri Garnet, 'kan?" Zidane
mengangguk mengerti sambil manggut-manggut.
"Kau
benar! Kamu akan menculik seorang gadis yang paling cantik diseluruh
Alexandria, Putri Garnet!" Baku mengepalkan tangannya tanda sebuah misi
yang terdengar sangat mudah telah dimulai.
Tak
berapa lama kemudian, kapal mereka, Prima Vista, mendarat di Alexandria. Sebuah
pesta yang sangat meriah akan segera dimulai.
Vivi POV Start
Satu jam
sebelumnya.
Aku
berjalan masuk ke dalam Alexandria, aku yakin ini adalah kerajaan yang cukup
besar, banyak orang yang lalu lalang disekitar sini. Aku kembali mengambil
tiket berwarna kuning yang berada di kantong di jubahku ini, 'Aku yakin ini
akan berjalan lancar, aku hanya perlu memperlihatkan tiket ini kepada penjaga
tiket dan aku akan melihat pertunjukkannya.'
Aku
berjalan kearah penjaga tiket yang berada di depan gerbang menuju kastil,
memperlihatkan tiket yang kubawa tadi kepadanya. Ia melihat tiket yang
kuperlihatkan kepadanya barusan, namun ia kembalikan kepadaku dan berkata,
"Ada yang aneh dengan tiket ini, ini adalah tiket palsu! Aku telah banyak
melihatnya hari ini!" ia terlihat sangat menyesal mengatakan kebenaran itu
kepadaku, aku hanya bisa pasrah menerima tiket itu kembali dan berjalan kembali,
entah kemana aku harus pergi lagi setelah ini.
Aku
melewati sebuah gang kecil yang berada di sudut jalan, gang itu tidak terlalu
terang karena tertutup oleh perumahan yang berjejer sangat rapat, disana aku
melihat seorang anak kecil yang tadi aku temui saat di jalan.
"Hei
kau, bocah dengan tiket palsu, 'kan?" ia berteriak lurus kearahku, karena
tak ada siapapun, aku yakin dia berbicara padaku, "Aku melihat orang itu
mengatakan bahwa tiketmu itu palsu!" aku hanya mengangguk dan tetap
berjalan melewatinya, namun langkahku terhenti sejenak, "Aku akan
mengajakmu melihat drama itu kalau kau mau menjadi anak buahku! Bagaimana
menurutmu?" anak itu terlihat serius dengan gaya yang sangat percaya diri,
yah, karena aku tak tahu apa yang harus aku lakukan lagi, aku hanya menerima
tawaran tanpa pikir panjang.
"B-baiklah."
jawabku singkat.
"Keren!"
ia kembali menampakkan gayanya yang sangat percaya diri, "Sekarang untuk
tugas pertamamu! Pergilah ke sudut gang disana, berjaga-jagalah jika ada
seseorang datang!" ia menunjukkan posisi dimana aku harus berjaga dengan
jarinya itu. Aku langsung berjalan ke sudut gang untuk berjaga, sementara anak
itu mengambil kayu tangga yang tergeletak berada di pinggir gang itu. Ketika ia
mengambil, ia kembali melambaikan tangannya, kurasa itu adalah sinyal yang
menandakan apakah disini aman atau tidak, jadi kulambaikan tanganku sebagai
tanda aman.
"Baiklah,
kemari ikuti aku!" ia segera berlari dengan membawa tangga itu, aku
mengikutinya dari belakang.
Aku
mengikutinya dari belakang, hingga akhirnya kita sampai di sebuah rumah kosong
yang ditinggalkan oleh pemiliknya, anak itu menaruh tangga yang ia bawa sedari
tadi, menaiki keatap rumah dengan tangga itu, aku hanya mengikutinya dari
belakang, setelah sampai diatap rumah, ia berhenti sejenak.
"Oh
iya!" nadanya sangat mengejutkanku, "Aku bahkan tidak mengetahui
namamu!"
"Vivi."
aku menjawab dengan singkat lagi.
"Jadi
namamu adalah Vivi, huh?" anak itu menggut-manggut, "Nama yang
unik!" ia tertawa kecil dan menyodorkan tangannya untuk bersalaman
denganku, "Namaku Puck! Senang berkenalan denganmu!" Jadi nama anak
itu adalah Puck, ia memang terlihat bukan dari daerah sini. Pantas saja aku
merasa aneh daritadi.
Lalu
dia kembali berjalan, menyusuri atap-atap rumah, ia tidak merasa takut
sedikitpun diatas atap itu, walau sebenarnya aku sendiri sedikit takut. Aku
terus mengikutinya dari belakang, hingga akhirnya kita sampai pada pagar di
sebelah kastil, ada sebuah lubang disana. Tanpa ragu Puck memasuki lubang yang
mengarah ke kastil tanpa ragu, aku pun mengikutinya. Pada akhirnya aku sendiri
tetap akan melihat drama ini, walaupun tanpa tiket, walaupun juga dengan cara
yang tidak seharusnya: menerobos masuk secara ilegal.
"Ayo
cepat, dramanya akan segera dimulai!" ia berlari kearah dimana para
penonton berada, memang sangat tepat waktu, acara itu dimulai ketika kami
berdua sampai disana.
Tempat
itu terlihat sangat ramai dan meriah, suara sorak-sorak penonton dan tepuk
tangan saling mendahului saat itu, dan saat itu juga, matahari sudah tenggelam
di arah barat. Malam pesta Putri Garnet pun dimulai.
To Be Continued.