“Jimmy.” Seorang gadis berambut
cokelat yang kira-kira dua tahun lebih muda darinya memanggil seorang laki-laki
di depannya.
Mereka berdua sedang berada di
lapangan sekolah sore hari itu, hal yang biasa mereka lakukan selepas pulang
setiap hari Kamis.
“Kau mau jadi apa nanti?” gadis itu
bertanya, memakan es krim yang ia beli sebelum duduk bersama Jimmy.
“Jadi apa bagaimana?” Jimmy
bertanya balik, ia sibuk memainkan rambut
panjang milik sang gadis yang bertanya padanya.
“Entah, seperti kau ingin menjadi
dokter atau sebagainya.” Gadis itu menjawab dengan datar sambil terus memakan
es krim yang kian mencair, ia juga menaikkan kedua bahunya setelah kata entahlah yang ia ucapkan, ia sendiri
juga tidak begitu paham dengan apa yang ia tanyakan kepada laki-laki tersebut.
“Hm,” Jimmy menghentikan pekerjaannya,
mencerna perkataan gadis itu “Aku selalu ingin menjadi polisi.” Ia kemudian
menjawab setelah berpikir sebentar, lalu menambahkan “Iya, polisi.”
“Kenapa?” gadis itu bertanya lagi,
kini ia menoleh menghadap Jimmy, setetes es krim yang mencari turun membasahi
tangannya, menembus tisu yang dipegangnya, rupanya tisu itu tidak mempan. Namun
gadis itu tidak mempedulikannya, ia lebih penasaran dengan alasan Jimmy untuk
menjadi polisi.
Jeda yang tidak lama untuk Jimmy
berpikir “Ingin saja.” Tidak ada alasan khusus untuk Jimmy memilih apa yang ia
sebutkan.
“Oh, kalau begitu aku akan jadi
polisi juga!” gadis itu tiba-tiba berseru dengan semangat, hampir sama tidak
berpikir yang seperti Jimmy lakukan ketika menjawab pertanyaan gadis ini tadi.
“Kau tidak bisa!” Jimmy menolak
pernyataan gadis itu dengan sebuah gelengan yang tegas.
“Kenapa?” gadis itu bertanya,
sedikit bingung sambil menatap wajah Jimmy lekat-lekat, berharap dia bisa
memberitahu dia apa yang membuat dia berkata begitu.
“Kau lemah!” jawab Jimmy,
perkataannya seakan tidak ada beban, hanya keluar begitu saja.
“Kalau begitu aku akan menjadi
kuat!” tolak gadis itu sambil mengepalkan tangan kirinya, tampaknya ia keras
kepala.
“Itu juga tidak cukup, Christi.” Jimmy
menyilangkan kedua tangannya. Gadis yang ia panggil Christi itu menatapnya
lebih dalam. Apapun itu harus dapat ia
capai.
“Katakan!” ucapnya tegas, ia
kemudian membuang es krim yang belum genap ia habiskan, nampaknya mendengarkan
alasan-alasan teman di sebelahnya itu lebih menarik untuk di dengarkan
dibanding dengan memakan es krim itu, lagi pula sudah mencair.
“Rambutmu.” Jimmy menjawab polos.
Menurutnya rambut panjang milik Christi itu akan menghalanginya menjadi seorang
polisi, singkatnya sih akan membuatnya
repot jika memiliki rambut panjang.
Christi lalu memegang rambutnya,
lalu berkata “Ayo pulang!”
Tanpa sebuah iya mereka berdua
pulang. Tidak biasa jika Christi mengajak Jimmy pulang secepat ini, sore masih
lama untuk matahari menutup sinarnya di ufuk barat.
Jimmy mengiakan perkataan setelah
itu, lagi pula di situ mereka tidak akan ngapa-ngapain,
hanya duduk saja sambil menunggu malam tiba.
Mereka pulang melewati jalan yang
biasa ia lewati, tidak ada hal lain yang mereka lakukan di luar kebiasaan mereka,
hanya pulang lebih cepat saja.
Esoknya datang, Christi memotong
rambutnya menjadi sebahu, penampilannya berubah.
~~~
Suara sebuah mobil yang menderu
menyadarkannya dari lamunan singkat itu. Sangat singkat. Jimmy mendongak
menoleh menatap mobil yang berhenti di depannya itu, mobil berwarna hitam yang
beberapa kali pernah ia lihat.
“Kau mau masuk atau berdiri saja di
situ?” seseorang menengok dari dalam mobil, membuka kaca jendela penumpang
melalui sebuah tombol yang berada di dekat pintu pengendara.
Itu suara Nolan.
Jimmy mengamati mobil itu sejenak,
sedikit geli.
“Sejak kapan kau mencuci mobilmu? Ini bahkan baru saja hujan.” ucapnya sembari membuka
pintu yang baru saja dibuka penguncinya oleh Nolan, lalu duduk menyender dengan
lega.
“Sejak aku tidak ada kerjaan.”
Jawab Nolan. Tumben. Biasanya Nolan selalu disibukkan dengan kasus-kasus Jimmy,
memang sih jika akhir-akhir ini kesibukannya sedang turun karena Jimmy sendiri
memintanya untuk mengambil cuti beberapa hari karena kondisinya yang sedikit memburuk.
Kau tahu, Jimmy itu akan selalu bekerja jika kasusnya belum selesai. Dan oh,
rupanya Jimmy perhatian juga terhadap orang lain sampai-sampai meminta Nolan
untuk mengambil istirahat.
“Sudah baikkan, ‘kan?” pertanyaan
bodoh, tentu saja dia sudah sehat, kalau tidak ia tidak akan menemuinya di
kantor tadi.
Ia mengangguk, mengganti transmisi
ke gigi pertama sambil memutar setir ke kiri “Apa yang kau dapatkan di sana?”
ia balik bertanya pada Jimmy tanpa memandangnya, ia masih sibuk memperhatikan
jalanan dan menstabilkan kecepatan mobilnya.
“Tidak ada.”
“Lalu kau ngapain di sana?” Nolan bertanya lagi, kali ini dengan nada yang
penasaran.
“Tidak ada.”
“Hm,” ia menghentikan mobilnya di
persimpangan, lampu sedang merah meskipun tidak ada mobil yang berlalu-lalang.
“Lalu kau mau ngapain?” ia bertanya
lagi, kali ini ia menatap Jimmy yang tidak memandang apa-apa di depan.
“Kita tunggu saja pembunuhan
selanjutnya.” Jimmy menjawab tanpa beban. Satu-satunya yang bisa ia lakukan
hanyalah menunggu pembunuhan lain, jika memang benar berantai maka pembunuhan
selanjutnya akan terjadi.
“Ha?” Nolan melongo sedikit tak
percaya, meski Jimmy sudah sering membuatnya kagum, namun kali ini sedikit
berbeda dengan sebelumnya. Biasanya Jimmy akan berusaha menghentikan pembunuhan
selanjutnya, namun kali ini justru sebaliknya.
“TKP sudah kadaluwarsa. Aku tidak
akan mendapatkan apapun di sana, lagi pula bukan tempatnya.”
“Jadi?”
“Entah.” Jimmy sendiri bingung, ia
mengeluarkan berkas yang ia bawa dan menaruhnya di dasbor mobil. Ia silangkan
tangannya sembari berpikir lagi.
Nolan tidak membantah Jimmy dan
hanya menaikkan kedua bahunya. Ia kemudian melanjutkan mobilnya ketika lampu
hijau menyala, berbelok ke arah kiri.
“Itu satu-satunya opsi yang kita
miliki sekarang?”
“Kurasa begitu,” ia memberi jeda
pada kalimatnya ketika mobil berbelok di persimpangan lain “Bagaimana caramu mengejar hantu?” ia
melanjutkan dengan pertanyaan yang tidak rasional.
Nolan terdiam, berpikir. “Tidak
tahu?” ia menaikkan kedua bahunya lagi tanda tidak tahu.
“Tepat!” Jimmy menjawab “Itulah
masalah kita—tidak dapat melihat siapa pelakunya!” lanjutnya dengan semangat.
Entah mengapa, ia justru menikmati sesuatu yang sebenarnya tidak bisa ia raih.
“Lalu bagaimana? Jika kita tidak
bisa melihat pelakunya, bagaimana cara kita mengejarnya? Kita hanya akan
menunggu hingga ia menjadi legenda hidup di antara kita? Membiarkan semua orang
yang tinggal di sini hidup dalam ketakutan sepanjang hidup mereka?”
“Tidak.”
“Lalu bagaimana?”
“Kita harus mengambil langkah dengan
mempelajari pelaku itu dari korban-korbannya.”
“Apa yang ingin kaulakukan? Kau
bahkan malas untuk membaca semua isi berkas itu.”
“Maka dari itu aku butuh kau.”
“Oh, baiklah, seperti biasanya,”
Nolan mengangkat tangan kanannya, ia sedang kesal sekarang, meski Jimmy
mempunyai otak brilian untuk ukuran detektif, ia terkadang juga kesal dengan
sikap Jimmy. “Apa yang kau ingin aku lakukan?” lanjutnya bertanya.
“Mulailah dengan mempelajari
ciri-ciri korban, nama, usia, apa saja yang dapat kau pelajari. Pasti ada pola tertentu,” Jimmy
menyibakkan rambutnya yang terjun bebas menutupi matanya ke arah samping.
“Tetapi...”
“Tetapi apa?” Nolan menyahut dengan
cepat.
“Kalau ternyata tidak ada pola, itu
berarti kita memang benar-benar sedang mengejar hantu.”
Nolan hanya menoleh menatap Jimmy,
benar-benar seperti seseorang yang sudah kehilangan jiwanya.
Mobil berhenti beberapa menit
setelah itu, di tempat di mana Jimmy meminta Nolan untuk mengantarkannya.
Sebenarnya tidak jauh, dia hanya perlu memberitahu hal ini, ia tidak terlalu
suka mengatakannya lewat handphone.
“Itu saja?” Nolan bertanya memastikan
Jimmy tidak butuh bantuan lagi.
“Itu saja…” Jimmy membuka pintu
lalu keluar, “…Omong-omong, terima kasih.”
“Oke, telepon saja jika kau butuh
sesuatu.” Ia kemudian memutar setir dan melaju.
Harinya sudah berakhir saat itu,
tak ada yang bisa ia lakukan lagi hari itu. Ia lelah berpikir. Ia berjalan
kembali masuk ke apartemen yang berada di belakangnya, menaiki lantai demi
lantai hingga sampai di lantai tiga—beberapa tetangga menyapanya, meski ia
tidak terlalu mengenalnya karena kesibukan yang selama ini mengelilinginya.
Senyum ia balas untuk mereka yang menyapanya, meski senyum adalah hal yang
jarang ia perlihatkan kepada orang lain. Terpaksa atau sekedar bersikap ramah, mungkin
itu.
“Jimmy.” Sapa dengan sebuah senyuman dari seorang wanita tua yang kira-kira
usianya sudah menginjak tidak muda lagi, ia bahkan terlihat harus menggunakan
tongkat untuk berjalan. Jimmy membalas sapaan itu dengan senyuman kecil dan
tatapan lemah tanpa mengatakan apapun.
“Selamat siang, nak.” Sapa tetangga
lainnya, kali ini seorang bapak-bapak tua dengan jas lusuh dan topi tuanya—tidak
lebih muda dari wanita tua yang beberapa saat lalu ia temui. Dengan senyuman
kecil dan tatapan lemah ia membalasnya, lagi.
“Langka sekali melihatmu di sini, Paman
Jim.” Kali ini seorang pemuda, lebih muda darinya, pelajar dan hidup sendiri di
lingkungannya yang keras ini. Ia bekerja sambilan mengantarkan susu dari toko
susu tempatnya bekerja. Kali ini bukan senyuman dan tatapan lemah melainkan
sebuah tepukan di pundak pemuda itu dengan sebuah senyuman, bukan senyum simpul
seperti yang ia beri kepada dua orang sebelumnya.
“Tentunya hari yang tidak sibuk
sehingga aku bisa menikmati rumahku.” Balas Jimmy setelah senyumannya. Pemuda
itu menaruh sekotak susu dari kardus susu yang ia bawa di seberang pintu kamar
milik Jimmy, sebuah pesanan.
Jimmy mengambil kunci dari sakunya.
“Mungkin lain kali kau harus
membiarkanku membantumu dengan kasus-kasusmu agar kau bisa sering-sering di
apartemenmu.” Tambahnya sembari bersiap mengangkat sekardus susu yang tadi ia
letakkan sebelumnya. Sebuah klik kunci terbuka.
Jimmy membuka sedikit pintu
kamarnya, perlahan sinar dari dalam jendela kamarnya yang tidak ia tutup
memasuki pintunya, sore itu cahaya lebih terang sehabis hujan. Jimmy
menghentikan tangannya dari membuka pintu yang masih setengah terbuka.
“Mungkin,” Jimmy membalas perkataan
pemuda itu. Hendak membuka dan masuk kamarnya, ia terhenti akan sesuatu lagi
“Siapa namamu tadi? Coba katakan lagi.”
“Aku belum mengatakannya. Namaku
Henry.” Jawab pemuda yang bernama Henry itu.
“Henry,” Jimmy nampak berpikir,
Henry hanya bisa melihat Jimmy melalui punggungnya di mulut pintu “Akan kuingat
itu, mungkin suatu hari aku akan butuh bantuanmu,” Ia kemudian masuk kamarnya.
Sebelum menutup pintunya, ia sempat berkata “Dan aku belum setua itu untuk
kaupanggil paman.”
“Panggil saja aku jika kau butuh
bantuan!” suara teriakan dibalik pintu kamar Jimmy itu bisa ia dengar dengan
jelas, suara dengan semangat, berbeda dengannya yang seperti manusia tanpa
jiwa. Jimmy terkadang merasa iri dengan hal kecil yang tak bisa ia miliki.
Jimmy tidak mengunci pintunya, itu
hal terakhir yang akan ia lakukan jika ia berada di ruangannya tersebut.
Membuka lilitan syal dan hoodie yang
ia kenakan lalu menaruhnya di sembarang tempat yang bisa pakai untuk meletakkan
dua benda itu. Berjalan lurus dan ia teringat melupakan sesuatu—payungnya
tertinggal di kantor. Lorong kecil, kamar mandi di sebelah kanannya, dan ruang
tamu berukuran kecil tepat berada di depannya.
Penghias ruangannya bahkan hanya
debu, bukan dekorasi ruangan seperti umumnya. Ia menduduki sofa berukuran dua
orang itu. Berwarna abu-abu, berdebu, dan bahkan seperti sofa yang terlalu lama
dipajang di depan toko—masih seperti baru.
Jimmy hanya menyenderkan kepalanya
di bahu sofa itu tanpa mempedulikan debu yang beterbangan ketika ia
menghantamkan tubuhnya pada sofa.
Ia benar-benar ingin istirahat
sejenak tanpa memikirkan apapun di dunia. Namun pasti ada hal lain yang
mengalihkan pikirannya dari kumpulan angan-angannya itu. Meski di saat yang
paling tenang, pasti akan ada suatu hal yang mengganjal di otaknya.
Menutup mata, hanya itu yang ingin
ia lakukan. Sore itu masih menunjukkan pukul lima. Terlalu dini untuknya
mengakhiri hari.
--