19 May 2015

Legacy - 02.3

(Image: images-blogger-opensocial.googleusercontent.com)

---

Legacy © Fariz Azmi


Tak jauh dari sungai, kami semua berkumpul. Merayakan sebuah kemenangan yang entah apa memang harus dirayakan seperti ini. Ini seperti merayakan kemerdekaan. Aku mengetahui level Pixie itu. Levelnya justru di bawahku, 57. Itu hal yang membuatku terkejut saat mengetahuinya. Dia hebat. Lebih hebat dariku dengan strateginya.

"Jadi siapa namamu, Pahlawan?" dia menghampiriku saat setelah mengambil sebotol minuman yang dipesannya melalui bartender. Kami semua berkumpul di dalam bar, sebagian ada di luar. Seperti aku. Aku tidak terlalu suka keramaian.
"Namaku Blue!" aku menjawabnya, sedikit berteriak karena di sini ramai sekali.
"Aku Gabrielle. Dengan huruf L ganda," dia menyeruput minumannya "Gerakan bagus di sana tadi." ujarnya sambil menunjuk ke arah sungai dengan jempolnya.
Aku tersenyum tanpa memandangnya, "Yeah, kau juga."
"Blue, huh? Aku tahu nama itu. Kau adalah archer pertama yang berhasil lolos ke kejuaraan, dua tahun lalu, apa aku benar?"
Ya, aku mengangguk, rupanya dia tahu aku. "Yeah."
"Itu menjadi berita besar waktu itu. "First Archer that enters the championship." kata mereka." dia mengatakannya seolah aku ini sangat hebat, namun aku tidak bisa membantahnya. Mungkin saat itu keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Aku juga ingat ketika berita itu menyebar sangat luas di internet. Aku tiba-tiba saja menjadi seorang artis di dunia maya. Namun di dunia nyata, mereka sama sekali tidak mengenalku. Itulah salah satu kehebatan VROMMORPG. Kau bisa menjadi orang yang tidak bisa kau implementasikan dalam kehidupan nyatamu. Singkatnya, beautiful lies. Aku suka kutipan itu, entah dari mana dulu aku pernah mengutipnya.
"Ah, kau bilang itu." aku terkekeh. Kemudian dia juga ikut terkekeh.
"So, dari mana kau berasal? Di dunia nyata tentunya." dia lalu bertanya sambil sesekali menyeruput minumannya lagi.
"Indonesia."
"Oh, Bali, huh? Aku pernah ke sana."
Aku menatapnya, tentu saja, sebagian besar orang dari luar negeri sudah pernah berkunjung ke Bali. "Benarkah?" dia menangguk, "Indah bukan?"
"Menakjubkan." wajahnya berseri, mungkin sekarang dia sedang mengingat-ingat saat dia mengunjungi Bali, salah satu pulau yang paling terkenal di muka bumi. Dan juga merupakan daya tarik terbesar dari negara Indonesia.
"Kau harus pergi ke sana lagi suatu hari."
"Yeah, tentu saja." kemudian dia berdiri karena ada seseorang yang mengajaknya bicara. "Sebentar." ucapnya.
"Oke."
Tak lama kemudian Violet datang, menembus dari kerumunan yang berpesta memenuhi jalanan. Sama seperti saat dia pertama memanggilku di Lyon.
"Kukira kamu tidur." ucapku setibanya dia di dekatku. Dia kemudian mengambil duduk di sebelah kananku.
"Orang macam apa yang bisa tidur saat ada suara-suara gempa seperti tadi?" dia manyun. Pertanyaanku memang sedikit konyol karena memang langkah kaki centaur yang tadi kami lawan terdengar sangat keras. Lagi pula penginapannya juga tidak terlalu jauh dari lokasi bar. Aku sempat bersyukur karena centaur itu tidak mampir ke penginapan dan menghancurkannya
Aku terkekeh sambil mengacak-acak poni rambutnya yang dari dulu tidak berubah. Gaya model himiko namun hanya seleher dan poni depannya lebih panjang menyamping.
"Entahlah," aku mengangkat kedua bahuku, "Aku 'kan tidak tahu kalau kamu bukan heavy sleeper." ledekku. Dia makin manyun, gelembung di pipinya makin besar ia buat. Dia terlihat semakin lucu.
"Ih, rese'!" ucapnya ketus sambil membuang wajah dan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Jangan marah, dong. Aku ‘kan cuma bercanda," ujarku sambil menarik-narik kecil lengan bajunya, namun tidak berlangsung lama, aku mencari sebuah ide. "Ya sudah kalau marah, padahal aku mau mengenalkanmu pada teman baruku," awalnya dia tidak menanggapi ucapanku, "Dia tampan, loh." setelah ucapanku yang terakhir, tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku, melingkarkan tangan kirinya pada leherku dan menariknya. Ku akui Gabrielle memang cukup tampan untuk seumuran kami, mungkin lebih muda sedikit dibandingkan kami.
"Kenalkan padaku!" bisiknya, logatnya seperti orang mengancam. Ini memang salah satu cara agar tidak membuatnya marah.
"Baiklah, tapi lepaskan dulu." ucapku meminta sambil tersenyum memaksa.
Setelah itu dia melepaskan tangannya yang melingkar di leherku.
"Baiklah," aku menarik napas lalu menoleh ke arah Gabrielle yang sedang berbicara dengan seseorang, "Hey Gabrielle. Kemarilah." dia menoleh setelah kupanggil.
"Oh hey, maaf," ucapnya, dia berbicara lagi dengan orang itu. Lalu kembali duduk di sebelahku. "Ada apa?"
"Aku membawa teman yang ingin kukenalkan kepadamu" aku memperkenalkan Violet kepada Gabrielle, "Dia Gabrielle," lalu sebaliknya "Ini Violet."
Mereka bersalaman sebentar. Kulirik kedua mata Violet menatap tajam pria yang sedang bersalaman dengannya. Dia tersenyum malu. Violet memang dari dulu seperti ini. Mudah tertarik dengan pria tampan. Dan ya, mungkin dia tidak terlalu tertarik denganku karena aku tidak terlalu tampan. Ironis. Namun meskipun begitu aku tetap ingin melihat dia bahagia. Oh, kenapa jadi cerita romansa?
"Hai, Namaku Violet." dia tersenyum manis, sedikit malu, aku bisa melihatnya sedikit blush walaupun pencahayaan di sini sedikit redup.
"Aku Gabrielle. Apa kabar?" Gabrielle membalas senyuman Violet dengan senyumannya. Oh great. Mereka sekarang akan jatuh cinta pada pandangan pertama.
"Baik. Terima kasih." cukup menggelikan kalau melihat mereka berdua seperti sedang melihat drama percintaan di mana kedua tokoh utama akhirnya bertemu.
"Hey guys, aku mau membeli sesuatu di dalam. Sampai nanti." aku membuat sebuah alasan acak agar bisa pergi meninggalkan berdua. Semoga saja mereka bisa cocok.
"Oh, oke, sampai nanti." Gabrielle melambaikan tangan selepas aku melangkah menuju ke arah bar. Sedangkan Violet hanya diam memandang Gabrielle.
Aku buka pintu bar itu. Masuk ke dalam, semua player dan NPC menyurakiku seperti seorang pemenang. Dalam kasus ini, memang. Dan aku hanya melambai lesu sambil tersenyum ke arah mereka. Mereka bahkan menyediakan sebuah tempat duduk khusus untukku. Aku duduk di sana.
Memesan menu yang sama seperti tadi.
Aku melihat keluar jendela. Mereka berdua terlihat akrab walaupun baru mengenal satu sama lain. Aku tersenyum pahit. Dalam hati aku ingin melihat ini sebagai peristiwa yang bahagia, namun ternyata tidak bisa. Entah kenapa, hatiku masih melekat padanya. Aku sedih.
Dalam kisah ini. Ini memang kisah romansa tragis di mana aku harus merelakannya agar dia bisa bahagia.
"Hey semuanya, ayo kita bersulang untuk penyelamat kita!" seorang player bertubuh besar mengangkat tinggi-tinggi gelas yang berukuran besar, aku tidak tahu apa isinya. Mereka semua bersorak lebih heboh lagi. Hei, sekarang bukan saatnya untuk bersedih.
Kukumpulkan sisa-sisa semangatku lagi. Seorang player memberikanku sebuah gelas lain. Yang ini aku tahu apa isinya. Sebuah anggur. Lebih enak dibandingkan minuman keras.
Aku bersulang dengan player bertubuh besar itu dan kuteguk gelas yang berisi anggur itu hingga habis. "Yeah!" mereka bersorak lagi dengan heboh. Sekarang aku jadi artis lokal. Entah kenapa aku merasa gembira, di sini aku seperti sisi lain kehidupanku yang membosankan di dunia nyata. Di sini, ada sesuatu yang bisa melengkapi warna yang hilang dalam kehidupan nyataku.
Untuk dua jam ke depan, aku habiskan waktu di bar itu. Aku pikir aku akan kembali ke penginapan. Tak satu pun dari mereka yang pulang dari pesta.
Aku berdiri, melangkah gontai karena sedikit mabuk. Membuka pintu yang berada di depan. Susah payah aku keluar menembus kerumunan ini. Aku berpikir, apa mereka tidak lelah sama sekali? Setidaknya, apa pikiran mereka yang tidak lelah? Ah, masa bodoh.
Aku kembali ke penginapan berjalan. Tidak mempedulikan Violet yang entah ke mana perginya, mungkin dia pergi bersama Pixie itu.
Sesampainya, aku langsung tertidur. Aku bermimpi.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)