(Image: images-blogger-opensocial.googleusercontent.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
Tak jauh dari sungai, kami semua
berkumpul. Merayakan sebuah kemenangan yang entah apa memang harus dirayakan
seperti ini. Ini seperti merayakan kemerdekaan. Aku mengetahui level Pixie itu. Levelnya justru di bawahku, 57. Itu hal yang membuatku terkejut saat
mengetahuinya. Dia hebat. Lebih hebat dariku dengan strateginya.
"Jadi siapa namamu, Pahlawan?" dia menghampiriku saat
setelah mengambil sebotol minuman yang dipesannya melalui bartender. Kami semua berkumpul di dalam bar, sebagian ada di luar. Seperti aku. Aku tidak terlalu suka
keramaian.
"Namaku Blue!" aku
menjawabnya, sedikit berteriak karena di sini ramai sekali.
"Aku Gabrielle. Dengan huruf
L ganda," dia menyeruput
minumannya "Gerakan bagus di sana tadi." ujarnya sambil menunjuk ke
arah sungai dengan jempolnya.
Aku tersenyum tanpa memandangnya, "Yeah, kau juga."
"Blue, huh? Aku tahu nama itu. Kau adalah archer pertama yang berhasil lolos ke kejuaraan, dua tahun lalu, apa aku benar?"
Ya, aku mengangguk, rupanya dia tahu aku.
"Yeah."
"Itu menjadi berita besar waktu itu. "First Archer that enters the
championship." kata mereka."
dia mengatakannya seolah aku ini sangat hebat, namun aku tidak bisa
membantahnya. Mungkin saat itu keberuntungan sedang berpihak kepadaku. Aku juga
ingat ketika berita itu menyebar sangat luas di internet. Aku tiba-tiba saja
menjadi seorang artis di dunia maya. Namun di dunia nyata, mereka sama sekali
tidak mengenalku. Itulah salah satu kehebatan VROMMORPG. Kau bisa menjadi orang yang tidak bisa kau
implementasikan dalam kehidupan nyatamu. Singkatnya, beautiful lies. Aku suka kutipan itu, entah dari mana dulu aku
pernah mengutipnya.
"Ah,
kau bilang itu." aku
terkekeh. Kemudian dia juga ikut terkekeh.
"So,
dari mana kau berasal? Di dunia
nyata tentunya." dia lalu
bertanya sambil sesekali menyeruput minumannya lagi.
"Indonesia."
"Oh,
Bali, huh? Aku pernah ke sana."
Aku menatapnya, tentu saja, sebagian besar
orang dari luar negeri sudah pernah berkunjung ke Bali. "Benarkah?" dia menangguk, "Indah
bukan?"
"Menakjubkan." wajahnya berseri,
mungkin sekarang dia sedang mengingat-ingat saat dia mengunjungi Bali, salah
satu pulau yang paling terkenal di muka bumi. Dan juga merupakan daya tarik
terbesar dari negara Indonesia.
"Kau harus pergi ke sana lagi suatu
hari."
"Yeah,
tentu saja." kemudian dia berdiri karena ada seseorang yang mengajaknya
bicara. "Sebentar." ucapnya.
"Oke."
Tak lama kemudian Violet datang, menembus
dari kerumunan yang berpesta memenuhi jalanan. Sama seperti saat dia pertama
memanggilku di Lyon.
"Kukira kamu tidur." ucapku
setibanya dia di dekatku. Dia kemudian mengambil duduk di sebelah kananku.
"Orang macam apa yang bisa tidur saat
ada suara-suara gempa seperti tadi?" dia manyun. Pertanyaanku memang sedikit konyol karena memang langkah
kaki centaur yang tadi kami lawan
terdengar sangat keras. Lagi pula penginapannya juga tidak terlalu jauh dari
lokasi bar. Aku sempat bersyukur
karena centaur itu tidak mampir ke
penginapan dan menghancurkannya
Aku terkekeh sambil mengacak-acak poni
rambutnya yang dari dulu tidak berubah. Gaya model himiko namun hanya seleher dan poni depannya lebih panjang
menyamping.
"Entahlah," aku mengangkat kedua
bahuku, "Aku 'kan tidak tahu kalau kamu bukan heavy sleeper." ledekku. Dia makin manyun, gelembung di pipinya makin besar ia buat. Dia terlihat
semakin lucu.
"Ih,
rese'!" ucapnya ketus sambil
membuang wajah dan menyilangkan kedua tangannya di depan dadanya.
"Jangan marah, dong. Aku ‘kan cuma
bercanda," ujarku sambil menarik-narik kecil lengan bajunya, namun tidak
berlangsung lama, aku mencari sebuah ide. "Ya sudah kalau marah, padahal
aku mau mengenalkanmu pada teman baruku," awalnya dia tidak menanggapi
ucapanku, "Dia tampan, loh." setelah ucapanku yang terakhir,
tiba-tiba saja dia menoleh ke arahku, melingkarkan tangan kirinya pada leherku
dan menariknya. Ku akui Gabrielle memang cukup tampan untuk seumuran kami,
mungkin lebih muda sedikit dibandingkan kami.
"Kenalkan padaku!" bisiknya,
logatnya seperti orang mengancam. Ini memang salah satu cara agar tidak
membuatnya marah.
"Baiklah, tapi lepaskan dulu."
ucapku meminta sambil tersenyum memaksa.
Setelah itu dia melepaskan tangannya yang
melingkar di leherku.
"Baiklah," aku menarik napas
lalu menoleh ke arah Gabrielle yang sedang berbicara dengan seseorang, "Hey Gabrielle. Kemarilah." dia menoleh
setelah kupanggil.
"Oh
hey, maaf," ucapnya, dia
berbicara lagi dengan orang itu. Lalu kembali duduk di sebelahku. "Ada
apa?"
"Aku membawa teman yang ingin
kukenalkan kepadamu" aku memperkenalkan Violet kepada Gabrielle, "Dia
Gabrielle," lalu sebaliknya "Ini
Violet."
Mereka bersalaman sebentar. Kulirik kedua
mata Violet menatap tajam pria yang sedang bersalaman dengannya. Dia tersenyum
malu. Violet memang dari dulu seperti ini. Mudah tertarik dengan pria tampan.
Dan ya, mungkin dia tidak terlalu tertarik denganku karena aku tidak terlalu
tampan. Ironis. Namun meskipun begitu aku tetap ingin melihat dia bahagia. Oh,
kenapa jadi cerita romansa?
"Hai, Namaku Violet."
dia tersenyum manis, sedikit malu, aku bisa melihatnya sedikit blush walaupun pencahayaan di sini
sedikit redup.
"Aku Gabrielle. Apa
kabar?" Gabrielle membalas senyuman Violet dengan senyumannya. Oh great. Mereka sekarang akan jatuh cinta
pada pandangan pertama.
"Baik. Terima kasih." cukup menggelikan kalau melihat
mereka berdua seperti sedang melihat drama percintaan di mana kedua tokoh utama
akhirnya bertemu.
"Hey
guys, aku mau membeli sesuatu di dalam. Sampai nanti." aku membuat
sebuah alasan acak agar bisa pergi meninggalkan berdua. Semoga saja mereka bisa
cocok.
"Oh,
oke, sampai nanti."
Gabrielle melambaikan tangan selepas aku melangkah menuju ke arah bar. Sedangkan Violet hanya diam
memandang Gabrielle.
Aku buka pintu bar itu. Masuk ke dalam, semua player
dan NPC menyurakiku seperti seorang
pemenang. Dalam kasus ini, memang. Dan aku hanya melambai lesu sambil tersenyum
ke arah mereka. Mereka bahkan menyediakan sebuah tempat duduk khusus untukku.
Aku duduk di sana.
Memesan menu yang sama seperti tadi.
Aku melihat keluar jendela. Mereka berdua
terlihat akrab walaupun baru mengenal satu sama lain. Aku tersenyum pahit.
Dalam hati aku ingin melihat ini sebagai peristiwa yang bahagia, namun ternyata
tidak bisa. Entah kenapa, hatiku masih melekat padanya. Aku sedih.
Dalam kisah ini. Ini memang kisah romansa
tragis di mana aku harus merelakannya agar dia bisa bahagia.
"Hey
semuanya, ayo kita bersulang
untuk penyelamat kita!" seorang player
bertubuh besar mengangkat tinggi-tinggi gelas yang berukuran besar, aku tidak
tahu apa isinya. Mereka semua bersorak lebih heboh lagi. Hei, sekarang bukan
saatnya untuk bersedih.
Kukumpulkan sisa-sisa semangatku lagi.
Seorang player memberikanku sebuah
gelas lain. Yang ini aku tahu apa isinya. Sebuah anggur. Lebih enak
dibandingkan minuman keras.
Aku bersulang dengan player bertubuh besar itu dan kuteguk gelas yang berisi anggur itu
hingga habis. "Yeah!"
mereka bersorak lagi dengan heboh. Sekarang aku jadi artis lokal. Entah kenapa
aku merasa gembira, di sini aku seperti sisi lain kehidupanku yang membosankan
di dunia nyata. Di sini, ada sesuatu yang bisa melengkapi warna yang hilang
dalam kehidupan nyataku.
Untuk dua jam ke depan, aku habiskan waktu
di bar itu. Aku pikir aku akan
kembali ke penginapan. Tak satu pun dari mereka yang pulang dari pesta.
Aku berdiri, melangkah gontai karena
sedikit mabuk. Membuka pintu yang berada di depan. Susah payah aku keluar
menembus kerumunan ini. Aku berpikir, apa mereka tidak lelah sama sekali?
Setidaknya, apa pikiran mereka yang tidak lelah? Ah, masa bodoh.
Aku kembali ke penginapan berjalan. Tidak
mempedulikan Violet yang entah ke mana perginya, mungkin dia pergi bersama Pixie
itu.
Sesampainya, aku langsung tertidur. Aku bermimpi.
--