Final Fantasy
IX Original Story © Square Soft / Square Enix
Story Fiction © Fariz Azmi
Ice Cavern memang bukanlah tempat yang terlalu big deal –selain es-nya yang memang
sangat terasa dingin. Disana mereka tidak terlalu kerepotan, hanya saja mereka
sempat pingsan karena hawa dinginnya.
Perjalanan mereka melewati gua indah itu memakan
waktu seharian penuh, pernah berpikir tentang melewati gunung melalui sebuah
gua? Ya, sangat panjang, itulah mengapa.
Zidane yang juga pingsan namun sadar terlebih dahulu
karena mendengar sebuah dering bel. Karena merasa penasaran, ia meninggalkan
teman-temannya untuk mencari asal suara itu.
“Suara apa itu?” Zidane sayup-sayup membuka matanya
yang masih terasa sulit dibuka, tangan kirinya terlipat didepan dadanya
sedangkan tangan kanannya menghalau es salju yang menerpa wajahnya. Kemudian ia
berdiri. “Suara ini berasal dari sana...” suaranya menggantung, Zidane berusaha
memusatkan telinganya ke asal suara itu lalu kembali berteriak “Ada orang
disana?
Zidane berjalan melewati badai salju itu dan
menemukan seorang –lebih tepatnya seperti penyihir sedang terduduk diatas
tebing yang berada diatasnya. Kemudian penyihir itu segera turun dari tempatnya
setelah melihat Zidane.
“Kenapa kau tidak tertidur?” penyihir itu berjalan
beberapa langkah kedepan “Kau seharusnya sudah mati sekarang.” sepasang mata
berwarna kuning dibalik wajah hitam yang tak terlihat itu menatap tajam kearah
Zidane.
“Apa kau yang menyebabkan badai salju ini? Siapa
kau?” Zidane bertanya dengan menatap balik kearah penyihir dihadapannya,
bersiap menyerangnya kapan saja.
“Hehehe... Itu benar! Dan oh, namaku adalah Black
Waltz.” pertarungan terjadi dengan langkah pertama penyihir menyerang Zidane,
namun dengan mudah dihindari.
Walaupun terhalang badai salju, Zidane masih dapat
mengatasi penyihir itu dengan waktu yang cukup singkat, cukup kuat, namun tidak
terlalu menyusahkan karena keahliannya.
Penyihir itu menghilang dihadapannya sesaat setelah
Zidane berhasil mengalahkannya, tubuhnya lenyap begitu saja.
“Kau mungkin telah mengalahkan No.1, namun No.2 dan
No.3 akan merebut kembali Sang Putri!”
“Siapa disana?” Zidane masih waspada ketika suara
yang tak berbeda jauh itu muncul, melihat kembali sekelilingnya “Oh,
terserahlah...” Zidane teringat dengan teman-temannya yang masih berada disana
“Aku harus kembali dan mengecek mereka!” Zidane kemudian berlari kembali
ketempat dimana ia meninggalkan teman-temannya.
“Zidane!” suara Garnet terdengar tepat setelah
Zidane berada ditempat ia meninggalkan Garnet dan yang lainnya.
“Hei, kau yang disana. Apa semua baik-baik saja?”
Zidane menatap Garnet dari ujung kepala hingga ujung kaki setelah melihatnya,
syukurlah tidak apa-apa.
“Kau! Apa yang terjadi?” Steiner tiba-tiba saja
muncul dari balik salju setelah ia sadar, mendekati Garnet yang berada didepan
Zidane, khawatir kalau terjadi sesuatu dengan Putri yang sedang ia kawal.
“Bukan masalah besar.” Zidane menjawab enteng sambil
mengangkat kedua bahunya menatap Steiner lalu kembali menatap Garnet.
“Kau menyembunyikan sesuatu!” Steiner tidak puas
dengan jawaban yang Zidane berikan kepadanya, ia merasa ada sesuatu yang Zidane
sembunyikan dibalik jawaban entengnya barusan.
“Hei, tidak ada yang terjadi. Kau mendengar perkataanku
barusan.” Zidane mengelak pernyataan Steiner dengan sigap dengan memandangnya.
“Kau... tidak menyentuh Tuan Putri, ‘kan?”
“Kau barusan menuduhku apa?” Zidane mulai naik darah
dengan perkataan kasar barusan.
Garnet menghalau Zidane yang akan melangkahkan
kakinya “Steiner, dia berkata tidak ada apa-apa. Kenapa kau bertingkah sangat
kasar?” Garnet menatap Steiner yang mengurungkan niatnya untuk membuat Zidane
mengaku dengan sesuatu yang disembunyikannya.
“Maafkan saya, Tuan Putri.” ucap Steiner sambil
membungkukkan bahunya.
Zidane membalikkan badannya, melangkah maju
membelakangi ketiga orang itu.
“Zidane? Apa ada sesuatu yang mengganggumu?” Garnet
bertanya lirih sambil mendekati Zidane yang beberapa langkah didepannya.
Zidane kembali membalikkan tubuhnya menghadap kearah
tiga orang itu, ia pandang satu persatu secara bergantian “Tidak... tidak ada.”
elak Zidane lalu ia membalikkan kembali badannya dan bersiap berjalan kedepan.
Tidak terlalu lama dari tempat dimana mereka berada,
akhirnya keempat orang itu menemukan jalan keluar. Sekarang mereka berada
diatas kabut, dan, matahari bersinar terang dipagi hari itu.
“Kita berhasil berjalan melewati kabut!” Garnet
terlihat sangat bersemangat ketika melihat matahari yang tepat sedang terbit dari sebelah timur,
“Oh, rasanya sangat segar!” bisa dilihat, memang Putri itu terlalu excited dengan apa yang ia lihat, namun
semua itu sangat masuk akal dari bagaimana selama ini cara dia hidup di kastil.
“Lihat! Ada sebuah desa disana!” Zidane yang
daritadi sedang melihat-lihat mendapat sebuah pandangan, sebuah desa yang tidak
jauh dari tempat dimana ia sedang berdiri, mungkin hanya memakan sekitar dua
sampai tiga jam jika berjalan, “Kurasa aku pernah kesana sebelumnya...” ia
kembali berpikir, desa itu memang terlihat familiar
baginya.
“Ini terdengar seperti kau sudah pergi kemana saja,
Zidane,” Garnet kembali excited
dengan Zidane, namun disamping itu dia terlihat sedikit sedih, “Satu-satunya
tempat yang pernah aku kunjungi adalah melalui buku,” jadi itulah alasan
mengapa ekspresinya berubah, namun segera berubah lagi sebelum ia melanjutkan
kata-katanya, “Kau mungkin sudah pernah pergi ke desa itu. Ayo kita kunjungi.”
Garnet mulai berjalan menapaki jalan yang berada di depannya sebelum sempat
dihentikan oleh Zidane.
“Tunggu sebentar,” Garnet berhenti, memandang Zidane
yang berada beberapa meter dibelakangnya, ”Kau adalah seorang Tuan Putri! Kau
tidak bisa pergi seenaknya kesana-kemari,” ia kembali berpikir, terlihat dari
ekspresinya, “Orang-orang sedang mencarimu...” Zidane memandang sebentar Garnet
dengan ekspresi berpikirnya, “...kamu butuh sebuah identitas baru.” namun
dengan seribu langkah pertama, Steiner menolak pernyataan dari Zidane itu untuk
beberapa alasan.
“Kau orang bodoh yang kurang ajar! Tuan Putri tidak
perlu pergi secara diam-diam!” Steiner dengan sikap khasnya melakukan serangan
dengan kata-katanya dengan bertubi-tubi “Lagipula, kita pergi menuju kembali ke
kastil. Kau jauhi saja dia,” ucap Steiner “Dan kau akan memanggilnya dengan
sebutan ‘Tuan Putri’ mulai dari sekarang, dasar rakyat jelata yang bodoh.”
Dan seperti yang dapat diperkirakan, sebuah argumen
tercipta dengan balasan Zidane.
“Sialan, Rusty!
Kenapa kau tidak diam saja?” Zidane maju beberapa langkah mendekati tempat
Steiner “Kau kira kau ini siapa? Aku tidak menerima perintah dari orang
brengsek sepertimu!”
“Kalian berdua!” Vivi yang sudah tidak tahan dengan
percakapan emosi dari kedua orang ini akhirnya membuka mulut.
“Hentikan, kalian berdua!” begitu juga dengan Garnet
yang sudah merasa terganggu dengan ucapan kedua orang itu “...Steiner, aku
tidak berniat untuk kembali ke kastil.” ia memandang Steiner, lalu menunjuk
kearah Zidane dengan tangan kirinya “Dan aku mengerti maksud Zidane... Aku
butuh nama baru...” Garnet berjalan mengelilingi Zidane, sedangkan Steiner
hanya bisa mengeram kesal sambil memandangi Zidane, ia mungkin beruntung karena
Garnet mendukungnya. Lalu Garnet mengambil sebuah dagger dari kantung yang berada di pinggang Zidane, melihat dan
terheran-heran dengan benda itu. “Zidane, apa nama benda ini?”
“Itu? Itu sebuah dagger.
Semua pedang yang panjangnya seperti itu disebut dagger...” Zidane menjelaskan “...pedang yang pendek namun sedikit
lebih panjang. Kalau pedang yang kau pegang dengan kedua tangan disebut broadsword. Dan...”
“...Oh, baiklah, aku mengerti sekarang,” Garnet
menyela penjelasan Zidane “Jadi ini disebut ‘dagger’.”
“Tuan Putri! Itu senjata! Mohon berhati-hatilah!” Steiner
salah tingkah ketika melihat Tuan Putri-nya memegang pedang itu, takut akan
dimarahi jika ia mengambil pedang itu dari tangannya, lagipula ia tidak boleh,
menurut tata krama seorang prajurit, sih.
Garnet menimbang-nimbang sesuatu sambil terus melihat
kearah dagger yang ia pegang, tidak
beberapa lama, ia memutuskan sesuatu “Mulai sekarang aku akan dipanggil Dagger.
Bagaimana pendapatmu, Zidane?” Garnet meminta pendapat Zidane dengan
keputusannya, ia memandang Zidane dengan sebuah senyuman sambil menunggu
jawaban yang akan Zidane keluarkan.
“Apa kau tidak apa-apa dengan itu?” Zidane meminta
keyakinan Garnet dengan pernyataannya, ia hanya mengangguk menyetujui serta
mengembalikan dagger yang ia pegang “Bagus,
Dagger. Sekarang, mari kita berlatih sedikit dengan kata-katamu...” Zidane
berpikir “Cobalah untuk berbicara lebih santai. Sepertiku.”
“Aku akan mencobanya.” ucap Garnet –Dagger.
“Tidak, tidak, tidak,” Zidane menggeleng dengan
jawaban Dagger yang masih dengan bahasa bangsawannya “Coba bicara... ‘Baiklah.’”
“B-baiklah!”
“Kau akan terbiasa dengan itu! Baiklah, ayo kita
segera bergegas.” setelah dirasa cukup, Zidane memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan mereka ke Desa Dali.
---
“Woah, sebuah kincir angin raksasa!” Vivi yang baru
saja tiba berlari kedepan, melihat sebuah kincir angin yang berada di ujung jalan
yang letaknya tidak jauh dari tempat ia berdiri sekarang.
“Vivi, penginapannya disebelah sini!” Zidane
memanggil Vivi yang terlihat excited
dengan apa yang ia lihat.
“Aw, apa kita harus?” Vivi memandang kembali kincir
angin itu lalu melihat Zidane lagi, “...tapi aku ingin melihat kincir angin
itu.” suara Vivi setengah meminta.
“Aku tahu, tapi kita harus istirahat terlebih dahulu,”
Zidane mengalihkan pandangannya kearah Dagger setelah ucapannya “Kita juga
harus memutuskan apa yang akan kita lakukan selanjutnya.” tambahnya.
Dengan itu, mereka berempat akhirnya memasuki
penginapan yang sedari tadi ada dihadapan mereka. Dengan ini, mereka secara
resmi tiba di Desa Dali.
Zidane memasuki lobi terlebih dahulu, tidak terlalu
luas untuk sebuah penginapan, disana ia bisa melihat pengurus penginapan sedang
tertidur lelap diatas meja kerjanya.
“Tidur saat bekerja?” Zidane heran, ia maju beberapa
langkah dan tiba tepat didepan meja lalu mengetuk meja itu beberapa kali
sehingga pengurus penginapan itu tersadar dari tidurnya.
“Oh, maafkan aku.” penjaga itu bangun, namun masih
setengah sadar, sambil memandangi Zidane, ia mengalihkan pandangannya kepada
satu-satunya gadis yang ada disana, Dagger. Zidane yang merasa aneh melihat
pengurus itu memandangi Dagger segera membisikkan sesuatu ke pengurus itu.
“Hei, aku tahu dia itu gadis yang imut, tapi ini
sedikit kasar untukmu memandangnya.”
Ucapan Zidane kembali menyadarkan lamunan pengurus
itu “Oh, aku tidak sedang melihat kearah gadis muda itu. Aku hanya...” pengurus
itu terlihat berpikir, “Ruangannya tepat disebelah sana. Anggap saja rumah
sendiri!” pengurus itu menulis sesuatu di meja tamunya lalu menyuruh keempat
orang itu memasuki kamarnya.
Namun sebelum sempat membuka pintu ganda itu, Dagger
menghentikan Zidane, “Um, Zidane? Dimana aku harus tidur?” Dagger memegangi
lengan Zidane yang hendak membuka pintu.
“Di ruang yang sama. Memangnya dimana lagi?”
“Tapi, Zidane, aku tidak boleh...” Dagger ingin
menolak pernyataan Zidane barusan dengan sejuta alasannya, selain tidak siap,
dia juga bingung harus berbuat apa.
“Aku tahu bagaimana perasaanmu, tapi penginapan di
desa tidak mempunyai kamar yang terpisah,” Zidane lalu melanjutkan kegiatannya
yang akan membuka pintu tadi setelah tangan Dagger terlepas “Semuanya masuk.”
Setelah sampai didalam, Vivi dan Steiner langsung
menuju tempat tidur mereka, kecuali Zidane dan Dagger. Zidane sedikit khawatir
dengan Dagger karena dia belum terbiasa hidup bebas seperti ini, jadi dia ingin
sedikit menanyainya sebelum dia istirahat.
“Katakan padaku satu hal sebelum kita istirahat,”
ucap Zidane setelah menghampiri Dagger yang sedang duduk di ranjangnya,
menghadap tepat kearah jendela, Dagger menoleh menatap Zidane dengan acuh
“Kenapa kau ingin meninggalkan kastil, Dagger?”
“Jika kapal teater tidak mengalami kecelakaan...”
suaranya lirih, terdengar sedikit menyesal dengan apa yang ia putuskan di waktu
lalu.
“...kita sekarang pasti sudah tiba di wilayah
Lindblum.” ucap Zidane menyelesaikan maksud perkataan Dagger.
Dagger mengangguk. Zidane merasa kaget.
“Kau berniat meninggalkan Alexandria?!” Zidane
terkejut dengan perkataannya, Dagger hanya terdiam, masih memandangi jendela
yang bahkan hampir tidak bisa untuk melihat keluar karena debu yang menumpuk.
“Aku mengerti. Jika saja kau tidak ketahuan, kau sekarang mungkin sudah sampai
Lindblum. Tapi sekarang, kita harus melewati Gerbang Selatan dengan berjalan
kaki. Melewati perbatasan, huh?” Zidane terkekeh dengan kata-kata terakhirnya
tanpa menghiraukan pendapat Dagger yang mungkin tidak akan lebih baik setelah
mendengar perkataannya.
“Zidane, tolong dengarkan. Ada alasan kenapa aku
harus meninggalkan Alexandria dan aku tidak bisa mengatakannya padamu, tapi,
tolonglah...” suara Dagger memohon kepada Zidane yang pada akhirnya menatapnya
setelah jendela itu.
“Aku mengerti, aku akan mengantarmu ke Lindblum
bagaimanapun caranya.”
“Sudah cukup aku mendengarkan kata-kata itu dari
mulut busukmu!” Steiner bangun dari ranjangnya, menghampiri Zidane dan
menyisakan beberapa langkah saja, ia menatap Tuan Putri-nya “Tuan Putri, anda
tidak bisa mempercayai kata-kata dari seorang pencuri! Dia mungkin akan membiarkanmu
dalam bahaya lagi seperti yang ia lakukan di Evil Forest!” kemudian ia maju beberapa langkah, dengan tingkah
memohon kepada Tuan Putri-nya yang terlalu keras kepala untuk mendengarkannya
“Aku mohon kepadamu, Tuan Putri. Tolong kembali ke kastil denganku.”
Sudah cukup Zidane mendengar celotehan Steiner yang
seperti ia lakukan sebelumnya, “Aku tahu aku mengacaukannya di Evil Forest. Tapi sekarang aku tidak
mempunyai keraguan di dalam pikiranku. Aku akan melindungi Dagger dengan nyawaku!”
terdengar seperti kata-kata seorang pahlawan, eh? Memang, namun entah mengapa
Zidane mengatakan itu kepada seorang gadis yang mungkin bahkan tidak akan lama
bersamanya.
“Jangan membuatku tertawa dengan kata-katamu! Ini
tugasku untuk melindungi Tuan Putri, sekarang dan selamanya. Bukan kau!” Steiner
terlihat kesal, namun ia masih cukup bisa untuk menekan suaranya agar tidak
terdengar keras.
“Lalu katakan padaku, bagaimana caramu untuk
membawanya kembali ke kastil?” tanya Zidane dengan menyilangkan kedua tangannya
didepan dadanya, sepertinya ini serangan telak untuk Steiner.
“A-aku aku memikirkan sebuah cara...” Steiner
menjawab, namun tidak terlihat yakin dengan perkataannya.
Kemudian argumen kedua orang itu terhenti karena
mendengar suara dengkuran Vivi yang sedang tertidur.
“Master
Vivi...” ucap Steiner lirih, menggantung.
“Dia lelah, namun kau tetap mengeluarkan kata-kata
marah yang berlangsung lama itu.” ucap Zidane memandang Vivi kemudian Steiner,
kemudian dia berjalan menuju ranjangnya.
“Apa?!” Steiner memandang kesal Zidane, rasanya
ingin dia hajar Zidane ditempat itu sekarang juga, namun itu semua tidak bisa
ia lakukan.
“Istirahatlah.” ucap Zidane yang sekarang sudah
berbaring di ranjangnya, bersiap untuk menutup matanya.
Beberapa jam setelahnya...
Zidane
POV Start
Aku...mendengar seseorang bernyanyi... Suaranya
indah. Aku tidak pernah mendengarkan suara indah seperti itu untuk beberapa
saat. Apa aku sedang bermimpi? Tapi ini terdengar sangat indah dan nyata.
“Siapa yang bernyanyi?” gumamku, aku membuka mataku
perlahan.
Kupandang sekitarku, kosong.
“Aku tidak pernah mendengar lagu seperti itu
sebelumnya...”
“...apakah Dagger yang bernyanyi?”
“Oh, semuanya sudah bangun. Aku berpikir kemana
mereka semua pergi...”
Aku berjalan keluar, membuka pintu yang menuju lobi
itu, kupandang pengurus penginapan masih tertidur seperti tadi. Tak kuhiraukan
dia dan terus berjalan keluar. Sekarang sudah siang, mungkin segera sore.
Aku berjalan ke ujung jalan, kulihat Vivi ada
disana. Kuhampiri dia dengan segera.
“Zidane!” Vivi memanggilku ketika menyadari aku akan
menghampirinya.
“Hei, Vivi. Ada apa?” tanyaku setelah sampai
disebelahnya.
“Ti-tidak, aku hanya sedang berpikir.” seperti
biasa, ia menundukkan kepalanya.
“Ah, aku tahu.” tebakku asal.
“Hm?”
“Kau bertemu seorang gadis!” tebakku sambil
menunjuknya dengan kedua telunjukku dan senyuman simpul yang dapat kubuat,
“Bukan, bukan! Bukan seperti itu!” elak Vivi.
“Apa? Jangan beritahu aku kalau kau tidak suka
gadis!” aku merasa curiga dengan melemparkan kata-kata itu, dan memang, sih,
aku belum pernah melihat seorang Black
Mage berpacaran atau semacamnya, namun kurasa itu tidak terlalu aneh, kok.
“Aku hanya tidak pernah memikirkan sesuatu
seperti...itu.” pandangannya beralih lagi ke kincir angin yang memang daritadi
ia pandang sejak aku berbicara dengannya.
“Aku selalu memikirkan tentang gadis-gadis. Aku
terkenal diantara semua gadis di Lindblum. Datanglah padaku jika kau mempunyai
masalah dengan gadis, oke?” tawarku, walaupun terdengar sedikit sombong, namun
memang kenyataannya memang begitu, tidak ada gadis di Lindblum yang tidak
mengenalku.
“Tentu, setelah ini aku akan kembali ke penginapan.”
“Jadi, apa yang sedang kaulihat?” aku bertanya
padanya lagi tentang hal yang ingin kutanyakan daritadi.
“Tidak ada. Tapi aku hanya terus mendengar suara
seperti ‘kweh’.” ucapnya, itu suara
yang familiar bagiku.
“Itu suara chocobo...”
Hening untuk beberapa saat.
“Sampai ketemu lagi di penginapan!” ucapku dan
berlalu begitu saja.
“Oke!” suara Vivi samar-samar kudengar karena suara
kincir angin itu dan juga aku sudah berjalan beberapa langkah.
Sekarang aku sudah berada di depan penginapan lagi.
“Lupakan Steiner. Aku berpikir dimana Dagger berada.
Mungkin dia ada disana.” aku kembali berjalan lagi menuju sebuah toko yang
berada diseberang penginapan, dan ternyata dia memang berada disana.
“Dagger...” panggilku lirih setibanya didalam toko.
Apa yang sedang ia lihat?
Kemudian aku berjalan dan berada disampingnya namun
dia belum sadar bahwa aku ada disampingnya, aku hendak menoleh untuk melihatnya
dari dekat.
Namun tidak kusangka, dia juga memalingkan
kepalanya, sehingga sekarang kami bertatap muka, hanya terpaut beberapa senti
saja.
“Zidane?!” dia terkejut sewaktu melihatku bebarengan
dengan wajahnya yang berubah menjadi merah, apakah dia sakit?
“Kau sakit atau apa? Wajahmu merah semua.” tanyaku
tanpa dosa.
“Ti-tidak. Aku baik-baik saja.” jawabnya memalingkan
wajah. Dia bertingkah aneh sekali.
“Kau bertingkah aneh...” ucapku menggantung di akhir
kalimatku.
“Apa?” dia menoleh, mungkin pertanyaanku tidak
terdengar atau dia saja yang memang bertingkah aneh. Aku berpikir sejenak.
“Aku tahu!” ucapku tiba-tiba, dia sedikit terkejut
dengan ucapanku “Kau mengganti cara berbicaramu!” ucapku yakin, “Kau
melakukannya dengan bagus!”
“Terima kasih!” dia tersenyum “Aku bermain cukup
bagus dalam teater, benar ‘kan?” tanyanya tiba-tiba. Memang, sih, dia bermain
cukup bagus dalam teater sebelumnya. Namun kurasa itu semua hanya dia yang
pintar memalsukan itu semua.
“Oh, ya, aku berpikir, kau tahu bagaimana cara
memalsukan sandiwaramu!” ucapku dengan acungan jempol.
“Memalsukan?! Kau sangat tidak sensitif!” dengusnya
kesal dengan menyilangkan kedua tangan didepan dadanya, “Aku suka drama teater
Lord Avon. Aku sudah menontonnya semua.” dia menurunkan tangannya “’I Want To Be Your Canary’ adalah salah
satu drama favoritku. Aku bahkan hafal semua jalan ceritanya!” ucapnya bangga,
“ Aku akan...aku akan mempelajarinya nanti.” tambahnya. Nampaknya dia marah.
“Ya ampun, tidak usah marah,” ucapku, “Maafkan aku,”
tambahku, “Kita harus memutuskan apa yang akan kita lakukan dari sekarang.
Maukah kau kembali ke penginapan?” pintaku dengan nada datar.
“Bagaimana denganmu?” tanyanya balik.
“Aku akan kembali nanti.”
“Baiklah. Sampai ketemu nanti!” dia berlalu
setelahnya. Bagus, sekarang dia sudah terlihat seperti gadis desa biasa.
Melewati perbatasan mungkin tidak sesusah yang aku bayangkan selama ini.
“Terima kasih. Aku sudah cukup bersenang-senang!”
Dagger melambai kepada penjaga toko sebelum meninggalkan toko.
“Dia aneh sekali.” ucap penjaga toko itu memaklumi.
Kemudian aku juga ikut keluar toko.
“Akan kubiarkan Steiner dan kembali saja ke
penginapan.” ucapku. Jika dipikir-pikir memang mengapa aku harus peduli dengan
prajurit tambun yang sok tahu itu?
Aku kembali ke penginapan setelahnya. Membukan pintu
ganda yang cukup besar itu dan hanya mendapati Dagger saja didalam sana, kemana
Vivi?
“Aku sudah meminta Vivi untuk kembali. Dia
seharusnya akan kembali dengan segera,” ucapku setelah menutup pintu ganda itu,
mendekati Dagger yang duduk di ranjangnya, memandang keluar jendela yang masih
tidak dapat dilihat itu. “Bagaimana, kau menyukai desa ini? Sangat berbeda
dengan di kastil, aku berani bertaruh itu.” tanyaku.
“Ya,” jawabnya “Anak-anak disini sangat bersemangat,
dan banyak hal yang dapat dilihat. Aku tidak pernah bisa jalan-jalan dengan
bebas dalam hidupku sebelum ini!” senyumnya merekah, bisa kulihat dari tekukan
pipinya, “Tapi...” senyum itu tiba-tiba hilang digantikan dengan ekspresi
penasaran “...kemana semua orang dewasanya?” tanyanya.
“Ya, aku juga berpikir seperti itu. Dulu aku biasa
melihat mereka sedang merapikan tanaman di kebun disebelah desa.” jawabku.
“Tapi kebun itu terlalu kecil.”
“Ya. Ada sesuatu yang aneh sedang terjadi disini...”
ucapku “...kita harus pergi dari sini setelah Vivi kembali,” aku berpikir
sejenak “Aku punya rencana yang bagus untuk menyeberangi Gerbang Selatan. Ini
akan menjadi mudah! Mereka tidak akan mengecek semuanya, jadi kita hanya harus
menyembunyikanmu!” ucapku, rencana itu terlihat sangat mudah dalam imajinasiku.
“Tapi, bagaimana dengan Steiner?”
“Lupakan tentang Rusty.
Serahkan semuanya kepadaku!”
Beberapa saat kemudian.
“...Selagi mereka keluar, tidak penting lagi kalau
kami mengendap-endap atau tidak dalam mansion
mereka. Tapi Sang Raja sedang menyembunyikan sesuatu dalam mansion itu...” aku kembali memandang Dagger yang terlihat tidak
mendengarkan cerita yang aku ceritakan kepadanya. “Ada apa? Apa ceritaku
membosankan?” tanyaku, perhatiannya teralihkan.
“Oh, tidak. Ceritamu sangat menarik,” ucapnya “Namun
aku mengkhawatirkan Vivi, kenapa dia belum kembali?” benar juga, kenapa aku
tidak merasa kalau dia tidak kembali itu tidak aneh?
“Kau benar. Dia terlambat,” aku berdiri meregangkan
badanku “Aku tidak khawatir dengan Steiner, tapi Vivi, aku tidak yakin
tentangnya. Ayo kita pergi mencarinya.” ajakku, dia mengikutiku dibelakang
selagi aku melangkah keluar penginapan. Satu-satunya tempat yang aku pikirkan
hanya tempat terakhir dimana ia berdiri –didepan kincir angin.
Setelah berada disana, aku berpikir sejenak.
“Vivi berkata ia mendengar suara chocobo disini.” aku berpikir sejenak.
Sebuah suara tangisan kecil terdengar dari lubang
pipa yang berada di pojok pagar.
“Ada seseorang yang menangis?” tanyaku kepada
Dagger.
“Aku mendengarnya juga.” jawabnya
Suara tangisan itu semakin jelas ketika aku
mendekatkan diri ke pipa yang tidak cukup besar itu.
“Suara itu berasal dari lubang pipa ini,” aku
mendekatkan telingaku di lubang pipa itu, “Vivi?”
“...Zidane?” suara itu, memang benar suara Vivi
berasal dari lubang pipa ini!
“Vivi! Dimana kau? Apa kau dibawah sana? Dapatkah
kau bergerak?” tanyaku bertubi-tubi, Dagger yang berada disebelahku juga
terlihat terkejut ketika mendengar suara Vivi.
“Dia menyuruhku untuk tetap disini...” ucapnya
lirih, nyaris tidak terdengar.
“Apa kau terluka?”
“Tidak.”
“Jangan khawatir, kami akan mengeluarkanmu. Kita
akan bergegas, jadi tetap disitu, oke?” perintahku kepadanya. Suaranya hampir
tidak terdengar lagi karena suara berisik dari dalam sana dan juga kincir angin
ini.
“...oke!”
Aku beranjak, begitu juga dengan Dagger yang
mengikutiku dibelakang “Apa yang terjadi didesa ini? Pasti ada jalan menuju
bawah tanah. Ayo kita mencarinya.” ucapku pada Dagger, dia hanya mengangguk
dengan ekspresi khawatirnya.
Zidane
POV End
Tak lama mencari, akhirnya mereka menemukan sebuah
jalan masuk di bangunan sebelah kincir angin itu.
“Ini bukan...sekedar fasilitas penyimpanan bawah
tanah biasa.” ucap Zidane yang mengedarkan pandangannya ke kotak-kotak aneh
yang berada disekitarnya.
“Apa yang terjadi disini?” Dagger bertanya, sedikit
ngeri dengan kondisi ruangan ini karena terlihat menyeramkan baginya.
“Shh!” Zidane menutup mulut Dagger dengan tangan
kirinya sambil bersembunyi dibalik dinding, ada seseorang dibalik dinding itu
yang sedang berbicara.
Ada beberapa kata yang menarik perhatian Dagger,
seperti kedua pemuda yang sedang berbincang dibalik dinding itu mengatakan
‘kastil’. Kemudian Zidane mengintip dan mendapati kedua pemuda itu sedang
membawa Vivi bersama mereka.
“Vivi! Sialan!” Zidane mengumpat dengan suara rendah
karena ia tahu kalau ia tidak boleh ketahuan sekarang.
Dagger memandang tong besar dengan sebuah cap yang
ia kenal “Zidane! Tunggu!” Dagger berbisik dan menarik Zidane mundur.
“Ya ampun! Hei! Ada apa?!” Zidane sedikit kesal,
terlebih karena kedua pemuda itu membawa Vivi.
“Apa kau lihat tong besar yang berada disebelah
lumbung itu? Aku melihat gambar yang sama di tong itu dengan yang berada di
kastil. Tempat ini pasti memiliki suatu hubungan dengan Alexandria. Aku harus
tahu apa itu!” ujarnya dengan ekspresi meminta “Jadi tolong, aku memohon
kepadamu, jangan membuat masalah apapun terlebih dulu.”
“...baiklah,” Zidane kembali berpikir dengan
permintaan Dagger “Tapi aku akan membuat masalah jika Vivi dalam bahaya,
setuju?”
“Baiklah.” Dagger menjawab dengan cepat.
“Baik, ayo kita berjalan lebih dalam lagi.”
Mereka berdua kembali berjalan lebih dalam lagi
menyusuri fasilitas bawah tanah itu. Didalam sana, ada beberapa suara keras
yang menarik perhatian Zidane, dan suara itu berasal dari sebuah mesin yang ia
tidak tahu.
“Benda apa itu?” Zidane berlari tepat kearah benda
itu namun Dagger segera menghentikannya.
“Zidane!”
“Ada apa?” Zidane kembali bertanya.
“Ada seseorang yang menangis.” jawabnya.
Zidane kembali memfokuskan pendengarannya, dan
memang, ada seseorang yang menangis, kemungkinan itu suara Vivi.
“...Vivi?”
“Zidane?!” Vivi terkejut, dan itu memang benar-benar
Vivi. Suara itu muncul dari sebuah peti yang berada disekitar situ.
“Itu kau! Aku akan mengeluarkanmu!”
Dengan beberapa usaha, akhirnya Zidane dapat
mengeluarkan Vivi dari peti itu, terlihat sedikit mengerikan jika kita dikurung
didalam peti seperti itu.
“Apa yang terjadi?” Zidane bertanya sesaat setelah
berhasil mengeluarkan Vivi.
“Setelah kau pergi, ada beberapa orang yang
menculikku dan membawaku kemari,” Vivi mulai menjelaskan “Mereka berkata padaku
untuk diam. Aku sangat takut...dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Mereka
bertanya kepadaku mengapa aku berada diluar sana, dan kemudian mereka berkata
lagi, kapal barangnya masih belum sampai disini. Aku bahkan tidak tahu dengan
apa yang sedang mereka bicarakan, jadi aku tidak berkata apapun, dan kemudian
mereka berkata ‘Ayo kita masukkan ke pengiriman hari ini’.”
“Mereka memasukkanmu ke dalam peti itu?” Dagger
bertanya.
“...Iya.” jawab Vivi sedikit takut.
“Well, aku
senang kau aman,” Zidane kembali menatap Vivi dengan memegang kedua pundak yang
kecil itu “Dengarkan, Vivi. Kau harus melakukan sesuatu lain kali. Kau harus
mencoba sesuatu –berteriak atau apapun.”
“Berteriak?” Vivi mengulangi perkataan Zidane.
“Ya, seperti...” dia berpikir lagi “Lepaskan aku,
dasar orang hina!”
“!” Vivi terkejut, begitu juga Dagger yang tidak
terlalu mengerti dengan kata-kata terakhir yang Zidane sebut.
“Seperti itu! Itu akan mengagetkan orang yang
menyerangmu dan akan menguatkanmu!”
“Huh,” walaupun sedikit bingung, namun nampaknya
Vivi sedikit mengerti apa yang dimaksud oleh Zidane dengan caranya yang aneh
“Aku mengerti. tambahnya.
“Aku ingin sebuah permintaan darimu, Vivi. Kami ingin
mengecek apa yang ada didalam sana, aku tahu kau mungkin akan terkejut dengan
ide itu, tapi...”
“...Zidane, aku juga ingin tahu lebih. Lihat, benda
apa itu?” Vivi menunjuk kearah sebuah mesin yang tadi mengeluarkan suara keras.
Sebuah mesin yang terlihat seperti kabut yang memberinya tenaga dan memompa
sebuah batu besar berwarna putih dengan corak merah muda dengan selisih waktu
sekitar tiga detik.
“Baiklah, kita akan pergi kesana bersama-sama!”
Zidane tanpa berpikr panjang berlari kearah batu itu, mengikuti kemana telur
itu akan menuju.
“Bukankah itu, sebuah telur?” Zidane mengamati batu
itu lekat-lekat dari dekat, “Mesin ini, pembuat telur?” baiklah, itu bodoh,
untuk apa mereka membuat sebuah mesin pembuat telur berukuran raksasa? “Ini
bukan Mesin Kabut, tapi ada kabut yang keluar dari sana...” Zidane yang
penasaran segera berlari lagi kearah telur itu menuju selanjutnya.
Setelahnya Zidane melihat beberapa chocobo yang sedang berlari dalam sebuat
alat, mengejar sebuah gysahl green
–makanan chocobo yang tergantung
diatasnya.
“Seekor chocobo
dan gysahl green? Para chocobo itu adalah sumber tenaganya?
Tapi kenapa mereka tidak menggunakan mesin saja untuk melakukannya?” Zidane
terheran-heran, itu hal yang cukup kejam baginya melihat chocobo itu dipermainkan seperti itu.
Lalu Zidane kembali berjalan dan berhenti ditempat
dimana telur itu masuk kedalam sebuah mesin, ia mencoba untuk melihat kedalam
mesin itu.
“Aku hampir dapat melihat kedalam...” Zidane terus
mencoba menekan terus tubuhnya kedalam namun ia tidak bisa melihat apa-apa
“...tapi aku tidak bisa melihat apa-apa. Aku hanya mendengar suara,” ia
menghentikan kegiatannya dan berpikir “Apakah telurnya...menetas?”
Kemudian ia berlari ke ruangan selanjutnya, diikuti
oleh Vivi dan Dagger.
“Ahhh! Apa itu?!” Vivi terkaget dengan apa yang ia
lihat setibanya di ruangan yang dimasuki oleh Zidane, Dagger menyusul
setelahnya. Ketiga orang itu sama-sama terkejut dengan apa yang mereka lihat
saat ini.
Seperti pabrik boneka, Black Mage, seperti Vivi, namun lebih besar dan tinggi dibandingkan
dia, tidak jauh berbeda dengan pakaiannya yang berwarna hitam dengan sedikit
corak ungu. Black Mage itu sedang
tergantung seperti boneka yang baru jadi, melewati rangkaian mesin itu, dengan
sebuah sabuk yang terikat.
“Mereka...beberapa bagian terlihat berbeda,
tetapi...” mereka terlihat seperti Vivi.
Zidane tercengang, terutama Vivi.
“A-apa itu?” suara Vivi terdengar, sedih “Apakah
mereka...boneka?”
“Kenapa? Apakah ibuku adalah dalang dibalik semua
ini?” Dagger menutup mulutnya dengan kedua tangan, tidak percaya.
Zidane yang menyadari keberadaan seseorang yang
datang segera menggendong Vivi dengan tangan kirinya, sedangkan tangan kanannya
memegang Dagger “Ada yang datang!”
“Ahh!” Vivi berteriak.
“Ahh! Apa yang kau lakukan, Zidane?!” Dagger yang
terkaget hanya dapat mengikuti langkah kaki Zidane menuju boneka itu dibawa.
“Hanya ini jalan satu-satunya!”
Mereka masuk, menciptakan beberapa anomali suara
yang tidak tercipta seperti sebelumnya.
“Diam!”
Dan ketika seseorang itu pergi, sebuah tong yang
besar datang entah darimana, mengurung mereka bertiga disana menuju ruangan
selanjutnya. Simpelnya: mereka terjebak untuk sesaat.
Berbeda dengan Steiner yang ngeluyur entah kemana
untuk mencari informasi tentang keberadaan atau kapan sebuah kapal akan singgah
di Dali –agar dia bisa membawa Tuan Putri-nya kembali ke kastil dengan selamat
sentosa tanpa campur tangan pencuri yang terus mempengaruhinya.
“Kenapa Pak Tua itu tidak bilang kalau kapal barang
itu sudah berada disana sejak tadi?” Steiner terus menggerutu tentang Pak Tua
yang ia temui tadi disebuah kincir angin tua yang beberapa menit dari desa itu.
“Sekarang aku harus mencari cara agar Tuan Putri mau
menaikinya.” memang benar, Tuan Putri muda itu tidak akan mau menaiki kapal
barang itu kalau ia mengetahui tujuan sebenarnya ada Alexandria.
Tiba-tiba saja, saat Steiner sudah mencapai dekat
kapal yang tidak terlalu besar untuk kapal barang itu, ia melihat sebuah tong
yang tiba-tiba muncul dari sebuah lubang ditanah, ketika ia mendatanginya,
pintu lubang itu ditutup.
“Ada sesuatu yang keluar dari sana!” ia dengan sigap
mendatangi tong yang terlihat mencurigakan itu.
“Tong ini, apa yang ada didalamnya?” tingkahnya
begitu aneh ketika melihat tong besar yang ada didepannya, “Kira-kira desa ini
sedang mengirim apa?” dia berpikir.
Brak, brak!
Tong itu tiba-tiba saja bergerak sendiri, dan tentu
saja membuat Steiner kaget.
“What the-“
dia melihat dua kali tong itu “Apakah tong ini baru saja bergerak sendiri?” dia
kembali menatap tong itu lebih dekat dan teliti “Kita lihat...” dia menemukan
sebuah tanda yang terlihat familiar
“...aku pernah melihat tanda ini sebelumnya...”
Brak!
Tong itu bergerak lagi.
“Ah! Tong ini benar-benar bergerak!” Steiner
terkejut lebih ketika tong itu tiba-tiba saja bergerak lagi.
“Baiklah! Berikan dorongan lagi!”
“Aargh! Tongnya berbicara!” Steiner yang kaget
langsung mundur beberapa langkah ketika mendengar suara keluar dari tong yang
berada dihadapannya itu, antara percaya dan tidak percaya.
Setelahnya, tong itu terguling dan akhirnya terbuka.
Ternyata tong itu berisi Zidane, Dagger, dan juga Vivi yang keluar terakhir.
“Tuan Putri, apa yang terjadi?!” Steiner yang panik
melihat Tuan Putri-nya keluar dari tong itu langsung mendatanginya dan
mengeceknya dari ujung ke ujung, lalu beralih ke makhluk berekor yang ada
disebelahnya, dengan ekspresi sebal ia berkata “Kau bajingan! Inikah yang kau
lakukan?!”
“Steiner, tolong hentikan!”
“Ba-baik, Tuan Putri...” Steiner saat itu juga mundur
beberapa langkah dengan posisi membungkuk.
“Zidane, aku tidak tahu harus mengatakan apa kepada
Vivi. Aku tidak pernah mengetahui sesuatu yang mencurigakan sedang terjadi di
kastil...” Dagger menatap Zidane dengan tatapan bersalah dan menyesal dengan
apa yang ia lihat sebelumnya.
“Kita masih tidak tahu pasti. Kita memihak Vivi
saja,” ucap Zidane bijaksana, kemudian ia membalikkan tubuhnya memandang kapal
barang yang berada dibelakangnya, memandang sejenak lalu kembali membalikkan
badannya “Yo, Rusty, kau tahu kemana
tujuan kapal ini?”
“...” Steiner terdiam sejenak sebelum menjawab
pertanyaan Zidane, ini bisa menjadi sebuah kesempatan baginya, “Li-Lindblum,”
ucapnya canggung “Ya, menuju Lindblum.” ulangnya.
“Itu sebuah kebetulan! Apa kau bertanya pada
seseorang?”
“Pa-Pak Tua yang berada disana memberitahuku! Jadi
itu pasti benar!”
Namun Zidane mengetahui ada yang aneh dengan
kata-kata Steiner, tidak biasa ia mendengar Steiner berbicara padanya seperti
itu “Kau bertingkah aneh...”
“Eh, itu –lupakan.”
Diikuti dengan perkataannya, seorang penyihir, sama
persis dengan yang ditemui Zidane sebelumnya di Ice Cavern –Black Waltz,
namun kali ini sedikit lebih kuat, datang entah darimana.
“Putri Garnet, Sang Ratu sudah menunggu anda di kastil!”
ucap Black Waltz itu dengan suara yang menyeramkan.
“Kau dikirim dari kastil?!” Zidane yang terkejut
langsung melontarkan kata-kata itu dengan kepalan tangannya.
“Apa? Apa yang kalian bicarakan?!” Steiner yang
tidak mengerti segera panik, dia bingung dengan perkataan kedua makhluk itu.
“Kalian semua pingsan sewaktu badai itu. Dia mengaku
dirinya adalah Black Waltz!” ucap
Zidane, terus menatap Black Waltz didepannya dengan mata yang waspada pada
setiap gerakannya.
“Apakah kau yang mengalahkan No.1? Aku Black Waltz No.2!” ucapnya, “Kekuatanku,
sihir, kecepatan, aku lebih kuat dibandingkan No.1! Menghindar akan sia-sia!”
tambahnya, kemudian dia mengalihkan pandangannya ke Dagger “Kemari, Putri. Ratu
sudah menunggu!”
“Tidak! Aku tidak akan kembali ke kastil!” teriak
Dagger, dia kemudian berlindung dibelakang tubuh Zidane.
“Kemari, atau kau akan menyesalinya!”
“Tunggu! Aku Steiner, akan mengantar Tuan Putri
kembali ke kastil!” ujar Steiner, berjalan didepan Zidane, bermaksud melindungi
Tuan Putri-nya.
“Hehehe! Kaukira aku akan peduli? Aku takkan
membiarkan kalian menghalangi misiku!”
Pertarungan singkat pun terjadi. Zidane yang
sebelumnya pernah mengalahkan No.1 dipertarungan pasti tidak akan kewalahan
menghadapi No.2, ditambah lagi dengan dibantu Steiner, Dagger, dan Vivi.
Cukup beberapa menit bertarung, dan seperti yang
sudah diperkirakan, Black Waltz No.2 dapat dikalahkan dengan mudah oleh mereka
berempat.
“Apakah ibuku benar-benar mengirimnya untuk
menangkapku?” ucap Dagger sedih, mundur beberapa langkah setelah pertarungan
itu selesai.
“Itu tidak mungkin! Tidak ada alasan untuk
mempercayai kata-kata dari seorang bandit. Dia hanya seorang kriminal lain yang
menggunakan segala cara untuk menangkap Tuan Putri.” Steiner benar-benar
berusaha untuk bersikap positif dan terus melindungi Tuan Putri-nya.
“Apa aku masih kurang berhati-hati?”
“Anda adalah asuhan bangsawan tidak akan bisa ditipu
dengan mudah.” Steiner menjawab itu dengan hati-hati, dan juga dengan maksud
menenangkan Tuan Putri-nya.
“Itu tidak benar. Kau hanya belum pernah melihatnya,
Dagger berusaha sangat keras. Justru kaulah satu-satunya masalah! Berjalan
kesana kemari, berteriak ‘Tuan Putri’ kemana-mana...” Zidane berjalan mendekati
Dagger yang terlihat lesu disana. Zidane sudah benar-benar merasa kesal dengan
kelakuan Steiner. “...sekarang, Dagger, tentang menyeberangi perbatasan...”
“Ya?”
“Kenapa kita tidak menumpang di kapal ini?”
tawarnya, itu memang memungkinkan, namun Zidane sendiri tidak yakin apakah
kapal ini akan benar-benar menuju Lindblum, atau itu hanya tipu muslihat yang
dibuat Steiner.
“Boleh, Lindblum tidak akan terlalu menakutkan
dengan kapal –maksudku, tidak akan jauh,” Dagger tersenyum mendengar perkataan
Zidane, perlahan ia berdiri lagi.
“Tunggu disini, aku akan bertanya pada mereka apakah
kita dapat menumpang.” Zidane hendak pergi, namun dihalangi oleh Steiner.
“A-aku yang akan pergi!” dengan sigap Steiner
menawarkan diri, hmm, ini tidak biasa, lagi.
“Oh, benarkah? Bagaimana caramu?”
“Itu bukan urusanmu! Dan ingat, aku melakukan ini
hanya untuk Tuan Putri!” dengus Steiner sedikit kesal dan berlalu begitu saja.
“Steiner...dia begitu keras kepala tentang kembali
ke kastil sebelumnya...” Dagger berhenti sejenak sambil menatap Steiner pergi
“...sebuah kapal yang penuh berisi dengan tong seperti yang aku lihat di
kastil... Steiner berpikir akan pergi...” kemudian dia teringat akan sesuatu,
perkataan Steiner “...Zidane, apakah kapal ini akan benar-benar menuju
Lindblum?”
Zidane menggeleng tidak pasti “Tidak. Kemungkinan
kapal ini akan membawa kita ke Alexandria.”
“Tapi kenapa? Bukankah kau barusan berkata kita
seharusnya menumpang kapal ini?” tanya Dagger bingung mencerna perkataan yang
dikatakan oleh Zidane sebelumnya.
“Ya, aku tahu. Percayalah padaku!” sebuah jempol ia
acungkan kepada Dagger, diikuti dengan senyuman lebar.
“...Zidane.” Vivi yang daritadi hanya diam melihat
mereka akhirnya berbicara, lirih, suaranya ragu untuk berkata.
“Ada apa, Vivi?” Zidane yang merasa dipanggil
langsung berjalan mendekati Vivi, memegang bahunya.
“Apakah boneka-boneka yang dibuat dibawah tanah
tadi... Apa kau berpikir mereka terlihat sama sepertiku?” tanya Vivi ragu,
menatap mata Zidane dengan harapan.
“Tidak. Benda yang kausebut ‘mereka’ itu hanya
boneka, Vivi,” Zidane menolak pernyataan dan pertanyaan Vivi dengan sebuah
gelengan. Sesaat setelah itu mesin kapal barang itu mulai terdengar menyala
“Kapal ini akan segera terbang. Apa yang sedang dilakukan Steiner?” pikir
Zidane sambil membayangkan apa yang sedang dilakukan oleh Steiner, “Baiklah,
kita harus segera naik, Dagger.”
“Naik pada kapal yang tidak akan menuju Lindblum?!”
Dagger tidak percaya, apakah Zidane benar-benar akan membawanya ke Lindblum
atau malah membawanya kembali ke Alexandria.
“Aku tidak punya waktu untuk menjelaskannya
sekarang,” ucap Zidane, dia berjalan menuju tangga untuk menaiki kapal,
melambai kepada Dagger “Kesini!”
Vivi berjalan terlebih dahulu dan menaiki tangga
itu, lalu Zidane beralih kepada Dagger.
“Cepat!” ucap Zidane namun dibalas dengan sebuah
gelengan oleh Dagger “ Kau tidak perlu khawatir. Cepat, sebelum lepas landas!”
“Tapi...”
“Aku akan membawamu ke Lindblum. Aku berjanji!” ucap
Zidane ditengah suara berisik mesin yang terus mengeras.
“Baiklah, aku akan naik!” Dagger asal percaya saja
dengan perkataan Zidane karena terlalu bingung dengan semua kata-katanya, namun
ia tahu bahwa ia harus percaya Zidane akan membawanya ke Lindblum. Ia berjalan
mendekati tangga itu dan mulai menaikinya, disusul oleh Zidane.
Kapal barang itu akhirnya terbang meninggalkan Dali.
Vivi kemudian masuk kedalam kapal, meninggalkan Zidane dan Dagger yang masih
berada diujung kapal yang baru saja terbang.
“Ayolah, aku tidak sengaja.” mohon Zidane menatap
Dagger, sebuah kecelakaan kecil
terjadi saat menaiki tangga beberapa saat sebelumnya.
“Tolong, hentikan.” jawab Dagger acuh, ia terlihat
risih dengan perkataan Zidane.
“Nah, nada bangsawanmu muncul lagi.” ledek Zidane
pada Dagger.
“Kau tak apa, Vivi?” tanya Dagger setibanya di dalam
kapal, menemui Vivi yang berdiri tidak jauh dari pintu.
“Aku serasa seperti akan dihisap oleh langit.”
nadanya setengah mual, mungkin pusing.
“Ayo kita masuk,” ajak Dagger, Vivi berjalan masuk
terlebih dahulu. “Aku percaya padamu, Zidane.” ucap Dagger meninggalkan Zidane
diluar.
“Hmm,” Zidane berpikir sejenak, dia merasa ada
sesuatu yang salah dengan perkataan Dagger barusan. Sepertinya dia belum sepenuhnya percaya padaku. Mungkin dia akan
menghadiahiku satu atau dua ciuman jika aku berusaha lebih keras lagi.
“Baiklah.” dia kemudian memasuki ruangan.
“Zidane!” teriak Dagger cukup keras ketika ia sedang
membuka pintu yang baru setengahnya terbuka.
Wow, secepat itu? “Ada apa? Ada yang salah?”
“Vivi...” Dagger menunjuk Vivi yang berada didekat
boneka yang terlihat sepertinya –seperti yang ia lihat dibawah tanah tadi.
“Wow! Mereka hidup, mereka berjalan kesana-kemari!”
ucap Zidane terkesima melihat boneka itu terlihat hidup didepannya. “Jadi Mage itu dibawa kembali kemari untuk
membawa yang baru?”
Zidane dan Dagger melihat Vivi dengan seksama, ia
mencoba berbicara dengan salah satu dari mereka yang sedang melakukan sesuatu
pada mesin kapal itu. Namun kelihatannya nihil.
“Vivi! Apa kau sudah dapat berbicara kepada mereka?”
Zidane menghampiri Vivi, tampang Vivi memelas melihat wajah excited Zidane.
“Tidak...” ia melihat kembali ke Mage itu “Ini tidak seperti...” ia
memberi jeda “...mereka melihatku,” lalu dia kembali memandang Zidane dengan
wajah memelasnya “Aku sudah mencoba, namun, mereka tidak menghiraukanku.”
“Vivi...” Zidane memegang pundak Mage kecil itu dengan lembut “Aku akan
ke anjungan sebentar. Aku mau memutar kapal sebelum kapal ini tiba di kastil.”
Zidane berjalan meninggalkan keduanya disana,
sebelum menghilang di tangga, Zidane menoleh kearah Dagger yang masih berdiri
disana. “Jaga Vivi, oke?” kemudian dia menaiki tangga dan menghilang sedikit
demi sedikit.
“Kenapa semua ini terjadi? Apa yang akan kulakukan?
Aku tidak pernah semuanya akan berjalan buruk seperti ini...” Steiner meratapi
Desa Dali dari kapal, desa itu sudah hampir tidak terlihat dari tempatnya
berdiri –dek sebelah kiri. “Aku tidak percaya kapal ini terbang tanpa Tuan
Putri! Apa yang akan kukatakan pada Ratu Brahne?” dia begitu terlihat depresi
ketika kapal ini terus menjauhi Desa Dali, mengira Tuan Putri-nya tidak naik di
kapal.
“Apa yang kaulakukan? Kau hampir saja terbang tanpa
kami!” ucap Zidane setibanya disana setelah menaiki tangga lalu berjalan
sebentar.
“Itu karena... kru kapal ini...” Steriner
menjawabnya dengan pilu, namun seketika ia teringat, kenapa Zidane berada
disini? Kalau dia berada disini, apakah Tuan Putri-nya juga ada disini?
“Kenapa, kau! Mana Tuan Putri?!”
“Di ruang mesin.”
“Dia berada di dalam kapal?!” Zidane mengangguk
santai “Semuanya baik-baik saja, kalau begitu. Kapal ini akan kembali ke
kastil,” rasa depresi itu menghilang seketika, bahkan tidak tahu kemana
perginya ketika Steiner mendengar kabar bahwa Tuan Putri-nya berada di dalam
kapal “Kau akan digantung karena menculik anggota keluarga bangsawan! Nikmati
kebebasanmu selagi bisa.” ucapnya.
Zidane berjalan ke anjungan tanpa menghiraukannya
sama sekali.
“Akhirnya! Ratu Brahne pasti akan sangat puas.
Bagaimanapun, Tuan Putri tak akan selamat tanpa perlindungan pencuri itu. Aku
akan membuat petisi untuk hukuman gantung. Ya, itu akan menjadi sesuatu yang
terhormat!” Steiner tersenyum sendiri karena perkataannya sambil membayangkan
apa yang akan terjadi selanjutnya setibanya mereka di kastil, “Tapi itu karena
kru tidak mendengarkan! Aku harus berlari kebelakang untuk mengeek keberadaan
Tuan Putri. Ah, benar. Ini adalah tugasku sebagai seorang ksatria!”
Kemudian kapal itu bergoyang, merubah arah
tujuannya.
“Apa-apaan-!”
Steiner menunda tugasnya untuk mengecek Tuan
Putri-nya di ruang mesin dan berlari menuju anjungan. Menemukan Zidane berada
dalam kendali kapal –dalam arti, dia sedang menyetir kapal dibelakang kemudi!
“K-k-k-k”
“Apa? Ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokanmu?”
Zidane bertanya santai ketika Steiner tiba disana, terbata-bata akan mengatakan
sesuatu.
“Kau orang bodoh yang kurang ajar!” dia menunjuk
Zidane dengan jarinya, emosinya terbakar karena Zidane terlihat seperti orang
yang tak punya dosa dihadapannya “Putar kembali kapalnya!” perintahnya dan
mencoba untuk memukulnya, namun Zidane dengan mudah menghindar, menggantung
kepipa yang berada di langit-langit
anjungan. “Aku akan memotong kepalamu untuk itu!” dengus Steiner keki. Setelah
itu dua Mage datang ke anjungan.
“Hei, kukira kita membuat mereka marah.” ucap Zidane
melihat kedua Mage yang berdiri
diambang pintu anjungan.
“Tapi mereka tidak merespon hingga sekarang...
–Kaulah yang membuat kekacauan ini!” ucap Steiner pada Zidane dengan nada yang
lebih tinggi lalu kembali menatap kedua Mage
itu dengan penuh penyesalan “Aku minta maaf! Kumohon selagi aku menahan dia,
putarlah kapal ini,” namun tidak ada respon dari kedua Mage itu, malah keduanya meninggalkan mereka berdua disana menuju
lokasi terdepan kapal. “Apa ada yang salah?”
Sesaat setelahnya, Vivi dan Dagger datang, melewati
anjungan dan menghampiri kedua Mage itu.
Ternyata Black Waltz No.3 terbang
mengikuti mereka sedari tadi.
“Tidaaaak!” Vivi berseru ketika melihat No.3 yang
berada di kapal kecilnya, terbang bersebalahan dengan kapal barang ini.
Kemudian No.3 mengeluarkan sebuah sihir, petir menyambar Vivi, namun meleset
sedikit, ia terjatuh karena guncangannya.
“Vivi! Apa kau baik-baik saja?” Dagger membantu Vivi
berdiri dan mundur beberapa langkah. No.3 mendaratkan kapal kecilnya di area
kosong di lokasi terdepan.
“Jadi, No.2 telah dikalahkan oleh sekumpulan bocah!
Namun kalian tidak dapat menandingiku!” ucap No.3 setelah turun dari kapalnya,
diikuti dengan suara tawa yang arogan “Tuan Putri, tetaplah disana selagi aku menghabisi
bocah ini!” ucapnya memandang Vivi, namun kedua Mage melangkah kedepan, menutupi Vivi dan Dagger. “Kau
melindunginya? –Tidak masuk akal. Kau tidak berbeda dengan boneka-boneka tanpa
pikiran ini! Apa yang dapat kau lakukan?” Vivi dan Dagger kemudian lari dari
sana menuju anjungan –tempat Zidane dan Steiner berada.
No.3 murka. Ia mengeluarkan sihirnya. Lightning bolt kearah kanan dan kiri.
Kedua Mage yang melindungi Vivi dan
Dagger terkena petir itu, Mage-mage
yang lain melayang terkena sihirnya. Tong-tong Black Mage melayang, meledak di udara, menyisakan pecahan kayu yang
terlempar. Vivi menatap ngeri bagaimana No.3 membantai Black Mage, Dagger berusaha membuatnya tenang dengan kata-kata yang
dapat ia berikan.
Zidane, Dagger, Vivi dan Steiner menyaksikan betapa
jahanya No.3 yang menyilangkan kedua tangan didepan dadanya dengan mata merah
yang menyala seperti api panas.
“Kekejaman macam apa itu!” seru Steiner.
“...Aaaahhh!” Vivi berteriak, ia sudah tidak tahan
dengan kelakukan No.3. Vivi berlari tepat kearah tempat No.3 berdiri.
“Master Vivi,
aku akan membantumu!” ucap Steiner yang mengikuti langkah kaki Vivi.
“Hei, kalian!” Zidane berteriak kepada kedua orang
yang menuju kearah No.3, “Dagger!” panggilnya.
“Y-ya?”
“Kami akan menangani No.3. Kau setirlah kapal ini,”
pandangannya beralih kearah No.3 lagi “Akan terjadi sesuatu yang lebih
berbahaya mulai dari sekarang. Tapi ini tidak begitu terlambat untuk kembali,”
Zidane mengalihkan pandangannya menatap Dagger yang menatapnya dengan yakin
“Kau dapat kembali ke kastil atau menyeberangi Gerbang Selatan dan menuju
Lindblum. Ini pilihanmu!” Dagger mengangguk menyertai akhir kalimat Zidane.
Zidane memberikan Dagger pilihannya sendiri untuk
kemana ia akan menuju. Dan tentu saja, ia pasti memilih ke Lindblum daripada
kembali ke Alexandria.
“Aku akan bersamamu kemanapun kau ingin pergi! Tapi
coba untuk tidak menabrakkan kapalnya!”
Dagger mengangguk lagi sembari Zidane meninggalkannya
dan berjalan bergabung dengan Vivi dan Steiner.
“Hati-hati, Zidane!” teriak Dagger.
Zidane menoleh dengan senyuman simpulnya, ekspresi
percaya diri muncul dalam dirinya “Aku akan baik-baik saja.” kemudian ia
beralih menatap No.3.
“Kenapa? Kenapa kau melakukan hal seperti ini?!
Bukankah mereka temanmu?!” dengus Vivi kesal.
“Bodoh! Apa aku terlihat seperti Black Mage rendahan?”
“Walaupun mereka bukan sekutumu, apa yang kau
lakukan itu sudah keterlaluan!” Steiner ikut mendengus kesal mendengar
kata-kata No.3 barusan. No.3 tertawa lepas.
“Tak perlu khawatir terhadap mereka, mereka akan
diproduksi lebih banyak lagi dari sekarang!”
“Kau ini apa?” Zidane datang dan bergabung, menatap
No.3 dengan penuh ketidakmengertian.
“Ah, semua pengawal Tuan Putri sudah berkumpul!
Begitu cocokny-”
“-Jawab aku!” Zidane menyela kata-kata No.3.
“Jawabanku tidak akan merubah sesuatu, karena kalian
sebentar lagi akan mati!” suara tawa mengikutinya lagi “Aku akan memusnahkanmu
yang menghalangiku!”
Pertarungan terjadi kembali, dengan musuh yang lebih
kuat. Ketiga orang itu berpencar memisah, bertujuan untuk membuat No.3 repot.
Namun ia mengeluarkan sihir apinya, membuat sebuah barikade agar mereka tidak
bisa lewat.
Zidane berpikir, memutar otak untuk dapat menembus
barikade api yang No.3 buat, satu-satunya yang terlintas saat itu hanya imajinasinya
saja.
“Baiklah, bajingan, kini kau ada ide untuk
mengalahkan yang satu ini?” Steiner berteriak kepada Zidane yang terlihat
sedang berpikir, tanpa menghiraukan No.3 yang dapat kapan saja menyerang bahkan
membunuhnya.
“Ada, namun aku tidak tahu apakah akan berhasil!” ia
tidak bisa berpikir lagi selain itu.
“Katakan saja!”
Berpikir sejenak, merangkai kata untuk ia ucapkan
kepada Steiner, langkah krusial ini mungkin memiliki kesempatan 50/50, berhasil
atau gagal akan memberi dampak kepada nyawa mereka. Mungkin akan menjadi akhir
dari petualangan yang ia dambakan selama ini, mungkin juga akan menjadi awal
petualangannya.
“Kau percaya pada Vivi, ‘kan?” ia membuka mulut,
sebuah pertanyaan. Vivi menoleh ke arah Zidane ketika ia menyebutkan namanya.
“Tentu saja! Ia adalah Master!” Steiner menjawab dengan semangat di kedua matanya, dengan
mengepalkan tangannya kirinya dan memandang Vivi.
“Mungkin kalian berdua bisa menggabungkan kekuatan
kalian, enhancement, atau apalah itu
sebutannya, namun aku tidak yakin rencana ini akan berhasil.” Jelas Zidane, ada
tertampak sedikit keraguan di ucapannya itu. Ini akan mencelakakan mereka berdua jika gagal.
“Bagaimana caranya itu, Zidane?” tanya Vivi,
nampaknya ada sebuah respon positif dari mage
kecil itu, entah karena kehabisan ide atau pasrah.
“Berikan kekuatan sihirmu ke pedang Steiner, namun
kau harus memperhatikan komposisinya agar sihirmu tidak mencelakai atau
memiliki hasil negatif, sebisanya berikan tenaga positif, “ Zidane menjelaskan,
entah ini sebuah pengetahuan atau
hanya sebuah imajinasi yang ia miliki
“Dan ketika itu, pedang Steiner mungkin akan memiliki enhancement, gunakan itu untuk menyerang barikadenya.”
Vivi mengerti, namun ragu, ia belum pernah mencoba
apa yang Zidane katakan kepadanya. Ia memejamkan matanya untuk berkonsentrasi,
kali ini ia tidak boleh mengecewakan semua yang memiliki harapan kepadanya. Ia
memiliki beban di pundaknya, beban yang ia rasa cukup berat.
“Kau brengsek!” teriak No.3 setelah serangan yang
dilancarkan Vivi yang kemudian kolaps dan hampir jatuh dari kapal yang ia
naiki. No.3 terbang, dengan luka di seluruh tubuhnya, ia tidak bisa mempercayai
akan kalah oleh mereka bertiga “Aku nyata hanya untuk membunuh!” kemudian ia terbang
menjauh.
“Ada berapa Black
Waltz yang harus kita kalahkan?! Ini lama-lama menjadi semakin aneh!”
Steiner protes sambil memandang No.3 pergi, lalu memandang Zidane yang sedang
memegangi Vivi.
“Aku rasa dia adalah yang terakhir.” Tanpa memandang
Steiner, pandangannya tetap tertuju kepada Vivi yang masih kolaps.
“Bagaimana kautahu?! Apakah kau…?!” menanggapi
kata-kata Zidane, ia merasa seperti Zidane mengetahui sesuatu mengenai Black Waltz.
“Ia mengatakan ‘Waltz’,
‘kan? Apa kau tidak berpikir nomor tiga akan menjadi yang terakhir?” ia
menjelaskan singkat.
“?” Steiner tidak mengerti, namun sepertinya itu
cukup masuk akal juga.
Aku dapat melihat Gerbang Selatan… Dagger akan bisa melewatinya! Dalam hati Zidane yakin bahwa Dagger akan bisa melewati Gerbang Selatan,
meski kecil kemungkinan karena Gerbang itu akan tetap dibuka ketika kapal ini
memasukinya.
Zidane kembali memandang Vivi yang sudah tersadar
dan bertanya-tanya dalam pandangan matanya. Vivi kemudian memandang salah satu
topi Black Mage yang terjatuh di
pojok kapal dengan penuh rasa putus asa pada dirinya sendiri, meski ia tahu ia
berhasil mengalahkan No.3. Melihat itu, ZIdane kemudian meninggalkan Vivid an
Steiner lalu menuju anjungan untuk melihat Dagger.
“Apa kau melihat Gerbang Selatan?” Zidane bertanya
ketika memasuki anjungan, Dagger masih sibuk dengan pekerjaannya, mengemudikan
kapal.
“Ya!” jawab Dagger, dengan semangat melihat Gerbang
Selatan sembari sesekali melirik Zidane.
“Gerbang Selatan adalah gerbang raksasa yang dibuat
khusus untuk kapal, tapi…” Zidane berpikir sebelum melanjutkan kata-katanya,
ini akan sedikit sulti melewati gerbang itu, kecil kemungkinannya untuk
selamat. “…bermanuver melewati gerbang itu bisa menjadi sangat susah. Apa kau
ingin aku untuk melakukannya, Dagger?” Zidane kemudian menawarkan jasanya untuk mengemudikan kapal, namun
ditolak cepat oleh Dagger dengan sebuah gelengan.
“Aku bisa melakukannya sendiri…” lirih, mungkin ia
juga ragu-ragu, namun itulah yang ia miliki sekarang. Di satu sisi ia tidak
ingin mengecewakan mereka, di satu sisi ia ingin membuktikan bahwa ia bisa.
“Baiklah,” ia membiarkan Dagger melakukannya, ia
percaya bahwa Dagger tidak akan membawanya mati hari ini. “Kita tidak mempunyai
izin, mereka mungkin akan menutup gerbangnya untuk kita. Tetapi itu bukan
masalah. Penjagaannya memang sudah sangat lemah ketika aku datang melewatinya
dengan menggunakan Prima Vista.” Zidane menjelaskan sedikit hal kepada Dagger
untuk jaga-jaga ia harus tahu “Ini akan baik-baik saja, Kapten Dagger!”
“Roger!”
Zidane kembali memandang-mandang kapalnya, sudah
sedikit rusak karena pertarungan yang terjadi tadi. “…kapal ini sudah tua,
namun mesinnya masih memiliki kekuatan.”
Lalu tiba-tiba saja Steiner datang dengan
tergesa-gesa, raut wajahnya khawatir—yang ditujukan untuk Tuan Putri-nya, dan
juga marah—yang ditujukan untuk Zidane.
“Kita harus kembali!” Steiner sangat panik saat itu,
berteriak kepada kedua orang yang berada di anjungan, “Tuan Putri! Kita harus
memutar kapalnya, kumohon!” dengan pandangan memelasnya, Steiner meminta Tuan
Putri untuk memutar kapalnya “Black Waltz
menuju arah kita, ia mungkin akan menabrak kapal!” tetap dengan kepanikannya,
ia mengecek lagi keluar kemudian masuk lagi ke anjungan, No.3 memang
mengejarnya menggunakan kapal kecil, mungkin untuk balas dendam.
Zidane yang penasaran kemudian keluar sebentar,
kemudian masuk lagi “Dagger, Rusty benar! Ia menuju ke arah kita!” ia menjeda
kalimatnya sebentar “Hajar saja! Lewati Gerbang Selatan!” dengan kepolosannya
ia menyemangati Dagger, sedangkan Steiner semakin panik mendengar kata-kata
yang terlontar dari mulut Zidane, benar-benar
bajingan kecil!
Dengan menunjuk-nunjuk Zidane yang berlindung
dibalik Dagger, Steiner terus kesal “Jangan gila! Bagaimana jika mereka menutup
gerbangnya untuk kita?!”
“Tidak ada acara untuk mengakali dia di dalam kapal kargo seperti ini. Kita akan memasuki gerbang
dengan cepat sebelum mereka menutupnya dan itu akan membunuhnya. Hanya itu satu-satunya cara kita.”
Zidane kemudian melihat tuas di sebelah Steiner “Rusty! Naikkan tuas yang
berada disebelahmu!” dengan menggerutu Steiner menaikkan tuas itu, membuat
kapalnya semakin cepat “Dagger, tetap berada di jalur apapun yang terjadi!” bak
seorang kapten ia mengkomandoi awak kapalnya.
“Baik!”
“Aku tahu kita bisa melewatinya!” ucap Zidane dengan
semangat yang membara.
Dengan kecepatan penuh, kapal yang dikendalikan oleh Dagger melaju sangat
cepat, meski mesinnya sudah tua, namun seperti dugaan Zidane, kapal ini masih
mempunyai kekuatan.
Di luar, sementara kapal kecil yang dikendarai Black Waltz masih terus mengejar dan semakin mendekat, Vivi masih
saja terdiam di satu tempat dimana ia tetap melihat topi yang terjatuh di pojok
kapal. Black Waltz itu mencoba
menghampiri Vivi yang berada di pandangannya. Dan ketika Black Waltz mencoba mendekati Vivi, topi yang dipandangi Vivi
terbang, bersamaan dengan itu Black Waltz
merapalkan mantera dan mengeluarkan sihir petir yang terlihat cukup kuat, namun
Vivi secara refleks menyerang balik dengan sihir api yang tidak kalah kuat
dengan petir milik Black Waltz itu.
Sihir mereka saling bertemu, keduanya terdorong karena kekuatan kedua mage itu yang bertemu, kapal Black Waltz oleng, sihir api milik Vivi
mengenai kapalnya dan percikan api tercipta, entah bagaimana Black Waltz itu tiba-tiba saja panik.
Lain dengan Vivi yang kolaps lagi untuk kedua kali setelah pertarungan tadi,
Zidane dengan cepat berlari keluar anjungan dan menangkap Vivi yang akan
terjatuh dari kapal karena tidak sadarkan diri.
Black Waltz itu rupanya tidak juga
menyerah, setelah memadamkan percikan api itu, ia kembali mengejar kapal yang
dikendarai Dagger. Kali ini kapal besar itu memasuki Gerbang Selatan, dan
seperti yang Zidane duga, mereka menutupnya. Namun dengan waktu yang cukup Zidane
dan Dagger sendiri percaya bahwa mereka bisa melewatinya.
Black Waltz mendekat lagi, kali ini ia
mencoba mengeluarkan sihir yang cukup hebat, saking besarnya kekuatan sihir
yang coba ia keluarkan, ia tidak menyadari bahwa apinya membakar kapalnya sendiri.
Momen itu berlalu begitu cepat, kapal Black
Waltz terputar dan meledak di dalam
gerbang yang menutup selagi kapal yang dikendarai Dagger berhasil melewati
gerbang itu.
Mereka kembali melanjutkan perjalanan mereka menuju Lindblum, masih
dengan Dagger yang berada di balik kemudi kapal. Meski kapal terlihat sudah
separuh rusak, ternyata masih bisa membawa mereka.
Sangat sunyi, tidak ada suara yang tercipta diantara keempat orang yang
tersisa diatas kapal tersebut, hanya mesin kapal yang terus menderu seiring
mereka mendekati Lindblum.
“Kukira kita terlalu menekannya terlalu keras.” Zidane membuka percakapan
sembari melihat-lihat kondisi kapalnya namun masih berada dalam anjungan. Vivi
sudah tersadar dan hanya menyandar di bagian belakang anjungan, masih di
ruangan yang sama. “Kenapa diam semua?” Zidane lalu bertanya, kebingungan
dengan sikap semua orang yang tidak mengatakan apapun. “Kita hampir sampai!
Ayolah, semangat!” Zidane mencoba menyemangati mereka dengan mengepalkan tangan
di udara, namun ia hanya terlihat seperti orang bodoh.
“Gerbang Selatan mengalami kerusakan yang cukup parah…” ucap Dagger,
wajahnya masih terlihat murung sejak keluar dari gerbang itu “Itu semua
salahku, ‘kan?”
“Jangan khawatir, mereka akan memperbaikinya dengan cepat.” Zidane
mencoba menyemangati Dagger yang terlihat sedih, namun malah mendapat bentakan
dari Steiner yang berada di sebelah Dagger.
“Kau idiot! Kapal kargonya rusak, kita kehilangan semua barang bawaan,
dan Gerbang Selatan hancur!” Steiner dengan amarahnya menunjuk-nunjuk Zidane
dengan geram “Aku tidak percaya bahwa aku ikut berperan dalam bencana ini!”
“Steiner.” Suara sayu Dagger menenangkan Steiner yang langsung mengganti
ekspresinya.
“Ya, Tuan Putri!” jawabnya dengan tangan kanan disilangkan ke bahu kiri.
“Aku tidak bermaksud membuatmu terlibat… Namun kau sudah menyelamatkan
kita.” Dagger mencoba tersenyum dalam kesedihannya, “Aku berterima kasih
padamu.” Tambahnya.
“Betapa kata-kata yang baik! Aku tidak pantas menerimanya!” Steiner
mundur satu langkah dan menundukkan tubuhnya, kemudian berdiri lagi “Kini aku
sudah memutuskan! Aku berjanji untuk melindungimu, Tuan Putri, hingga kita
kembali ke kastil!”
Zidane tersenyum simpul memandang Steiner lalu beralih memandang Dagger
“Bagaimana perasaanmu dengan itu, Dagger? Dia akan mengikutimu hingga ke ujung
dunia.” Zidane terkekeh setelah kalimatnya.
“Tidak apa-apa, Zidane” Dagger mencoba membuat senyumannya kepada Zidane
sebagai ungkapan terima kasih, namun masih terlalu sayu. “Hei, aku bisa melihat
gerbang utama Lindblum!”
Steiner kemudian langsung memandang apa yang dipandang Tuan Putrinya “Itu
Kastil Lindblum?! Betapa raksasanya…!” ucapnya dengan perasaan wah sembari memandang kastil yang berada
di depannya.
“Kota Lindblum berada di dalamnya.” Ucap Dagger.
Kurasa aku dan Dagger akan
berpisah ketika kita sampai di Lindblum… Tepat ketika kita baru saja mulai
saling mengenal…
Batin Zidane berkata, terasa begitu sesak untuk sesaat.
“Begitu…” ucap Steiner.
“Zidane…” suara Vivi kemudian muncul memecah ketiga suara itu, ia berdiri
dan menatap Zidane “Mereka… black mage
dan aku…” ia mencoba mengucapkan apa yang ingin ia ucapkan secara terbata-bata
“Apakah kita… sama…?”
Zidane tidak berkata apapun, tidak dapat berpikir apapun saat itu, begitu
juga dengan Dagger yang sedih memandang Vivi dengan pertanyaannya barusan.
“Aku tidak mengerti, Master Vivi.” Steiner membuka mulut, mencoba
bertanya apa maksud pertanyaan Vivi “Apa sebenarnya yang menjadi masalahnya?”
“…Aku tidak tahu.” Jawabnya sendu, pandangannya tidak jelas mengarah
kemana.
“Master Vivi, mengapa para black
mage tersebut sama denganmu? Dan mengapa itu menjadi masalah jika mereka
sama denganmu? Ucap Steiner, ia sendiri mencoba mencerna apa yang dimaksud oleh
Vivi.
“Rusty benar!” ucap Zidane dengan semangat, berusaha membuat nyaman Vivi
yang sedang sedih. “Kau adalah seorang individual, apapun yang terjadi, Vivi!”
Pandangan Vivi tiba-tiba saja jelas, ia memandang Zidane dan merasa
tersemangati olehnya “Be-benar!”
“Ayo kita keluar dari anjungan, Vivi!” ajak Zidane yang akan berjalan
keluar anjungan sebelum kakinya terhenti oleh pertanyaan Vivi lagi.
“Mengapa?” tanyanya bingung.
Zidane tersenyum membalikkan badan menatap mage kecil dengan mata kuning menyala itu “Kau harus melihat
Lindblum dari atas! Itu hal terbaik yang bisa kaudapatkan dari Lindblum!”
dengan semangat khasnya, ia memandang ke depan lagi, “Lihat, Gerbang Falcon
berada tepat di depan kita!”
To Be Continued.