(Image: artstation.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
28 Juli 2018
Memulai perang dunia ketiga—atau lebih tepatnya perang
dunia maya pertama itu bukanlah hal yang sepele, kebenaran bahwa ketika HP-mu mencapai angka nol kau akan mati
dan tidak lagi di respawn seperti game RPG pada umumnya itu menjadi
kendala utama para player, dan kau
juga akan merasakan ketakutan yang tidak normal. Karena singkatnya, perang di
dunia maya ataupun dunia nyata itu sama saja.
Hanya perlu beberapa langkah lagi untuk mewujudkan
perang itu, tapi pada dasarnya tanpa adanya Kaum Pemberontak pun atau yang bisa
disebut dengan Uprising Force atau The Resistance, perang itu akan tetap
berlangsung.
Hal pertama yang harus aku lakukan adalah memastikan
tentang kabar guild yang kudengar
dari Kyle. Di mana aku perlu mendapatkan informasi itu? Jawabannya hanya ada
satu: Walnut.
Aku bahkan tidak perlu mengiriminya pesan untuk dapat
bertemu dengannya, karena dasarnya aku hanya tinggal mampir di Arcelius Cafe. Sudah pasti dia berada di sana.
Dan mungkin kalau aku mengiriminya pesan, dia akan menghindar, karena, kau
tahu, sekarang informasi sudah tidak gratis lagi.
"Nanti temani aku ke suatu tempat setelah kita ke
markas yang kausebutkan." ucapku pada Casey yang berjalan sedikit di belakangku,
tanpa melihatnya.
"Ke mana?" tanyanya.
"Ikut saja, nanti tau sendiri." jawabku acuh. Aku memang tidak bisa fokus
bertemu Kaum Pemberontak saat ini, aku hanya memikirkan tentang Violet dan guild-guild itu.
"Hmm."
Tak lama berjalan, kami berdua tiba di tempat yang
dibicarakan oleh Casey pada hari sebelumnya. Tempatnya cukup bagus digunakan
sebagai markas karena bangunannya dibuat sedemikian rupa hingga terkesan
menyatu dengan sekitarnya. Sebuah benteng tak terlihat.
Dia mempercepat jalannya ketika akan sampai di depan
pintu utama rahasia yang aku tidak menyangka bahwa itu adalah pintu masuk.
"Ini tempat untuk orang-orang penting saja,"
ucapnya. Kami memasuki lorong yang cukup sempit dan gelap di sana "Jadi di
sini hanya ada segelintir orang saja," lanjutnya, kemudian dia berhenti
tepat sebelum percabangan jalan di depan kami. "Hanya petinggi yang
berkepentingan dan anggota guildku
yang menjadi pemberontak."
Aku sedikit terpancing pada akhir kalimatnya, kutepuk
bahunya dan berhenti berjalan "Apa nggak bahaya bawa anggota? Gimana kalo salah satu dari mereka itu mata-mata?" tanyaku curiga
"Lalu apa tidak ada kegiatan guild?"
lanjutku.
"Tenang aja,
lo nggak usah khawatir gitu." dia tersenyum menoleh ke arahku
dan melanjutkan langkah kakinya. Di sini memang gelap, namun dia terlihat hafal
betul ke mana langkah kaki itu dibawa.
"Yakin?"
Dia mengangguk, memang, sih, dia orang yang sangat
teliti, tapi tidak mungkin kalau dia tidak pernah kecolongan, pasti ada celah
yang bisa terlihat.
"Hmm."
Tak lama berjalan di lorong gelap yang lebih seperti
labirin itu, di ujung kami menemukan sebuah pintu kecil, itulah pintu masuknya.
Rupanya dia membuat bangunan ini dengan cukup matang. Jika hanya tahu pintu
masuknya saja pasti akan sia-sia, karena ada labirin di dalamnya.
Pintu kecil itu dibuka, ada beberapa orang di sana.
Orang yang tidak kukenal sama sekali, bahkan satu dari mereka pun tidak ada
yang kukenal.
"Yo!"
Casey melambai pada mereka yang perhatiannya teralihkan ketika dia membuka
pintu ini. Ada enam player di sini,
ditambah dua -aku dan Casey.
"Siapa itu?" ucap seorang yang sedang
berkutat dengan senjatanya, hanya menoleh sekejap tanpa memperhatikan.
"Dia Blue." jawab Casey yang langsung
mengambil duduk di sofa dekat player
satunya, perempuan Pixie.
"Orang yang kaubicarakan itu?" dia kembali
menoleh ke arahku lagi, namun kali ini lebih lama, kemudian ia berkutat lagi
dengan kegiatannya.
"Semacam itulah."
"Dia anggota semua?" tanyaku, memandang
mereka satu persatu.
"Ya, kecuali Sniper itu." jawabnya melempar
pandangannya ke arah player berjob Sniper, salah satu job yang jarang ditemui di VRO.
"Aku Julian." ucap Sniper itu mendekatiku,
menyodorkan tangan kanannya.
"Blue."
balasku dengan anggukan, kemudian player
lain yang ada di sana memperkenalkan diri satu persatu, atau semestinya aku
yang memperkenalkan diri kepada mereka, entahlah.
Julian, player
dari Inggris. Dia berada di dalam guild
Argos dan merupakan wakil ketua di guild
itu. Tidak heran kalau dia sekarang sedang berada di sini. Dia seorang Sniper
yang mungkin terlihat hebat, itulah mengapa. Walaupun Sniper adalah
satu-satunya job yang tidak memiliki
elemen, dan hanya mengandalkan kekuatan fisik, Sniper merupakan job yang dicari ketika guild war, karena mereka pada dasarnya
pandai bersembunyi dan peluru mereka tidak dapat dihindari, namun terdapat
pengecualian untuk player yang
mempunyai stat evasion sangat tinggi.
Player yang berada di
sofa yang berkutat pada buku itu bernick
Jesse, seorang Pixie dengan job Sorcerer.
Dia merupakan anggota yang cukup lama, aku sedikit mengenalnya ketika aku masih
di Seventh Heaven. Dia player yang tidak banyak berbicara
dengan anggota lainnya di guild.
Pekerjaannya selain hunting adalah
membaca buku, buku apa saja yang dapat dia baca.
Lalu setelah itu, player
yang tadi sedang tweaking senjata,
dia Dante, Archer sepertiku. Aku
tidak mengenalnya, mungkin dia anggota yang masuk setelah aku keluar dari guild ini.
Kemudian perempuan yang berada di sebelah Dante yang
terus memperhatikannya adalah Airi. Seorang Conjurer. Wajah oriental yang bisa
kutebak dia dari Jepang. Sama seperti Dante, aku tidak mengenalnya.
Yang sedang tidur itu bernick Vallario, player asal
Swedia dengan job Exorcist, job yang juga jarang terlihat karena
kemampuan fisiknya kerap kali diragukan dan juga levelingnya yang sedikit susah, namun Exorcist sendiri sebenarnya
sangat bermanfaat jika disandingkan dengan job-job
magic. Dia juga merupakan anggota
lama, bisa dikatakan dialah salah satu pemain lama di Seventh Heaven. Aku tidak cukup mengenalnya,
namun yang kutahu dia orang yang baik dan juga ahli strategi.
Yang terakhir, perempuan dengan gaya gothic, nicknya Priss. Dengan sekali pandang aku juga dapat menebak kalau
dia berasal dari Jepang, sama seperti Airi, karena memang, orang Jepang memang
sangat mudah dikenali, apalagi perempuannya. Job Majestic, salah satu job langka
yang sangat dicari sebagai support attack
dalam raid. Dan asal kalian tahu,
harga sewa seorang Majestic berlevel
tinggi sangat mahal—bisa dibilang nomor dua termahal setelah Conjurer, terlebih
jika skill dan permainannya dalam
pertarungan sangat baik.
Setelah perkenalan singkat itu, Casey menjelaskan
beberapa hal yang perlu kuketahui, seperti untuk tidak menyebutkan nick atau guild dengan orang yang tidak dikenal, karena sistem keamanan di Seventh Heaven telah dirombak dengan
petugas-petugas baru dari pihak ketua guild,
itu yang membuat Casey membuat markas seperti ini.
"Hal kedua yang perlu lo ketahui," dia membuat jeda pada kalimatnya, sambil
menghitung sesuatu dengan jarinya, ia menatapku "Ketika ketua mengeluarkan
sebuah perintah atau misi, lo mau
lagi liburan atau hunting, lo harus dateng saat itu juga. No
matter what."
Aku mengangguk sambil mengingat-ingat itu.
"Lagi, karena Seventh Heaven sekarang menjadi guild
yang lo tau, membuat hubungan dengan guild
sekitar tidak akur, jadi gue kasi saran buat lo untuk nggak usah punya kontak sama guild-guild itu, atau gue
bisa bilang kalo hal ini udah gue anggap nggak jadi masalah buat guild nantinya."
Aku mengerti itu, aku memang tidak mempunyai banyak
koneksi sekeluarnya dari Seventh Heaven,
atau lebih tepatnya aku mengasingkan diri.
"Terus buat kelompok ini," dia memandang
keenam player lain yang ada di ruangan
ini, sambil berdeham dia melanjutkan "Kalau lo punya urusan dengan seseorang atau sesuatu, gue saranin lo hanya pergi pada tengah malam. Karena
mulai pagi sampai sore lo harus
berjaga-jaga di kastil guild."
Aku paham maksudnya yang satu ini.
"Where?"
tanyaku.
"Istanbul."
Hmm, bukan sesuatu yang mengejutkan kalau Seventh Heaven kini menguasai Istanbul, yang
mana kota itu adalah pusat lalu lintas perdagangan dan sering kali diperebutkan
sebelum aku hiatus. Sebelumnya yang kuketahui Seventh Heaven hanya memegang kota kecil di sebuah negara yang aku lupa
namanya, yang aku ingat hanya negara itu terletak di benua Amerika Selatan.
"Kapan pindahnya?"
"Ah," dia terlihat mengingat-ingat
"Kalau tidak salah beberapa saat setelah pergantian jabatan atau sekitar
itu."
"Oh, itu informasi bagus." ucapku sambil
manggut-manggut menatapnya, ini mungkin terjadi tidak hanya di Seventh Heaven saja namun tujuh guild
lainnya.
"Maksud?"
"Coba pikir, deh, delapan guild memulai perintah aneh setelah ketua diganti—“
"—dua." selanya.
"Benar, tapi kemungkinan keenam guild lainnya sama cukup besar karena
kabar burung itu tersebar di beberapa tempat."
"Lalu?"
"Mungkin guild-guild
itu juga menguasai kota besar atau setidaknya berpengaruh setelah pergantian
ketua itu, sama seperti Seventh Heaven."
"Tapi, itu masih hipotesis aja."
"Maka dari itu, gue tadi bilang kalo gue pengen lo nemenin gue buat pergi ke
suatu tempat."
"Hmm."
--