26 May 2015

Legacy - 06.1

(Image: artstation.com)

---

Legacy © Fariz Azmi


28 Juli 2018
Memulai perang dunia ketiga—atau lebih tepatnya perang dunia maya pertama itu bukanlah hal yang sepele, kebenaran bahwa ketika HP-mu mencapai angka nol kau akan mati dan tidak lagi di ­respawn seperti game RPG pada umumnya itu menjadi kendala utama para player, dan kau juga akan merasakan ketakutan yang tidak normal. Karena singkatnya, perang di dunia maya ataupun dunia nyata itu sama saja.
Hanya perlu beberapa langkah lagi untuk mewujudkan perang itu, tapi pada dasarnya tanpa adanya Kaum Pemberontak pun atau yang bisa disebut dengan Uprising Force atau The Resistance, perang itu akan tetap berlangsung.

Hal pertama yang harus aku lakukan adalah memastikan tentang kabar guild yang kudengar dari Kyle. Di mana aku perlu mendapatkan informasi itu? Jawabannya hanya ada satu: Walnut.
Aku bahkan tidak perlu mengiriminya pesan untuk dapat bertemu dengannya, karena dasarnya aku hanya tinggal mampir di Arcelius Cafe. Sudah pasti dia berada di sana. Dan mungkin kalau aku mengiriminya pesan, dia akan menghindar, karena, kau tahu, sekarang informasi sudah tidak gratis lagi.
"Nanti temani aku ke suatu tempat setelah kita ke markas yang kausebutkan." ucapku pada Casey yang berjalan sedikit di belakangku, tanpa melihatnya.
"Ke mana?" tanyanya.
"Ikut saja, nanti tau sendiri." jawabku acuh. Aku memang tidak bisa fokus bertemu Kaum Pemberontak saat ini, aku hanya memikirkan tentang Violet dan guild-guild itu.
"Hmm."
Tak lama berjalan, kami berdua tiba di tempat yang dibicarakan oleh Casey pada hari sebelumnya. Tempatnya cukup bagus digunakan sebagai markas karena bangunannya dibuat sedemikian rupa hingga terkesan menyatu dengan sekitarnya. Sebuah benteng tak terlihat.
Dia mempercepat jalannya ketika akan sampai di depan pintu utama rahasia yang aku tidak menyangka bahwa itu adalah pintu masuk.
"Ini tempat untuk orang-orang penting saja," ucapnya. Kami memasuki lorong yang cukup sempit dan gelap di sana "Jadi di sini hanya ada segelintir orang saja," lanjutnya, kemudian dia berhenti tepat sebelum percabangan jalan di depan kami. "Hanya petinggi yang berkepentingan dan anggota guildku yang menjadi pemberontak."
Aku sedikit terpancing pada akhir kalimatnya, kutepuk bahunya dan berhenti berjalan "Apa nggak bahaya bawa anggota? Gimana kalo salah satu dari mereka itu mata-mata?" tanyaku curiga "Lalu apa tidak ada kegiatan guild?" lanjutku.
"Tenang aja, lo nggak usah khawatir gitu." dia tersenyum menoleh ke arahku dan melanjutkan langkah kakinya. Di sini memang gelap, namun dia terlihat hafal betul ke mana langkah kaki itu dibawa.
"Yakin?"
Dia mengangguk, memang, sih, dia orang yang sangat teliti, tapi tidak mungkin kalau dia tidak pernah kecolongan, pasti ada celah yang bisa terlihat.
"Hmm."
Tak lama berjalan di lorong gelap yang lebih seperti labirin itu, di ujung kami menemukan sebuah pintu kecil, itulah pintu masuknya. Rupanya dia membuat bangunan ini dengan cukup matang. Jika hanya tahu pintu masuknya saja pasti akan sia-sia, karena ada labirin di dalamnya.
Pintu kecil itu dibuka, ada beberapa orang di sana. Orang yang tidak kukenal sama sekali, bahkan satu dari mereka pun tidak ada yang kukenal.
"Yo!" Casey melambai pada mereka yang perhatiannya teralihkan ketika dia membuka pintu ini. Ada enam player di sini, ditambah dua -aku dan Casey.
"Siapa itu?" ucap seorang yang sedang berkutat dengan senjatanya, hanya menoleh sekejap tanpa memperhatikan.
"Dia Blue." jawab Casey yang langsung mengambil duduk di sofa dekat player satunya, perempuan Pixie.
"Orang yang kaubicarakan itu?" dia kembali menoleh ke arahku lagi, namun kali ini lebih lama, kemudian ia berkutat lagi dengan kegiatannya.
"Semacam itulah."
"Dia anggota semua?" tanyaku, memandang mereka satu persatu.
"Ya, kecuali Sniper itu." jawabnya melempar pandangannya ke arah player berjob Sniper, salah satu job yang jarang ditemui di VRO.
"Aku Julian." ucap Sniper itu mendekatiku, menyodorkan tangan kanannya.
"Blue." balasku dengan anggukan, kemudian player lain yang ada di sana memperkenalkan diri satu persatu, atau semestinya aku yang memperkenalkan diri kepada mereka, entahlah.
Julian, player dari Inggris. Dia berada di dalam guild Argos dan merupakan wakil ketua di guild itu. Tidak heran kalau dia sekarang sedang berada di sini. Dia seorang Sniper yang mungkin terlihat hebat, itulah mengapa. Walaupun Sniper adalah satu-satunya job yang tidak memiliki elemen, dan hanya mengandalkan kekuatan fisik, Sniper merupakan job yang dicari ketika guild war, karena mereka pada dasarnya pandai bersembunyi dan peluru mereka tidak dapat dihindari, namun terdapat pengecualian untuk player yang mempunyai stat evasion sangat tinggi.
Player yang berada di sofa yang berkutat pada buku itu bernick Jesse, seorang Pixie dengan job Sorcerer. Dia merupakan anggota yang cukup lama, aku sedikit mengenalnya ketika aku masih di Seventh Heaven. Dia player yang tidak banyak berbicara dengan anggota lainnya di guild. Pekerjaannya selain hunting adalah membaca buku, buku apa saja yang dapat dia baca.
Lalu setelah itu, player yang tadi sedang tweaking senjata, dia Dante, Archer sepertiku. Aku tidak mengenalnya, mungkin dia anggota yang masuk setelah aku keluar dari guild ini.
Kemudian perempuan yang berada di sebelah Dante yang terus memperhatikannya adalah Airi. Seorang Conjurer. Wajah oriental yang bisa kutebak dia dari Jepang. Sama seperti Dante, aku tidak mengenalnya.
Yang sedang tidur itu bernick Vallario, player asal Swedia dengan job Exorcist, job yang juga jarang terlihat karena kemampuan fisiknya kerap kali diragukan dan juga levelingnya yang sedikit susah, namun Exorcist sendiri sebenarnya sangat bermanfaat jika disandingkan dengan job-job magic. Dia juga merupakan anggota lama, bisa dikatakan dialah salah satu pemain lama di Seventh Heaven. Aku tidak cukup mengenalnya, namun yang kutahu dia orang yang baik dan juga ahli strategi.
Yang terakhir, perempuan dengan gaya gothic, nicknya Priss. Dengan sekali pandang aku juga dapat menebak kalau dia berasal dari Jepang, sama seperti Airi, karena memang, orang Jepang memang sangat mudah dikenali, apalagi perempuannya. Job Majestic, salah satu job langka yang sangat dicari sebagai support attack dalam raid. Dan asal kalian tahu, harga sewa seorang Majestic berlevel tinggi sangat mahal—bisa dibilang nomor dua termahal setelah Conjurer, terlebih jika skill dan permainannya dalam pertarungan sangat baik.
Setelah perkenalan singkat itu, Casey menjelaskan beberapa hal yang perlu kuketahui, seperti untuk tidak menyebutkan nick atau guild dengan orang yang tidak dikenal, karena sistem keamanan di Seventh Heaven telah dirombak dengan petugas-petugas baru dari pihak ketua guild, itu yang membuat Casey membuat markas seperti ini.
"Hal kedua yang perlu lo ketahui," dia membuat jeda pada kalimatnya, sambil menghitung sesuatu dengan jarinya, ia menatapku "Ketika ketua mengeluarkan sebuah perintah atau misi, lo mau lagi liburan atau hunting, lo harus dateng saat itu juga. No matter what."
Aku mengangguk sambil mengingat-ingat itu.
"Lagi, karena Seventh Heaven sekarang menjadi guild yang lo tau, membuat hubungan dengan guild sekitar tidak akur, jadi gue kasi saran buat lo untuk nggak usah punya kontak sama guild-guild itu, atau gue bisa bilang kalo hal ini udah gue anggap nggak jadi masalah buat guild nantinya."
Aku mengerti itu, aku memang tidak mempunyai banyak koneksi sekeluarnya dari Seventh Heaven, atau lebih tepatnya aku mengasingkan diri.
"Terus buat kelompok ini," dia memandang keenam player lain yang ada di ruangan ini, sambil berdeham dia melanjutkan "Kalau lo punya urusan dengan seseorang atau sesuatu, gue saranin lo hanya pergi pada tengah malam. Karena mulai pagi sampai sore lo harus berjaga-jaga di kastil guild."
Aku paham maksudnya yang satu ini.
"Where?" tanyaku.
"Istanbul."
Hmm, bukan sesuatu yang mengejutkan kalau Seventh Heaven kini menguasai Istanbul, yang mana kota itu adalah pusat lalu lintas perdagangan dan sering kali diperebutkan sebelum aku hiatus. Sebelumnya yang kuketahui Seventh Heaven hanya memegang kota kecil di sebuah negara yang aku lupa namanya, yang aku ingat hanya negara itu terletak di benua Amerika Selatan.
"Kapan pindahnya?"
"Ah," dia terlihat mengingat-ingat "Kalau tidak salah beberapa saat setelah pergantian jabatan atau sekitar itu."
"Oh, itu informasi bagus." ucapku sambil manggut-manggut menatapnya, ini mungkin terjadi tidak hanya di Seventh Heaven saja namun tujuh guild lainnya.
"Maksud?"
"Coba pikir, deh, delapan guild memulai perintah aneh setelah ketua diganti—“
"—dua." selanya.
"Benar, tapi kemungkinan keenam guild lainnya sama cukup besar karena kabar burung itu tersebar di beberapa tempat."
"Lalu?"
"Mungkin guild-guild itu juga menguasai kota besar atau setidaknya berpengaruh setelah pergantian ketua itu, sama seperti Seventh Heaven."
"Tapi, itu masih hipotesis aja."
"Maka dari itu, gue tadi bilang kalo gue pengen lo nemenin gue buat pergi ke suatu tempat."
"Hmm."

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)