(Image: hdwallpaperscool.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
Beberapa jam berlalu dan kini sudah tengah malam. Aku
beranjak pergi dari markas, menuju tempat di mana aku bisa mencari informasi
yang kubutuhkan saat ini.
"Mau ke mana sih
kita?" tanya Casey sembari mengikuti langkahku.
"Lo tau,
markas lo terpencil banget. Kita udah hampir satu jam jalan tapi belum nemu kota." protesku mengalihkan pembicaraannya.
"Ah, tapi itu tempat yang strategis, butuh
perjuangan beli tempat itu."
"Berapa emang?"
"Lo inget
harga mount Wyvern warna hitam yang gue
pengen dulu?"
Aku mengingat-ingat mount itu, mount yang
cukup populer pada masanya, harga yang
ditawarkan juga cukup mahal karena mount
itu adalah salah satu mount yang
dicari.
"Ah, mahal banget."
"Yah, tapi sepadan, lah. Jarang-jarang bisa dapet
bangunan tersembunyi di tengah hutan, dan—oh, apa lo sudah gue kasih bookmark markas?"
"Hmm," aku mengingat-ingat tentang apa saja
yang aku lakukan di sana, aku membuka menu dengan melambaikan tangan kiriku dan
membuka menu option, rentetan menu
baru terjejer setelah kutekan option,
tujuanku bookmark. Muncul beberapa
tempat yang kuketahui, Danderius Lake,
Arcelius Cafe, Hideout, dan Home. Markas
itu memang kuberi nama Hideout, namun
satu yang menjadi perhatianku adalah bookmark
Home. "Sudah, tadi Jesse memberikannya padaku." lanjutku tanpa
memperhatikannya, perhatianku tetap tertuju dengan menu yang sedang terpampang
di depan wajahku; Home. Aku bahkan
tidak mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang sudah memberiku tempat
tinggal dan menerimaku saat itu.
"Apa itu? Home?"
tanpa sepengetahuanku ternyata Casey membaca bookmark itu.
Dengan segera aku menutup menu dengan sekali lambaian
besar. Aku sedikit terkejut sembari memandangnya sekejap dan berkata
"Nggak, bukan apa-apa."
"Ah, ayolah, apa itu rumah bersama kelompok kecil
itu?" tanyanya. Aku berpikir sejenak sambil memandangi kerikil-kerikil di sepanjang
jalan yang kulalui. Aku memang tidak pandai menyembunyikan sesuatu dari
sahabatku sendiri. "Hmm?"
"Oke-oke," aku memberi jeda pada kalimat
yang akan kuberikan padanya, tapi dari mana aku harus memulainya? "Dari
mana gue harus cerita?"
"Yah, mana aja,"
dia menaikkan kedua bahunya tanda dia sendiri juga tidak tahu dari mana cerita harus
kumulai. "—dan hei, dude, kita
bisa ngabisin waktu untuk sampai di
kota sambil ndengerin ceritamu."
oh, benar juga, itu ide yang cukup bagus untuk menghabiskan waktu.
"Waktu itu gue
lagi hunting di wilayah baru gue tau
di Manila." aku memulai cerita.
"Sachs Cave?"
Aku menangguk "Ya, pas itu udah menjelang malam, gue lagi mapping di sana. Terus gue
denger suara Avery—ketua party, sedang memberikan perintah. Lo tau 'kan kalo di dungeon itu
kebanyakan monsternya terbang?"
dia mengangguk sebelum aku melanjutkan cerita "Kebetulan mereka nggak
punya job range."
"Oh, jadi lo
ngebantu mereka gitu?"
"Hmm, bisa dibilang begitu, sih." aku
manggut-manggut "Pas mau pergi, Arianne, ngajak gue buat nganter balik ke kota sebagai tanda
terima kasih mereka. Yah, gue nggak nolak dong." ucapku dengan menaikkan kedua bahu serta ekspresi wajah
why-not-?.
"Hmm, ngomong-ngomong
soal Arianne, dia kayak gimana?"
tanyanya, dia kalau sudah dengar soal perempuan, pasti langsung nyahut.
"Nggak bisa bilang banyak, sih. Dia itu ceweknya datar banget. Selama seminggu gue
kenal sama dia, bisa gue itung berapa
kali dia ganti ekspresi. Walaupun dia cantik, sih, gue suka sama rambut panjangnya yang disampir ke samping. Terlebih
dia persis kayak Violet, cuma versi rambut panjangnya aja" jelasku.
"Hmm," dia manggut-manggut lagi mendengarkan
penjelasanku "Gue bisa bayangin dia kayak gimana," jeda untuk beberapa waktu "Oke, balik ke
topik."
"Pas sampai di kota, ternyata mereka ngajak gue buat gabung sama mereka, dan itu permintaan Avery sendiri,
walaupun, yah, dia itu orangnya
terkesan rada galak gitu karena tampangnya. Tapi dia cuma malu buat ngungkapinnya lewat perbuatan, jadi dia nyuruh Arianne." Casey terkekeh ketika aku menekankan kata galak.
"Party lo,
ada lima orang 'kan sama lo?"
aku mengangguk "Siapa lagi tuh?
Avery, Arianne, sama yang kemarin itu, siapa nicknya?"
"Foxx."
"Nah
itu dia."
"Foxx sih, orangnya gitu, lo tau sendiri 'kan dia kayak gimana, di party dia yang paling demen
ngoceh sana-sini."
"I see."
dia terkekeh lagi.
"Kenapa lo ketawa
gitu?" aku mencium aura tak
sedap dari cara dia ketawa. Sangat mencurigakan.
"Lo
'kan orangnya kurang cocok sama yang banyak ngoceh."
"Yah,
nggak juga sih, tergantung ngocehnya
tentang apa. Haha." aku tertawa ketika mengingat kalau dulu aku pernah
mempunyai seorang teman yang suka ngoceh
nggak karuan arahnya. Dan yah, seperti yang Casey bilang kalau aku
tidak terlalu cocok sama orang yang suka ngoceh,
alhasil aku abaikan dia selama bertemu dengannya.
"Terus yang satu lagi?"
"Cello. Dia kebalikan dari Foxx. Hampir nggak
pernah bicara sama sekali. Dia juga jarang keliatan,
jadi gue nggak bisa bicara banyak
tentang dia."
"Hmm. Begitu."
Pembicaraan kami selanjutnya mengarah pada masa lalu
di mana kita masih satu kota saat kami berdua masih sekolah. The good old days. Hari-hari
menyenangkan bersama sahabat.
Beberapa saat kemudian, akhirnya kami sampai ke tempat
tujuan: Arcelius Cafe.
Sebenarnya aku sudah pernah memperkenalkan Walnut
kepada Casey, namun nampaknya mereka tidak bisa terlalu saling mengenal.
Aku kembali membuka pintu kafe yang sudah empat bulan
ini tidak kukunjungi, sama seperti Walnut, setibanya di dalam kafe itu aku
langsung melihatnya dalam sekejap mata. Dia selalu duduk di kursi yang sama
setiap kali ia kemari.
"Oh, gue
inget siapa dia." ucap Casey
ketika memandang makhluk berbulu itu sedang merayu salah seorang player perempuan yang ada di sana.
"You don't
say?" ucapku terkekeh memandangnya lalu beranjak untuk menemuinya,
Casey mengikutiku di belakang. "Hey,
dude." sapaku setibanya di dekat
kursinya.
"Oh,
apakah itu kau, Blue?" ucapnya
seketika melihatku sambil memicingkan kedua matanya "Lama tak berjumpa. Ini
sudah empat bulan, huh?"
"Yeah."
Dia kemudian mengubah posisinya, membiarkan salah satu
perempuan yang dia rayu tadi pergi. Dia tersenyum kepadaku sambil meneguk
gelasnya.
"Sooo, kenapa kau berada di sini?"
tanyanya, semestinya pertanyaan ini tidak perlu kujawab karena dia sudah pasti
tahu untuk apa aku kemari.
"Kau tahu kenapa aku di sini."
"Oke kalau begitu, pelan-pelan," dia meneguk
lagi minumannya "ayo kita pergi
keluar." dengan isyarat sebuah anggukan yang mengarah ke pintu, dia
kemudian beranjak, berjalan ke arah pintu belakang; pintu yang paling jarang
dilalui pengunjung kafe.
Aku dan Casey mengikutinya, melihatnya membuka pintu itu.
Walnut kemudian duduk di kursi kayu yang berada di sebelah pintu setelah keluar
dari kafe.
"Jadi ada masalah apa?"
"Aku butuh informasi."
"Tentu saja kau butuh, apalagi yang kau butuhkan jika kau datang kemari?" nadanya
sedikit meninggi, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Namun jika
diingat-ingat, aku memang sudah sering merepotkannya.
"Ini akan menjadi yang terakhir." ucapku.
"Yang terakhir, katamu?" dia mengulangi
kata-kataku dengan nadanya yang terdengar sedikit mengejek. Aku benci ini, namun
harus kutahan dulu karena dia mungkin adalah kunci dari informasi yang bisa
kudapat nanti.
"Ya." ucapku datar sambil berkedip.
"Oke, ini yang terakhir," ia berhenti
sejenak, berdiri menatapku dan memegang bahuku dengan tangan kirinya dan
mendekatkan mulutnya ke telingaku "Setelah ini, jika kau berani menampakkan wajahmu lagi di hadapanku. Aku akan
benar-benar membunuhmu." Casey maju selangkah, namun kuhalangi dengan
tangan kiriku, ekspresinya yang berganti bisa kurasakan tanpa melihat wajahnya,
aku tetap menatap Walnut dengan senyuman iblisku yang bisa diartikan kalau aku
tidak takut.
Aku menelan ludah setelah mendengar akhir kalimatnya.
Aku mendengarkan setiap ucapannya dengan seksama, nada bijaksana itu terdengar
sangat nyata sebagai ancaman. Aku mengenal Walnut dengan setiap perkataan
jujurnya, dan ia tidak pernah berkata bohong padaku, namun mungkin aku sudah
terlalu jauh menekannya.
"Oke." jawabku. Aku merasakan keseriusan
ancamannya padaku.
Ekspresinya berganti setelah mendengar jawabanku, dia
memang seperti itu, tetap bisa mengendalikan emosinya di berbagai situasi
"Baiklah kalau begitu, informasi macam apa yang kaubutuhkan?" dia
kembali duduk di sana, dengan gaya santainya.
"Mari kita lihat," aku berpikir, merangkai
kata agar dapat mempersingkat permintaanku kepadanya "aku butuh informasi
tentang ke enam—tidak, tujuh guild."
"Guild
apa?"
"Aurora, Blacklist, Olympus, Golden Ink,
Euronesia, Eternality, Necromancer." ucapku dengan lafal, aku memberinya
ketujuh guild yang Kyle beritahu
kepadaku.
Dia mengubah ekspresinya, namun ia tutupi. Aku dapat
merasakan pergantian auranya ketika mendengar salah satu nama guild yang kusebutkan: Blacklist.
"Dari mana kau mendapatkan nama-nama itu?"
"Itu bukan masalah yang penting dari mana aku
mendapatkan nama-nama itu," aku
menaikkan kedua bahuku, aku tidak peduli apa katanya, karena aku hanya
membutuhkan informasi. "Aku hanya butuh informasi, dan kau menyediakannya
untukku."
"Well,"
dia kembali menatapku dengan tajam lalu membuang pandangannya ke arah lain, ini
terlihat seperti aku menang telak dengan memukul dia kembali dengan
pernyataannya tadi "Tentang apa?"
"Segalanya."
"Segalanya? Kau serius?"
"Apa aku terlihat sedang bercanda?"
"Well,"
dia mengambil sebuah jeda pada kalimatnya "Itu akan memakan sedikit waktu.
Dua atau tiga minggu."
"Tiga minggu? Kau bercan—“
"—lihat, akulah orang yang mencari
informasi-informasi tersebut, dan itu
semua sudah menjadi hal yang berbeda sejak kita semua terjebak di sini. Aku kehilangan banyak informanku dan
sekarang aku masih tidak memiliki sumber yang tepercaya. Itulah mengapa ini
akan memakan sedikit waktu." dia
menyela, dengan wajah serius yang dia pasang, itu berarti dia tidak main-main
dan memang masalah ini sudah menjadi masalah yang serius, dan aku masih heran
kenapa orang-orang masih bisa bersikap tenang ketika mengetahui semua itu.
Diam untuk beberapa saat, auranya semakin berbeda saat
ini. Aku tahu permintaanku ini sangat berbahaya, namun itu takkan mengubah
fakta bahwa perang itu akan dimulai dengan atau tanpa ini. Jadi menurutku, itu
sama saja.
"Oke, aku
tahu apa yang sedang terjadi dan aku paham itu. Kirim saja sebuah pesan ketika kau sudah mendapatkannya."
ucapku, kemudian aku berbalik "Ayo, urusan kita sudah selesai."
"Sekalinya ikut campur, kau tidak akan bisa
keluar dari ini semua" ucapnya samar-samar karena kami sudah berjalan
menjauh dari sana melalui samping bangunan, "Kau masih mempunyai
kesempatan untuk melangkah mundur dari semua masalah ini!" suaranya
memudar seiring perjalanan kami, namun aku masih dapat mendengarnya dengan
jelas.
Kami berdua berjalan kembali ke kota tanpa sepatah
kata pun terucap. Hanya ada keheningan dengan suara langkah kaki kami dan aku
dapat mendengarnya sangat jelas.
"Gue rasa
dia emang tau banyak." ucapan Casey barusan memecah keheningan sesampainya
kami di depan portal. Aku setuju ucapannya jika Walnut tahu banyak tentang
semua itu, hanya saja dia berusaha menutupinya.
"Gue
juga berpikir begitu."
"Gue
juga gak suka cara dia ngancem."
"It's okay,
selama kita dapat informasi yang kita butuhin,
itu nggak jadi masalah," ucapku. "Tapi..."
"Tapi apa?" dia bertanya, terlihat bingung.
"Kalau ditaksir dengan harga, mungkin informasi
itu lebih berharga daripada seluruh harta kita digabungkan." ucapku,
pikiran itu terlintas begitu saja di benakku.
"Bercanda?!" ekspresinya kaget setengah
mati, dia tidak percaya dengan kata-kataku barusan.
"Serius. Sebelum hari itu aja, sebelum pensi, gue pernah nanya harga
sebuah informasi hidden dungeon, itu
setara dengan harga rumah."
"Buset.
Pantesan kalo dia kayak tadi
responnya."
"Betul. Tapi itu ‘kan harga dulu. Kalo sekarang, mungkin berpuluh-puluh
kali lipat. Diliat dari sudut pandang
lain, nyawa juga jadi taruhan."
Kami berdua masuk ke portal, kembali menuju kota di
mana markas berada: Brasil. Hutan Amazon.
Setelah kupikir-pikir, itu tadi memang berlangsung
cukup cepat. Lebih cepat dari perkiraanku. Yah,
walaupun aku tahu akan berakhir seperti itu, namun aku masih khawatir dengan
informasi yang kubutuhkan itu. Apa benar Walnut akan benar-benar mencarinya
walau ia sendiri tahu kalau itu sangat berisiko? Aku tahu setiap kata-katanya
dapat dipercaya selama ini, namun aku masih ragu dengan yang satu ini. Ini
seperti, dia menggali sendiri kuburannya.
Sepanjang perjalanan kembali, kami tidak berbincang
mengenai hal apapun, berbeda ketika berangkat tadi, kami ngoceh ke sana-kemari.
"Jadi, kapan lo
siap untuk masuk ke dalam guild?"
tanyanya, aku menoleh sekejap ke arahnya lalu membuang muka dengan cepat.
"Secepatnya, selagi menunggu informasi itu."
jawabku.
"Tapi kita tidak dapat memulainya tanpa informasi
yang lengkap jika guild-guild itu
memang mempunyai koneksi. Itu akan di luar kemampuanku."
Benar, hal itu memang benar. Kudeta itu takkan menjadi
lebih mudah walaupun hanya melibatkan satu guild
saja, karena saat ini kita masih kekurangan pasukan. Tapi aku berpikir bahwa
setiap guild itu berdiri secara
individual namun memiliki koneksi, jadi secara garis besar, untuk tidak
melibatkan guild lain, mereka tidak
akan meminta bantuan karena itu akan membuat rencana mereka memiliki celah yang
akan disadari oleh banyak player.
Setidaknya itulah hipotesisku saat ini.
"Gue
bisa mencari kepercayaan dulu." ucapku.
"Hmm? Gue
juga berpikir soal itu. Lihat, gue aja yang posisi sebagai wakil masih
belum tau apa-apa. Masa lo
bisa dapet kepercayaan segampang
itu?"
"Itulah maksud rencananya!" aku tiba-tiba
saja mempunyai feeling bagus tentang
ini. Ini tentang mengapa hingga saat ini Casey masih tidak di beritahu apapun.
"Hmm?"
"Coba lo pikir
kenapa dia masih ngasih lo jabatan wakil?"
Dia terdiam sejenak, berpikir dengan tangan
ditempelkan di dagunya "Karena cuma gue
orang yang bisa di posisi itu?" jawabnya, terdengar seperti dia menebak
saja sembari diikuti dengan bahunya yang dinaikkan.
"Salah. Karena dia dari awal sudah memperkirakan ini semua." balasku dengan
menunjuk dirinya dengan jari telunjukku.
"Maksud?" aku terkekeh lalu menyilangkan
kedua tanganku di depan dada.
"Gini, lo wakil karena dia sudah tau kalo lo nanti bakal memberontak,
setidaknya dia mungkin udah punya daftar siapa saja yang akan
memberontak dan punya siasat, kecuali kalo
lo sendiri emang setuju dengan
cara dia memerintah," jelasku,
kemudian aku melanjutkan "Dan juga terlalu mencurigakan jika mengganti
semua jabatan anggota secara skala besar. Jadi dia nyisain sebagian anggota lama dengan jabatannya. Tapi tetap ada
semacam tembok pembatas di antara anggota lama dan anggotanya."
Dia berhenti, terdiam sejenak untuk berpikir lalu
dengan wajahnya yang terkesan sedikit terkejut "Oh, itu masuk akal."
"Ngerti 'kan?"
"—tapi! Berarti dia sudah tahu kalo kita
punya pasukan? Bukankah itu berarti rencana kita udah gagal bahkan sebelum memulainya?" ekspresinya serius
menanggapi, aku tahu maksudnya, tapi ini masih hipotesis saja.
"Gue
pikir begitu. Kita hanya masih selangkah
di belakang. Dan dengan ini kita harus bikin
strategi baru, dan gue ada satu
rencana."
"Apa tuh?"
"Di guild
pasti ada tim ekspedisi dari dia buat
nyari anggota baru, 'kan?"
"Tim ekspedisi?" dia terdiam berpikir "Gue kira ada yang kayak gitu."
"Pastikan dulu kalo tim itu bukan dari anggota lama, atau setidaknya mereka itu
orang yang masuk sesudah dia. Tau maksudku, 'kan?"
"Gue ngerti. Ardel dan Scythe. Mungkin mereka
berdua adalah tim ekspedisinya."
"Hanya dua orang aja?" dia mengangguk.
"Yang kutahu hanya mereka saja yang sering keluar
tanpa diberi tugas." aku berpikir lagi, memang benar kalau tim ekspedisi
untuk guild seperti ini pasti akan
kecil, atau bahkan tersembunyi untuk merekrut orang.
"Dan, gue
mempunyai sebuah rencana, sekaligus senjata," aku tersenyum iblis, lagi,
kukira masuk di sana akan menjadi lebih mudah dari perkiraanku. "Rencanaku
nanti, lo cuma harus ngasih tau gue tentang di mana mereka
biasanya nyari anggota. Gue akan mendatangi mereka
sendiri."
"Lho,
bukankah lebih mudah kalo gue yang masukin lo ke guild? Gue 'kan punya otoritas buat itu."
salah, salah total.
"Di sinilah kesalahannya. Justru kalo mereka tau lo kenal sama gue, disitu mungkin rencana akan runtuh.
Inget kata-kata gue tadi? Bakal ada
semacam tembok pembatas antara player
yang lo rekrut sama player yang dia rekrut. Dia nggak bakal ngasi informasi kepada player
yang lo rekrut, atau yang kenal sama
anggota yang ada di daftarnya."
"Ah! Gue paham
maksud lo!"
"Jadi nanti
cara kita berkomunikasi cuma lewat PM,
atau kalo lo punya usul lain yang lebih aman daripada itu." rencana
semakin jelas sekarang, hanya perlu menghindari kalau aku mengenal Casey dan
lima orang itu.
"Kurir."
"Kurir?" aku ingat, kurir adalah jasa
pengantar yang jarang sekali dipakai karena kebanyakan player menggunakan PM.
Simpel, namun lebih berisiko jika berkaitan dengan informasi rahasia.
"Ya, ada semacam pet kurir yang bisa nganter
sesuatu. Dan gue tau pet yang pas buat tugas itu."
"Hmm, boleh."
"Berarti sekarang kita hanya harus memberitahu
kepada enam orang yang ada di markas agar berpura-pura untuk tidak
mengenalmu." aku mengangguk puas. Tepat, itulah yang harus dilakukan
sekarang.
"Dan, sampai saat itu datang, gue nggak
boleh keliatan sama anggota delapan guild itu, terutama guild lo."
"Hmm, jadi nanti gue cuma perlu ngasi tau lo
lokasi ekspedisi mereka."
"Dan setelah itu, serahkan semuanya sama gue. -tapi"
"Hmm?"
"Anggota lo
tadi, apa cuma Vallario dan Jesse aja
anggota lama yang kenal sama gue?"
"Iya, yang lainnya kebanyakan udah keluar."
"Dan, pasukan pemberontak dari guild lo cuma ada enam termasuk lo?"
"Ada empat orang lagi, mungkin mereka sedang ada
tugas, soalnya mereka jarang bisa mampir ke markas."
"Oke, selagi gue
jalanin rencana itu, lo tetep
kumpulin pasukan. Ekspansi, tapi
diam-diam aja.
"Gue usahain deh. Tapi, ini keliatan kalo lo lagi bikin rencana lain, deh."
"Betul, gue
lagi bikin rencana di atas
rencana."
--