(Image: comicvine.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
25 Juli 2018.
Hari itu tidak
cukup cerah untuk sebuah kompetisi, justru mendung dengan taburan salju yang
cukup banyak dibandingkan hari sebelumnya. Pagi ini, kompetisi secara resmi
dimulai. Dengan peserta yang cukup banyak, ada sekitar empat atau lima ribu
gabungan party dan squad yang terdaftar. Itu berarti ada
sekitar ratusan ribu player yang
terdaftar.
Hingga siang
berlalu, kami masih menunggu urutan nomor kami. Cukup lama melihat kondisi raidnya yang hanya bisa dimasuki oleh 400
kelompok secara bersamaan. Dan lainnya? Mereka harus menunggu. Dengan
perkiraanku, kemungkinan akan memakan waktu sekitar dua atau tiga hari, atau
mungkin satu minggu.
"Kita masih
harus mencari informasi untuk strategi kita." ucap Avery selepas memasuki
tenda yang dibuat cukup besar untuk orang lima.
"Apa?"
ucap Foxx yang sedang membaca sebuah buku yang tidak kuketahui judulnya dengan
Arianne di sampingnya. Berbeda dengan Cello yang langsung hilang entah ke mana
setelah mendengar perkataan Avery barusan.
Aku melepas satu
sisi earphone yang kukenakan.
"Banyak player yang tumbang pada awal
menit-menit mereka masuk." tambahnya menjelaskan, nadanya masih datar.
"Kalau begitu
aku akan pergi." tawarku, kemudian aku beranjak dari tempat tidurku.
Hmm, aku berpikir
informasi seperti apa yang Avery maksud. Itu memang benar, kami tidak mendapat
banyak informasi untuk hari pertama, dan ini masih delapan jam setelah kompetisi
ini dibuka.
Aku berpikir
apakah aku mempunyai kenalan yang sudah memasuki raid itu. Dengan wajah asli mereka, mustahil aku dapat mengenalinya
dengan mudah.
"Hmm."
aku memandang sekelilingku, semuanya terlihat sibuk dengan kelompok mereka
masing-masing.
Pandanganku
teralihkan pada seseorang di antara keramaian itu, dia tidak asing bagiku,
setidaknya tidak dengan baju yang ia kenakan. Sebuah baju berwarna kuning
dengan motif panda. Tiga tahun lalu aku mempunyai kenalan yang suka mengenakan
baju seperti itu setiap kali bertemu dengannya di VRO.
Tapi, siapa
namanya? Nicknamenya? Yang kuingat
hanya dia adalah orang yang menyebalkan.
Aku tidak ingat
nama siapa pun karena aku memang tidak peduli dengan mereka semua pada saat itu.
Tapi ternyata aku salah dengan itu. Aku tidak bisa bermain solo dalam dunia yang telah kukenal dulu, dunia ini sudah berbeda
dari yang kukenal dulu.
Sial, kenapa dulu
aku memutuskan untuk menghapus semua daftar teman itu?
Apa yang harus
kulakukan? Berpikirlah, bodoh.
Aku harus ke sana,
menyapanya, walaupun aku lupa dengan namanya, setidaknya dia masih mengingatku,
‘kan?
Baiklah.
Aku melangkah
maju, menatapnya yang sedang berbincang dengan temannya, tiga temannya yang
dulu juga bersamanya saat itu, ternyata hingga sekarang mereka masih bersama-sama.
"Ehm."
aku berdeham ketika berada tepat di sebelahnya. Suara-suara itu memang jelas
milik orang yang kumaksud.
Mereka menoleh,
dugaanku tepat.
"Eh,"
dia menatapku yang berjalan melewatinya, aku berhenti sejenak. "Kau!"
aku menoleh menatapnya, mata kami saling memandang satu sama lain, dia terlihat
kaget, "Aku lupa namamu!" dia menggenggam lenganku dengan ekspresinya
yang begitu terkejut.
Sebuah kata-kata
yang tidak kuprediksikan. Aku mengira dia akan berkata "Kau Blue!" atau "Kau
Blue, ‘kan?" tapi mengapa dia malah berkata kalau dia tidak mengingat
namaku. Uh, tapi setidaknya dia mengingat kalau ini adalah diriku.
"Eh?"
aku menatapnya, aku tidak ingat jika dia memiliki wajah seperti bayi.
"Dia Blue, ‘kan?"
ucap salah seorang temannya yang mengenakan baju berwarna hitam polos, dengan badan
yang lebih tinggi serta rambutnya yang selalu berantakan, dia bukan temannya
melainkan sepupunya.
"Ah, benar,
Blue." dia melepaskan genggaman tangannya.
"Dan,
kau?" aku bertanya balik padanya karena itulah maksud utamaku tadi.
"Elizabeth!
Lisa! Kau tidak ingat? Benar-benar mengecewakan!" ekspresinya terlihat
kecewa, begitu jelas, namun dia tidak marah dengan pertanyaanku.
"Aku Kyle,
ingat?" sepupunya tadi, benar, namanya Kyle. Mereka berdua adalah orang
Indonesia yang keturunan Italia.
"Namaku Sandara, kita pernah bertemu
sebelumnya." Sandara, dia adalah pacar Kyle sejak aku mengenal mereka
bertiga. Dia gadis mungil yang selalu ceria.
"Oh, benar,
aku baru ingat sekarang!" ucapku agak kaku dengan senyumanku yang memaksa
lainnya.
"Jelas ingat,
karena kami baru saja menyebutkannya." dia mendengus kecewa lagi, sama
seperti sebelumnya. Dia memang sosok gadis yang tidak terlalu senang jika dia
harus kecewa.
“Hmm.” Aku berpikir menatapnya, apa yang dia lakukan
di sini?
“Apa?”
“Kalian kemari ikut
kompetisi?” tanyaku.
“Jelas!” jawabnya judes
“Memangnya ada apalagi selain itu?”
“Ya, aku hanya bertanya,”
aku menjawab tanpa memandangnya “Kalian sudah menyelesaikan raidnya?” tanyaku lagi.
“Kami baru saja selesai.”
Kyle menjawab dengan senyum ramahnya, sepupunya ini memang tidak sepertinya.
“Jangan-jangan kau
mau meminta informasi tentang monster di
dalam?” nadanya setengah tinggi, memandangku tajam sampai aku sendiri tidak berani
menatap mata ruby berwarna merah darahnya.
“Sudah, Lisa,”
Kyle menenangkan sikap Lisa yang kurasa memang sedikit tidak sopan—karena itulah
sifat aslinya. “Lebih baik kau temani Sandara melihat-lihat.” perintahnya,
dengan kata-kata Kyle barusan, secara otomatis Lisa menurutinya. Dia segera menggandeng
lengan Sandara yang berada di sebelah Kyle dan mereka berjalan menuju keramaian,
entah ke mana.
“Dia, tidak berubah
ya?” tanyaku sesaat setelah Lisa benar-benar menghilang di tengah kerumunan,
kupastikan dua kali jika dia sudah benar-benar menghilang dari jangkauanku,
jika tidak akan gawat kalau dia sampai mendengar kata-kataku barusan.
“Yah, memang begitulah
sifatnya,” dia terkekeh memaklumi sepupunya yang super judes “Tapi jangan salah, dia sebenarnya hanya butuh perhatian
lebih.”
“Oh~ Pasti sulit untuknya
mendapatkan pacar.” aku tertawa kecil sambil memandang kerumunan itu, lalu beralih
ke arah Kyle yang masih berada di depanku.
“Yah, apa boleh buat,”
Kyle menaikkan kedua bahunya tanda pasrah terhadap pernyataanku. "Ayo kita
pergi ke suatu tempat yang lebih tenang."
--