(Image: neoseeker.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
Tidak
terlalu lama seperti yang kulihat. Aku hanya perlu mendengarkan pengarahan NPC yang seperti manusia sungguhan itu
dan menyelesaikan registrasi. Dan memang, event
ini terbagi menjadi dua divisi. Divisi
party dan divisi squad. Dan
jumlah party yang mengikuti event ini tidak terlalu banyak yang
kubayangkan, kira-kira hanya seperempat jika dibandingkan dengan divisi squad.
"Hubungi
Avery. Kita akan mendirikan tenda di sini." ucapku sesaat menemukan Foxx
yang menungguku di gazebo tadi.
"Sudah!"
"Oh!"
aku hanya ber-oh-ria menanggapi jawaban yang Foxx berikan kepadaku. Ternyata
dia lebih tanggap dari yang kukira.
"Makan
ini dulu." dia menyodorkanku sebuah bungkusan makanan ketika aku duduk di
kursi depannya. Betul juga, rasanya singkat meski sebenarnya cukup lama. Apa
aku merasa menikmatinya? Itu mungkin saja.
Aku
makan makanan yang ia berikan kepadaku. Rasanya sangat pas untuk cuaca seperti
ini. "Apa ini?"
"Hmm?"
"Apa
nama makanan ini?" aku bertanya lagi dengan kalimat berbeda.
"Ah,
aku tidak tahu, aku rasa makanannya enak, jadi aku beli saja."
"Oh,
I see."
"Kenapa
bahasamu berubah?" dia bertanya sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat
ke arahku, mengamati lebih jauh lagi.
"Ah,"
kami bertatap mata, wajahnya begitu muda walaupun dia lebih tua daripada aku
"Tidak, aku hanya terbiasa berbicara seperti ini dengan orang lain di
dunia ini," aku menjelaskan pertanyaannya sambil mengayunkan tangan
kananku sebagai penjelas. "Kau juga harus membiasakan dirimu, Foxx."
tambahku lalu melahap sebagian besar makanan.
"Oh."
dia mengangguk lalu dengan cepat kembali bersandar di kursinya.
"Berapa
lama lagi dia akan sampai kemari? Avery?" aku bertanya sambil menggigit
sisa-sisa terakhir makananku.
"Dia
berkata akan berangkat sekitar sore atau malam hari."
"Oke."
"Oke
apa?"
"Berarti
masih ada waktu buat kita untuk ngeluyur
dulu."
"Ah!
Benar juga!" ekspresi wajahnya berganti seketika. Sangat mudah untuk
membuatnya senang hanya dalam hitungan detik. "Dan juga, kamu belum
menyelesaikan ceritamu karena kedatangan teman lamamu itu, siapa namanya?"
wajahnya sedikit manyun.
"Casey."
aku menyelesaikan potongan terakhir makananku lalu memandang ke sekitar untuk
menemukan sebuah tempat sampah, tepat beberapa meter di sebelah kiriku. Aku
melemparkan makanan itu seperti seorang pemain basket. 3 point.
"Benar,
itu dia, Casey."
"Kamu
ingin aku bercerita dulu, atau ngeluyur
dulu?" aku memberinya sebuah pilihan yang semestinya mudah untuk dia.
Namun dia malah bingung dengan pilihan yang kuberikan. "Ini masih jam satu
siang." aku kembali melihat tab
jam yang berada di layar mataku.
"Hmm,"
dia terlihat berpikir sambil memandang ke bawah, sesekali dia melirikku.
Bibirnya dimainkan tanda ia semakin bingung. "Aku ingin keduanya."
dia nyengir lalu memainkan dan
memandang kedua jarinya.
Aku
tersenyum lalu berdiri "Baiklah, kalau begitu kita jalan sambil
kuceritakan."
Dia
tersenyum simpul lalu berjalan mengikutiku di belakang dan kemudian berjalan
sejajar denganku.
Tak
jauh dari sana, kami kemudian berjalan entah ke mana, hanya mengikuti ke mana
kaki-kaki kami melangkah menginjak tanah gunung yang terlihat asri ini. Aku
mulai bercerita, melanjutkan pada bagian di mana aku terhenti tadi.
"Emm,
sampai mana tadi aku bercerita?" aku bertanya memastikan karena aku
sendiri tidak pasti ingat sampai bagian mana aku bercerita.
"Eh,
sampai itu, kamu tadi selesai bercerita tentang bagaimana anggota Rainbow."
ah, benar juga, tepat setelah aku bercerita itu, Casey datang.
"Lalu,
mau kuceritakan tentang apalagi?"
"Hmm,"
dia berpikir sejenak, menendang batu-batu kecil yang berada di arah jalannya.
"Kalau raid terakhir
kalian?"
"Hmm,
itu ya? Sebelum itu, ada hal yang lebih menarik itu. Lebih tepatnya disela-sela
kejadian itu."
"Apa
itu?" dia bertanya, rasa penasarannya terlihat muncul kembali.
Sebelum
kami mengakhiri raid terakhir kami,
ada sebuah event yang dilaksanakan. Event itu adalah sebuah raid, raid tersulit pada masa itu, namanya Dragonova Lair, dari situ aku mendapat Bahamut sebagai hadiah utama. Namun, sebelum itu ada event lain, yaitu kejuaraan VRO tahunan, saat itu tahun ketiga atau
keempat aku tidak ingat. Singkatnya, event
itu adalah event lanjutan, sangat
ramai dan meriah sebagai acara hari jadi VRO.
Aku
secara iseng mendaftarkan diri dalam VRO tahunan.
Mulai dari babak penyisihan, aku lolos hingga babak tunggal di mana hanya
tersisa sekitar seratus pemain terkuat dan terpandai, dari seratus besar itu,
namaku mulai dikenal lebih luas. Dan kemudian menyusut hingga sepuluh besar.
Secara beruntung aku bisa lolos dalam sepuluh besar itu.
Aku
masih hafal betul siapa saja yang berada di dalam sepuluh besar pada saat itu.
Aku satu-satunya job range atau petarung jarak jauh yang
dapat masuk sepuluh besar, begitu juga dengan rasku.
Untuk
seratus besar pertama, pesertanya tidak terlalu jauh dariku, setidaknya
kemampuan dan perlengkapannya. Namun ketika aku memasuki sepuluh besar, semua
menjadi berbeda secara drastis, disitulah aku minder. Aku gugup dengan kemampuanku jika melihat hanya akulah
satu-satunya Archer yang mampu masuk
sepuluh besar. Sebelumnya, tidak ada satu pun Archer atau petarung jarak jauh yang mampu masuk sejauh ini.
Aku
kehilangan percaya diri setelah mendapat lawan yang cukup tangguh pada awal
pertandingan: Leonardo. Seorang Paladin
dan juga player tertua yang berada
dalam sepuluh besar. Kalau tidak salah dia dulu pernah menjuarai event serupa tahun lalu. Dengan kata
lain dia adalah player PVP terhebat
dalam VRO.
Aku
kalah. Namun itu tidak menyurutkan semangatku. Dari situlah sebutan People's Champion berasal. Aku memang
bukan seorang player PVP. Dan masuk
sepuluh besar saja sudah merupakan pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh.
Walaupun sebagian besar aku merasa itu adalah keberuntungan semata.
Kabar
bahwa aku telah memasuki sepuluh besar dengan sebuah Headlines: Archer
that enters the championship. Bahkan
kabarnya berita tentangku lebih heboh daripada juaranya saat itu. Aku hanya
dapat terkekeh dan menggeleng tidak percaya, sama seperti teman-temanku.
Untungnya aku tidak menggunakan wajah asliku dalam VRO saat itu. Kalau mereka tahu jika aku adalah Blue, mungkin dunia nyataku sudah tidak
akan sama lagi seperti dua tahun lalu.
"Ah, benar, berita itulah yang
membuatku bermain VRO," ucap
Foxx setelah aku menyelesaikan baris terakhir dalam kalimatku. Tidak terasa
pula kami sudah berjalan berkeliling lumayan jauh dari base camp, kami sampai pada sebuah desa kecil yang aku tidak tahu
namanya. "Saat itu juga aku mengajak Avery dan Arianne."
"Mereka juga temanmu dari dunia
nyata?" aku secara spontan bertanya itu kepadanya. Dia mengangguk lalu
membuang wajahnya memandang para NPC
yang sedang sibuk dengan kegiatannya di sebelah jalan. Ada yang sedang
berjualan, ada yang sedang menarik gerobaknya, ada pula yang sedang berargumen
tidak jelas.
"Mereka satu-satunya keluarga yang
kumiliki di sana, di dunia nyata," wajahnya tertunduk memandang langkah
kakinya sendiri. Lalu kemudian ia angkat kembali wajahnya memandang jalanan
yang terpapar di depannya, "Ngomong-ngomong, kita sudah jauh, ya?"
Aku hanya mengangguk sambil
menggaruk-garuk kepalaku, ada apa barusan? Ada apa dengan perkataannya itu?
"Lanjutkan ceritamu! Aku
penasaran!" dia tiba-tiba saja menoleh kehadapanku, ekspresinya berganti
menjadi penasaran.
"Ah, benar juga."
Kemudian aku melanjutkan.
Tepat setelah event kejuaraan tahunan itu berakhir, dilanjutkan dengan event: Dragonova Lair. Raid yang selalu kami jadikan target
utama. Kabarnya pada saat itu hanya ada beberapa kelompok yang dapat
menyelesaikan raid keramat itu. Dan
kami sendiri belum bisa menaklukannya. Disitulah puncak kejayaan kami dimulai.
Dari ribuan kelompok yang terdaftar, hanya
beberapa saja yang dapat dihitung sebagai pemenangnya. Masalahnya, hanya party saja yang diperbolehkan mendaftar,
dan batas untuk party adalah enam
orang. Kebanyakan orang yang mengikuti event
ini akan mengambil keuntungan dengan melengkapi seluruh party, namun tidak dengan kami. Kami tetap berempat.
Kami melakukan berbagai tinjauan terhadap
strategi yang kami gunakan. Pada akhirnya kami kembali pada strategi pertama
kami: stun dan bertahan, kami tidak
menyerang secara frontal ataupun diam-diam. Kami hanya bertahan menggunakan
formasi busur, Black menahan
serangan, di belakangnya ada Red sebagai penyerang pertama dengan gerakan
gerilya sekaligus sebagai pemancing para mob,
sedangkan aku menyerang dari jarak jauh di belakang Red dan Black. Lalu di belakang
sendiri ada White yang berjaga-jaga
sebagai healer.
Kami menggunakan formasi itu terus menerus
hingga menuju puncak stage, yaitu stage melawan big boss: Bahamut. Naga ini naga tersulit yang pernah menjadi boss tipe udara waktu itu. Memang benar,
kebanyakan player akan tumbang pada
saat melawan Bahamut atau mini boss
pada stage sebelumnya.
Waktu yang kami butuhkan untuk melawan Bahamut saja sekitar dua jam lebih.
Kebanyakan kelompok lain yang beranggotakan enam orang juga menghabiskan waktu
dua jam lebih hanya untuk melawan boss,
sama seperti kita.
Setelah akhirnya berhasil menyelesaikan raid, kami keluar sebagai pemenang,
dengan enam kelompok lain.
Dan pada puncak kejayaan kami itu, berarti
tujuan utama kami sudah terselesaikan. Red
mengumpulkan kami dua hari setelah event
raid itu berakhir. Dengan berat hati
kami akhirnya membubarkan party kecil
kami setelah kerja keras selama ini. Ini bukan sebuah pernyataan sepihak namun
semua anggota. Keempat anggota berencana pensiun setelah event itu. Dengan berbagai alasan kami untuk pensiun, akhirnya kami
mengakhiri hari terakhir kami di dunia
ini.
"Alasan mereka pensiun karena
apa?" Foxx mengajukan pertanyaan itu setelah beberapa detik terdiam.
"Alasan mereka pensiun?" aku
berpikir-pikir sejenak, berusaha mengingat alasan mereka meninggalkan VRO.
Alasan mereka sebenarnya sederhana dan
masuk akal. Red ingin fokus pada
tugas akhirnya; skripsi. Di saat yang bersamaan juga seperti White yang tahun itu akan mengakhiri
pendidikan sekolah dasarnya dengan rentetan ujian kelulusan. Untuk Black? Dia tidak pernah mengatakan
padaku secara jelas, namun beberapa waktu sebelumnya dia pernah mengatakan
kalau waktu kerjanya sering terganggu karena VRO, mungkin itulah sebabnya.
Aku? Sama seperti Black namun pada tingkat yang berbeda, aku memperbaiki nilai
kuliahku yang mungkin bahkan nilainya saja tidak bisa dilihat dengan mata
telanjang, dan juga untuk menyelesaikan novel yang akhirnya ada sebuah penerbit
yang mau menerbitkan novelku.
Foxx bahkan tertawa saat kujelaskan apa
alasanku meninggalkan VRO. Tentu
saja, untungnya Foxx tidak bermain VRO ketika
dia sedang kuliah, atau tepatnya dia mulai bermain VRO ketika sesudah menyelesaikan skripsinya, mengisi waktu luangnya
untuk bermain dan mencari pekerjaan.
"Menarik juga, terutama di akhir
cerita itu." Foxx tertawa lagi setelah ucapannya, aku memang menganggap
alasanku cukup lucu, namun itulah yang sebenarnya terjadi. Tidak bisa
dipungkiri lagi.
Kami berjalan entah ke mana setelah itu
hingga matahari terbenam di ufuk barat, menyisakan bintang yang bersinar di
atas langit.
--