21 May 2015

Legacy - 04.3

(Image: neoseeker.com)

---

Legacy © Fariz Azmi


Tidak terlalu lama seperti yang kulihat. Aku hanya perlu mendengarkan pengarahan NPC yang seperti manusia sungguhan itu dan menyelesaikan registrasi. Dan memang, event ini terbagi menjadi dua divisi. Divisi party dan divisi squad. Dan jumlah party yang mengikuti event ini tidak terlalu banyak yang kubayangkan, kira-kira hanya seperempat jika dibandingkan dengan divisi squad.
"Hubungi Avery. Kita akan mendirikan tenda di sini." ucapku sesaat menemukan Foxx yang menungguku di gazebo tadi.
"Sudah!"

"Oh!" aku hanya ber-oh-ria menanggapi jawaban yang Foxx berikan kepadaku. Ternyata dia lebih tanggap dari yang kukira.
"Makan ini dulu." dia menyodorkanku sebuah bungkusan makanan ketika aku duduk di kursi depannya. Betul juga, rasanya singkat meski sebenarnya cukup lama. Apa aku merasa menikmatinya? Itu mungkin saja.
Aku makan makanan yang ia berikan kepadaku. Rasanya sangat pas untuk cuaca seperti ini. "Apa ini?"
"Hmm?"
"Apa nama makanan ini?" aku bertanya lagi dengan kalimat berbeda.
"Ah, aku tidak tahu, aku rasa makanannya enak, jadi aku beli saja."
"Oh, I see."
"Kenapa bahasamu berubah?" dia bertanya sambil mencondongkan tubuhnya lebih dekat ke arahku, mengamati lebih jauh lagi.
"Ah," kami bertatap mata, wajahnya begitu muda walaupun dia lebih tua daripada aku "Tidak, aku hanya terbiasa berbicara seperti ini dengan orang lain di dunia ini," aku menjelaskan pertanyaannya sambil mengayunkan tangan kananku sebagai penjelas. "Kau juga harus membiasakan dirimu, Foxx." tambahku lalu melahap sebagian besar makanan.
"Oh." dia mengangguk lalu dengan cepat kembali bersandar di kursinya.
"Berapa lama lagi dia akan sampai kemari? Avery?" aku bertanya sambil menggigit sisa-sisa terakhir makananku.
"Dia berkata akan berangkat sekitar sore atau malam hari."
"Oke."
"Oke apa?"
"Berarti masih ada waktu buat kita untuk ngeluyur dulu."
"Ah! Benar juga!" ekspresi wajahnya berganti seketika. Sangat mudah untuk membuatnya senang hanya dalam hitungan detik. "Dan juga, kamu belum menyelesaikan ceritamu karena kedatangan teman lamamu itu, siapa namanya?" wajahnya sedikit manyun.
"Casey." aku menyelesaikan potongan terakhir makananku lalu memandang ke sekitar untuk menemukan sebuah tempat sampah, tepat beberapa meter di sebelah kiriku. Aku melemparkan makanan itu seperti seorang pemain basket. 3 point.
"Benar, itu dia, Casey."
"Kamu ingin aku bercerita dulu, atau ngeluyur dulu?" aku memberinya sebuah pilihan yang semestinya mudah untuk dia. Namun dia malah bingung dengan pilihan yang kuberikan. "Ini masih jam satu siang." aku kembali melihat tab jam yang berada di layar mataku.
"Hmm," dia terlihat berpikir sambil memandang ke bawah, sesekali dia melirikku. Bibirnya dimainkan tanda ia semakin bingung. "Aku ingin keduanya." dia nyengir lalu memainkan dan memandang kedua jarinya.
Aku tersenyum lalu berdiri "Baiklah, kalau begitu kita jalan sambil kuceritakan."
Dia tersenyum simpul lalu berjalan mengikutiku di belakang dan kemudian berjalan sejajar denganku.
Tak jauh dari sana, kami kemudian berjalan entah ke mana, hanya mengikuti ke mana kaki-kaki kami melangkah menginjak tanah gunung yang terlihat asri ini. Aku mulai bercerita, melanjutkan pada bagian di mana aku terhenti tadi.
"Emm, sampai mana tadi aku bercerita?" aku bertanya memastikan karena aku sendiri tidak pasti ingat sampai bagian mana aku bercerita.
"Eh, sampai itu, kamu tadi selesai bercerita tentang bagaimana anggota Rainbow." ah, benar juga, tepat setelah aku bercerita itu, Casey datang.
"Lalu, mau kuceritakan tentang apalagi?"
"Hmm," dia berpikir sejenak, menendang batu-batu kecil yang berada di arah jalannya. "Kalau raid terakhir kalian?"
"Hmm, itu ya? Sebelum itu, ada hal yang lebih menarik itu. Lebih tepatnya disela-sela kejadian itu."
"Apa itu?" dia bertanya, rasa penasarannya terlihat muncul kembali.
Sebelum kami mengakhiri raid terakhir kami, ada sebuah event yang dilaksanakan. Event itu adalah sebuah raid, raid tersulit pada masa itu, namanya Dragonova Lair, dari situ aku mendapat Bahamut sebagai hadiah utama. Namun, sebelum itu ada event lain, yaitu kejuaraan VRO tahunan, saat itu tahun ketiga atau keempat aku tidak ingat. Singkatnya, event itu adalah event lanjutan, sangat ramai dan meriah sebagai acara hari jadi VRO.
Aku secara iseng mendaftarkan diri dalam VRO tahunan. Mulai dari babak penyisihan, aku lolos hingga babak tunggal di mana hanya tersisa sekitar seratus pemain terkuat dan terpandai, dari seratus besar itu, namaku mulai dikenal lebih luas. Dan kemudian menyusut hingga sepuluh besar. Secara beruntung aku bisa lolos dalam sepuluh besar itu.
Aku masih hafal betul siapa saja yang berada di dalam sepuluh besar pada saat itu. Aku satu-satunya job range atau petarung jarak jauh yang dapat masuk sepuluh besar, begitu juga dengan rasku.
Untuk seratus besar pertama, pesertanya tidak terlalu jauh dariku, setidaknya kemampuan dan perlengkapannya. Namun ketika aku memasuki sepuluh besar, semua menjadi berbeda secara drastis, disitulah aku minder. Aku gugup dengan kemampuanku jika melihat hanya akulah satu-satunya Archer yang mampu masuk sepuluh besar. Sebelumnya, tidak ada satu pun Archer atau petarung jarak jauh yang mampu masuk sejauh ini.
Aku kehilangan percaya diri setelah mendapat lawan yang cukup tangguh pada awal pertandingan: Leonardo. Seorang Paladin dan juga player tertua yang berada dalam sepuluh besar. Kalau tidak salah dia dulu pernah menjuarai event serupa tahun lalu. Dengan kata lain dia adalah player PVP terhebat dalam VRO.
Aku kalah. Namun itu tidak menyurutkan semangatku. Dari situlah sebutan People's Champion berasal. Aku memang bukan seorang player PVP. Dan masuk sepuluh besar saja sudah merupakan pencapaian yang tidak bisa dianggap remeh. Walaupun sebagian besar aku merasa itu adalah keberuntungan semata.
Kabar bahwa aku telah memasuki sepuluh besar dengan sebuah Headlines: Archer that enters the championship. Bahkan kabarnya berita tentangku lebih heboh daripada juaranya saat itu. Aku hanya dapat terkekeh dan menggeleng tidak percaya, sama seperti teman-temanku. Untungnya aku tidak menggunakan wajah asliku dalam VRO saat itu. Kalau mereka tahu jika aku adalah Blue, mungkin dunia nyataku sudah tidak akan sama lagi seperti dua tahun lalu.
"Ah, benar, berita itulah yang membuatku bermain VRO," ucap Foxx setelah aku menyelesaikan baris terakhir dalam kalimatku. Tidak terasa pula kami sudah berjalan berkeliling lumayan jauh dari base camp, kami sampai pada sebuah desa kecil yang aku tidak tahu namanya. "Saat itu juga aku mengajak Avery dan Arianne."
"Mereka juga temanmu dari dunia nyata?" aku secara spontan bertanya itu kepadanya. Dia mengangguk lalu membuang wajahnya memandang para NPC yang sedang sibuk dengan kegiatannya di sebelah jalan. Ada yang sedang berjualan, ada yang sedang menarik gerobaknya, ada pula yang sedang berargumen tidak jelas.
"Mereka satu-satunya keluarga yang kumiliki di sana, di dunia nyata," wajahnya tertunduk memandang langkah kakinya sendiri. Lalu kemudian ia angkat kembali wajahnya memandang jalanan yang terpapar di depannya, "Ngomong-ngomong, kita sudah jauh, ya?"
Aku hanya mengangguk sambil menggaruk-garuk kepalaku, ada apa barusan? Ada apa dengan perkataannya itu?
"Lanjutkan ceritamu! Aku penasaran!" dia tiba-tiba saja menoleh kehadapanku, ekspresinya berganti menjadi penasaran.
"Ah, benar juga."
Kemudian aku melanjutkan.
Tepat setelah event kejuaraan tahunan itu berakhir, dilanjutkan dengan event: Dragonova Lair. Raid yang selalu kami jadikan target utama. Kabarnya pada saat itu hanya ada beberapa kelompok yang dapat menyelesaikan raid keramat itu. Dan kami sendiri belum bisa menaklukannya. Disitulah puncak kejayaan kami dimulai.
Dari ribuan kelompok yang terdaftar, hanya beberapa saja yang dapat dihitung sebagai pemenangnya. Masalahnya, hanya party saja yang diperbolehkan mendaftar, dan batas untuk party adalah enam orang. Kebanyakan orang yang mengikuti event ini akan mengambil keuntungan dengan melengkapi seluruh party, namun tidak dengan kami. Kami tetap berempat.
Kami melakukan berbagai tinjauan terhadap strategi yang kami gunakan. Pada akhirnya kami kembali pada strategi pertama kami: stun dan bertahan, kami tidak menyerang secara frontal ataupun diam-diam. Kami hanya bertahan menggunakan formasi busur, Black menahan serangan, di belakangnya ada Red sebagai penyerang pertama dengan gerakan gerilya sekaligus sebagai pemancing para mob, sedangkan aku menyerang dari jarak jauh di belakang Red dan Black. Lalu di belakang sendiri ada White yang berjaga-jaga sebagai healer.
Kami menggunakan formasi itu terus menerus hingga menuju puncak stage, yaitu stage melawan big boss: Bahamut. Naga ini naga tersulit yang pernah menjadi boss tipe udara waktu itu. Memang benar, kebanyakan player akan tumbang pada saat melawan Bahamut atau mini boss pada stage sebelumnya.
Waktu yang kami butuhkan untuk melawan Bahamut saja sekitar dua jam lebih. Kebanyakan kelompok lain yang beranggotakan enam orang juga menghabiskan waktu dua jam lebih hanya untuk melawan boss, sama seperti kita.
Setelah akhirnya berhasil menyelesaikan raid, kami keluar sebagai pemenang, dengan enam kelompok lain.
Dan pada puncak kejayaan kami itu, berarti tujuan utama kami sudah terselesaikan. Red mengumpulkan kami dua hari setelah event raid itu berakhir. Dengan berat hati kami akhirnya membubarkan party kecil kami setelah kerja keras selama ini. Ini bukan sebuah pernyataan sepihak namun semua anggota. Keempat anggota berencana pensiun setelah event itu. Dengan berbagai alasan kami untuk pensiun, akhirnya kami mengakhiri  hari terakhir kami di dunia ini.
"Alasan mereka pensiun karena apa?" Foxx mengajukan pertanyaan itu setelah beberapa detik terdiam.
"Alasan mereka pensiun?" aku berpikir-pikir sejenak, berusaha mengingat alasan mereka meninggalkan VRO.
Alasan mereka sebenarnya sederhana dan masuk akal. Red ingin fokus pada tugas akhirnya; skripsi. Di saat yang bersamaan juga seperti White yang tahun itu akan mengakhiri pendidikan sekolah dasarnya dengan rentetan ujian kelulusan. Untuk Black? Dia tidak pernah mengatakan padaku secara jelas, namun beberapa waktu sebelumnya dia pernah mengatakan kalau waktu kerjanya sering terganggu karena VRO, mungkin itulah sebabnya.
Aku? Sama seperti Black namun pada tingkat yang berbeda, aku memperbaiki nilai kuliahku yang mungkin bahkan nilainya saja tidak bisa dilihat dengan mata telanjang, dan juga untuk menyelesaikan novel yang akhirnya ada sebuah penerbit yang mau menerbitkan novelku.
Foxx bahkan tertawa saat kujelaskan apa alasanku meninggalkan VRO. Tentu saja, untungnya Foxx tidak bermain VRO ketika dia sedang kuliah, atau tepatnya dia mulai bermain VRO ketika sesudah menyelesaikan skripsinya, mengisi waktu luangnya untuk bermain dan mencari pekerjaan.
"Menarik juga, terutama di akhir cerita itu." Foxx tertawa lagi setelah ucapannya, aku memang menganggap alasanku cukup lucu, namun itulah yang sebenarnya terjadi. Tidak bisa dipungkiri lagi.
Kami berjalan entah ke mana setelah itu hingga matahari terbenam di ufuk barat, menyisakan bintang yang bersinar di atas langit.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)