21 May 2015

Legacy - 04.2

(Image: deviantart.net)

---

Legacy © Fariz Azmi


Lokasi pendaftarannya tidak seperti yang kami duga, dengan wilayah yang dikelilingi oleh hutan, dan juga para player-player lain yang tidak kukenal dengan tujuan sama dengan kami. Tempat ini justru terlihat menyenangkan. Terlebih dengan hewan-hewan non-monster yang kerap terlihat berkeliaran di sekitar sini.
"Oh iya." ucap Foxx yang terlihat seperti teringat akan sesuatu.
"Ada apa?" tanyaku.
"Kamu masih berhutang sesuatu padaku." dia memandangku dengan seksama.
"Berhutang apa?" aku bahkan lupa pernah berhutang sesuatu kepadanya.
"Cerita. Rainbow." jawabnya singkat dengan dua kata yang terpisah oleh titik.

"Oh, benar juga!" aku jadi ingat dengan itu, ketika aku bertemu pertama kali dengannya sekitar beberapa hari lalu, aku pernah berjanji untuk menceritakan kisahku tentang Rainbow kepadanya. Namun nampaknya aku lupa dengan janjiku padanya.
"Ceritakan!" dia sedikit memaksa dengan memasang ekspresi yang memaksa juga.
"Nanti saja setelah kita mendaftar, karena waktunya tidak akan cukup untuk menceritakan itu." aku tersenyum. Kemudian dia mengulurkan jari kelingkingnya kepadaku. Ini tanda sebuah kontrak janji.
"Janji?"
"Janji!" aku melingkarkan jari kelingkingku dengan miliknya, tidak lama dan lalu terlepas.
"Kalau kamu lupa?"
"Kalau aku lupa?"
Dia mengangguk, lalu aku berpikir sebentar.
"Aku akan meminjamkanmu Bahamut selama seminggu."
"Benarkah?"
Aku mengangguk, sekarang dia terlihat yang berpikir.
"Kalau begini aku jadi berharap kamu akan lupa menceritakannya." ucapnya lirih, manyun, lalu senyum jahil mengembang di sudut-sudut bibirnya sembari dia memandangiku yang berada di sebelahnya. Aku hanya bisa tersenyum balik kepadanya sambil mengacak-acak poninya yang barusan dia rapikan ketika mendarat dari Bahamut. Aku terkekeh sembari melihatnya merapikan poninya lagi, sebal mungkin.
Beberapa menit berlalu seperti itu. Kami akhirnya sampai di depan mulut raid -tempat di mana pendaftaran itu berada.
"Masih ramai." ucapku. Foxx mengangguk setuju sambil terus melihat satu per satu player yang juga ikut mendaftar. Kira-kira masih ada beberapa ratus party atau squad lagi. Aku menoleh, pendaftaran ini sudah seperti pasien yang mengantre di rumah sakit, kau harus mengambil nomor agar antreannya tidak panjang. Jadi kau bisa meninggalkan agar tidak jenuh.
Lalu aku mengambil nomor yang berada di meja depan sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk tempat mendaftar. Dua ribu lima ratus sembilan puluh. Aku mengintip ke dalam. Ada empat buah sekat resepsionis yang tidak terlalu berjauhan. Tempat ini sudah seperti tempat festival saja.
"Panggilan untuk nomor dua ribu dua ratus sembilan puluh dua." ah. Berarti ini lumayan lama juga, melihat mereka yang mendaftar membutuhkan waktu yang terbilang tidak singkat. Seperti menandatangani sebuah kontrak, mereka perlu membaca peraturan yang ditetapkan dalam event kali ini.
Setelah itu, aku kembali menemui Foxx yang menunggu di tempat aku meninggalkannya tadi.
Aku mengacungkan kertas keras yang lebih terlihat seperti papan kecil itu kepada Foxx.
"Masih lama, ya?" dia manyun. Pribadi seperti dia memang tidak cocok dengan kata menunggu. Sepertiku, aku juga tidak terlalu suka menunggu sesuatu karena menunggu itu membosankan.
Aku mengangguk atas pertanyaannya sambil tersenyum lalu memasukkan kertas nomor itu ke dalam saku bajuku.
"Kamu mau ngeluyur?"
"Sama kamu?" dia bertanya balik dengan cepat sambil langsung menatapku dengan tajam.
"E-eh," aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena bingung "Aku mau, sih."
"Kalau begitu ayo!" ajaknya dengan semangat. Tapi aku tidak bisa ikut ngeluyur kalau sedang menunggu nomor pendaftaran ini.
"Kamu sendiri saja, aku ‘kan masih harus menunggu pendaftaran." aku menolak dengan halus dengan senyuman yang aku bisa tebak, terlihat terlalu memaksa. Ekspresinya berganti lagi dengan cepat.
"Kalau begitu nanti saja." dia jadi ikut-ikutan menolak ketika aku berkata seperti itu. Ah, memang tidak bisa ditebak, kupikir dia akan ngeluyur begitu saja tanpa pikir panjang ketika aku menawarinya.
"Yakin?" godaku sambil tersenyum kepadanya.
"Tidak akan seru kalau ngeluyur sendirian!" dia nyengir. "Eh, tapi kamu bisa bercerita tentang Rainbow sambil menunggu!"
Aku berpikir sejenak. Perkataannya ada benarnya juga. Tapi, dari mana aku harus memulai ceritaku?
"Hmm." aku bergumam kecil karena bingung.
"Ada apa?"
"Tidak. Aku hanya berpikir sebentar."
"Oh~"
"Ah, karena aku bingung memulai ceritanya. Lebih baik kamu bertanya padaku saja tentang apa yang ingin kamu ketahui, jadi aku tidak akan bingung untuk bercerita." tawarku dengan sebuah syarat yang lebih mendekati seperti wawancara itu. Aku tidak bisa memikirkan ide yang lebih baik lagi selain itu.
"Boleh, sih." dia manggut-manggut tanda setuju sambil terlihat berpikir, mungkin dia sudah mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan beruntunnya yang akan diluncurkan kepadaku.
"Sebelum itu," aku menyela dulu ketika dia hendak berkata sesuatu, dia menatapku tajam "Kita cari tempat duduk yang nyaman dulu." aku nyengir sambil mulai mengedarkan pandanganku ke segala penjuru arah. Aku seperti berada di tengah-tengah pekan raya jika situasinya seperti ini. Temanya benar-benar seperti di festival liburan musim panas di Jepang, hanya saja di tempat ini masih dipenuhi oleh salju-salju yang mulai berkurang. Kau tahu, ‘kan, kalau di Gunung Alpen akan turun salju sepanjang tahun. Aku menoleh ke sana-kemari, mencari-cari sebuah spot yang kelihatannya nyaman, namun sayang, semua spot yang terlihat nyaman itu sudah digunakan semua.
"Nemu?" dia bertanya padaku. Aku menggeleng tanpa menatap wajahnya.
"Jalan saja dulu." ucapku sembari berjalan. Dia mengikuti dari belakang.
Dari bangunan di mana tempat mendaftar itu kami berjalan ke sisi lain area yang tidak simetris. Maklum, karena lokasinya masih di sekitar gunung. Kira-kira luas area ini sekitar beberapa puluh hektar.
Gazebo-gazebo berjejeran di sepanjang jalan yang dibuat dengan luas dua puluh meter namun tertutupi oleh hujan salju yang berjatuhan, berhadapan dengan stan-stan milik NPC yang digunakan untuk berjualan berbagai macam barang, mulai dari suvenir hingga makanan. Di ujung jalan aku bisa melihat sebuah panggung yang cukup besar. Nampaknya event ini akan dibuat semeriah mungkin dengan acara hiburan. Kau tahu, di VRO kita bisa menyalurkan hobi kita juga, seperti ngeband dan sebagainya. Mungkin akan ada hiburan musik besok. Kuharap tidak mengecewakan.
Aku dan Foxx memutar ke sisi lain panggung yang barusan kami lewati, rupanya memang seperti dugaanku, karena area ini cukup jauh dari kota, system mengubah sementara area di sini menjadi area aman. Para player pun bisa membuat tenda di sekitar area yang tidak terpakai. Dan kurasa area ini memang bisa memuat hingga ribuan player dalam satu waktu. Berarti nanti aku harus menghubungi Avery dan yang lainnya untuk membangun tenda dan menginap di sini hingga event ini selesai.
Tidak jauh di sana, akhirnya kami berdua bisa menemukan sebuah tempat yang terlihat nyaman. Sebuah stan di ujung tanjakan menuju ke arah gunung yang lebih tinggi. Empat gazebo berjejer di depan stannya. Tiga sudah terisi. Hanya tinggal satu saja. Mungkin hari ini kami sedang beruntung.
Kami segera menempati gazebo itu sebelum player lain mendahului kami. Wajah-wajah asing yang tak kukenal, memperhatikan kami dari tempat duduknya di gazebo mereka.
"Ah, nyaman juga." ucapku ketika selesai menempatkan diri pada salah satu dari empat kursi yang melingkari sebuah meja dengan payung yang menutupi sinar matahari langsung ke arahku. Udaranya hari ini cukup sejuk dengan terik matahari yang lebih daripada biasanya. Sekarang musimnya sedang transisi dari musim semi menuju musim panas. Cuacanya lebih tidak menentu dibandingkan biasanya.
"Uhm." Foxx membersihkan tenggorokannya dengan berdeham sambil tersenyum sedikit, aku sesekali meliriknya. Mestinya aku yang mendeham karena akulah yang akan bercerita, bukan dia.
"Mulailah." ucapku.
Dia nampak berpikir sejenak, menimbang-nimbang beberapa hal yang bisa kutebak adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan dia berikan kepadaku, setelah dia yakin, dia membuka mulut "Bagaimana kamu bisa bergabung dengan Rainbow?"
Pertanyaan pertama, sekaligus memulai cerita awalku untuknya. Aku memulai bercerita tentang bagaimana aku bertemu dengan mereka ketika aku sedang berburu sendirian di sebuah gurun yang aku lupa apa namanya. Mereka melihatku bertarung sendirian ketika mereka keluar dari portal raid yang baru saja mereka selesaikan. Kalau tidak salah dulu aku masih level 41. Mereka memandangku bertarung tanpa mengucapkan sepatah kata, ataupun membantuku. Mereka, hanya duduk dan melihatku di sana. Mereka bertiga. White, Black, dan Red.
"Hmm, jadi saat itu mereka hanya melihatmu tanpa membantu?" dia terlihat semakin tertarik dengan cerita singkatku selama sekitar beberapa menit itu.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya. Kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan selanjutnya. "Lalu apa yang terjadi setelah itu?"
Setelah itu? Tentu saja, mereka hanya memandangiku bertarung hingga selesai. Dengan sedikit kesusahan namun berhasil juga. Kemudian White, Vasheek perempuan pertama yang pernah kulihat dengan kombinasi job Conjurer. Dia bertanya padaku saat itu, "Kau mau bergabung dengan party kami?" aksennya saat itu bisa kutebak dia dari Jepang. Memang terdengar aneh kalau melihat sekumpulan orang yang sedang melihatmu dan kemudian tiba-tiba mengajakmu untuk ikut bersama mereka.
Lalu dengan itu, Red, datang mendekatiku bersama Black. Di sini Red bertidak sebagai pemimpin kelompok kecil itu. Red sendiri merupakan seorang Pixie dengan kombinasi aneh lainnya, yaitu Berserker. Sama seperti yang lainnya, Black juga merupakan player dengan kombinasi yang tidak biasa, Pixie dengan job Paladin. Bisa bayangkan tubuh kurus Pixie membawa perisai besar?
Red mengulangi pertanyaan White sebelumnya namun dengan kalimat dan maksud yang jauh berbeda. "Take it or leave it." itu adalah sebuah kesempatan sekali seumur hidupku. Jauh sebelum aku bertemu dengan mereka, tepatnya ketika aku baru bermain VRO, mereka memang sudah terkenal dengan gelar mereka sebagai pembantai raid hanya dengan tiga orang anggota saja, yang kutahu mereka memang sedang mencari anggota keempat mereka. Mereka adalah pelopor sebagai kelompok kecil yang ajaib. Jadi mereka menyebutnya sebagai Rainbow. Rainbow tidak mengejar popularitas, mereka tidak mengejar kekayaan, mereka juga tidak mengejar kekuasaan. Saat aku bertanya tentang mengapa mereka menginginkanku bergabung dengan mereka, Red dengan enteng menjawab dengan jawaban yang sampai sekarang tidak bisa kumengerti. "Tidak ada alasan khusus, aku hanya suka dengan nicknamemu." sama sekali jawaban yang tidak kuharapkan keluar dari mulutnya. Dan juga, kabar burung yang banyak beredar tentang mereka, tidak sepenuhnya benar semua namun juga sebaliknya.
Aku bergabung dengan Rainbow.
"Tidak disangka, ya? Seperti kejatuhan uang tepat di depan mata!" Foxx tertawa sambil manggut-manggut sembari terus memandangiku dengan ekspresi anehnya, menunggu untuk melanjutkan ceritaku.
Kami tidak pernah berburu bersama, itu sebuah pengecualian. Tujuan kami hanya untuk menyelesaikan raid. Jadi waktu banyak dihabiskan untuk mencoba berbagai strategi di dalam raid sebelum kami bisa dengan mudah menyelesaikannya. Kami mempunyai Red sebagai pengumpul informasi mengenai monster dan area raid. Kami juga mempunyai White sebagai pengatur strategi kami.
Saat itu, kami semua masih berada di dalam guild. Red berada di guild yang bernama Redcoat Heroes, sebuah guild besar dengan dia sebagai ketuanya, entah kenapa dia malah memilih party kecil untuk menyelesaikan raid daripada bersama dengan anggota guildnya yang kuketahui juga kuat-kuat. Kalau Black mempunyai guild yang bernama Sacred Oath dan mempunyai jabatan sebagai petugas, sebuah pangkat di atas anggota biasa dengan sedikit tugas dan kuasa lebih, guild itu bukan guild besar yang menonjol namun juga cukup kuat. Lalu White, dia berada dalam guild Stray Heart, guild yang berisi 80% healer, mulai dari Conjurer ataupun Priest. Kebanyakan player yang akan menyelesaikan raid akan menyewa seorang atau dua orang healer dari sana. White sendiri mempunyai jabatan sebagai ketua, sama seperti Red.
Aku? Kalau aku berasal dari sebuah guild kecil yang bahkan tidak banyak orang yang mengenal atau mengetahui keberadaannya. Seventh Heaven. Aku bukan anggota yang aktif dalam guild, aku bahkan hanya anggota biasa di sana walaupun beberapa kali aku sempat ditawari untuk sebuah jabatan petugas.
Singkatnya, aku adalah anggota party yang tidak mempunyai jabatan tinggi atau semacamnya, aku lebih pantas disebut sebagai anggota yang entah-dari-mana-datangnya. Setidaknya, begitulah rumor yang kudengar dulu setelah aku bergabung dengan Rainbow.
Dan setelah beberapa bulan seperti itu, Red membuat sebuah keputusan di mana kami semua harus meninggalkan guild agar dapat berfokus lebih ke tujuan awal kami: menyelesaikan raid-raid yang tersebar di seluruh penjuru dunia maya ini. Sebelumnya, White sempat mengusulkan sesuatu, mengapa kita tidak mendirikan sebuah guild saja? Usul yang masuk akal. Semua setuju namun tidak dengan Red, dia bersikeras untuk tidak mendirikan guild dengan beberapa alasannya yang dapat kami terima. Kami keluar dari guild kami masing-masing setelah kesepakatan itu.
"Wah, sayang sekali, padahal Rainbow akan sangat keren jika menjadi sebuah guild," Foxx berkomentar setelah aku menyelesaikan potongan panjang kisahku. Dia nampak sangat serius mendengarkan ceritaku. Dengan komentarnya itu, aku dari dulu juga berpikir kalau Rainbow pasti akan menjadi sebuah guild legendaris kalau pada saat itu kami mendirikan guild. "Lalu," dia menambah kalimatnya setelah jeda beberapa detik "Ceritakan lebih banyak tentang mereka." dia mengganti posisinya, meletakkan kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya pada kursi di depan kami.
Kemudian aku melanjutkan ceritaku.
Pada dasarnya kami semua mempunyai hobi yang sama: solo hunting.
Red. Yang kuketahui tentang dirinya, dia di dunia nyata adalah seorang seorang mahasiswa juga, sama sepertiku. Usianya tidak terlalu jauh dariku, hanya lebih tua beberapa tahun. Dia berkebangsaan Rusia, walaupun dia tidak pernah menyebutkannya, aku dapat mengetahuinya hanya dengan mendengar aksen berbicaranya. Red di dalam VRO, seperti yang sudah kusebutkan tadi, dia mempunyai kombinasi ras dan job yang jarang. Pixie dan Berserker. Job damage-dealer tertinggi yang ada di VRO. Walaupun pada dasarnya Pixie itu tidak memiliki daya serang fisik yang besar, namun dengan Red, itu semua berbanding terbalik. Dia justru seorang damage-dealer terbaik dengan base damagenya. Red sebagai pemimpin party kami, dia tidak banyak bicara, kurang lebih sifatnya sama seperti Avery.
Black. Dia adalah seorang karyawan di sebuah perusahaan yang tidak kukenal di Amerika sana. Dia sudah berkeluarga dan yang kuketahui juga, dia mempunyai seorang anak laki-laki yang berusia empat tahun. Seperti nicknamenya, dia adalah orang negro dengan humor-humor terbaik dan aksen khas yang dibawanya. Dari semua tiga anggota party, mungkin dialah yang paling kusukai. Yang paling aku suka  dari dia adalah ketika dia mengguruiku dengan kata-kata lucunya. Di dalam VRO, dia adalah tanker tangguh yang mempunyai keberuntungan di atas orang lain, dan sebagai pemberi komando, dia selalu mengerti situasi yang sedang dihadapi dan pembuat keputusan tepat. Meskipun dia bukan pemimpin party, namun mayoritas komando datang dari mulutnya.
White. Satu-satunya gadis termuda kukenal yang bermain VRO. Tapi walaupun demikian, dia sangat hebat dengan sifat dewasanya dibandingkan anak-anak lain yang seumuran dengannya, dan terlebih lagi, dia adalah seorang wakil ketua guild yang berisi anggota-anggota hebat. Usianya? Setahuku dia berusia sebelas tahun ketika pertama kali bertemu, masih menuntut ilmu di sekolah dasar di sebuah kota kecil di Jepang. Meskipun begitu, dia masih mempunyai sifat kekanak-kanakannya seperti anak-anak pada umumnya, hanya saja yang membuatnya berbeda adalah dengan bagaimana cara dia berpikir, dia seperti, mempunyai visi. Dalam pertempuran pun, dia bisa diandalkan sebagai fondasi formasi. Dia adalah seorang Conjurer yang mempunyai skill bertarung di samping sebagai healer saja, dan tidak banyak Conjurer yang memiliki skill sekunder seperti itu. Dia seorang Conjurer tipe langka.
"Blue!" ceritaku terhenti ketika usai membicarakan White. Ada seseorang yang memanggilku. Aku menoleh begitu juga dengan Foxx. Sebuah lambaian tangan kulihat dari seorang player dari kejauhan. Aku tak tahu siapa dia karena aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Namun dari suaranya aku bisa mengenalinya dengan samar-samar
Dia kemudian berjalan mendekat. Langkah demi langkah. Sosoknya semakin terlihat jelas seiring langkahnya menuju arah kami.
Sosok dengan wajah yang tak asing bagiku, namun aku masih belum yakin dengan apa dan siapa yang sedang kulihat.
"Blue!" dia mengulanginya lagi ketika sudah cukup dekat. Suara itu suara yang kukenal. Untuk sekali lagi, aku bertemu dengan teman lama -atau seorang sahabatku. Casey. Dia benar-benar Casey.
"Dia temanmu, Blue?" pertanyaan Foxx hampir tidak bisa kudengar karena aku terlalu tercengang dengan apa yang sedang kupandang beberapa meter di depanku. Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
"Casey..." suaraku tergantung di ujung nicknamenya.
"Lama nggak ketemu!" dia menaikkan tangan kanannya, wajahnya yang khas itu terpampang kembali di depan wajahku setelah dua tahun ini kami tidak bertemu. Wajah songong dan konyol miliknya. Dan oh, nampaknya dia player yang cukup hebat sekarang kalau dilihat dari pakaiannya yang terlihat cukup mengesankan, menurutku.
"Hei!" aku berdiri sambil berteriak tidak terlalu keras namun cukup bisa didengar player-player lain di gazebo sebelah. Aku mengulurkan tangan. Tangan kami bertautan -salam lama kami yang masih tidak dia lupakan.
"Dari mana aja lo?" gaya bahasanya masih sama seperti dulu, nampaknya dia tidak banyak berubah hingga sekarang.
"Biasa," aku menjawab sambil sedikit tersenyum lalu melirik Foxx yang masih duduk dan memandang kami berdua seperti menonton sebuah drama. "Oh, kukenalkan," aku memegang lengan Foxx yang kuraih dengan tangan kiriku, sedikit gerakan karena cukup jauh dari jangkauan tanganku. Foxx kemudian berdiri. "Dia Foxx." kenalku padanya.
"Aku Casey!" dia dengan semangat menyebutkan nicknamenya kepada Foxx sambil mengulurkan tangan ke arahnya. Foxx mengulurkan tangan juga.
"Aku Foxx." jawab Foxx singkat kemudian kedua tangan yang bertautan itu terlepas.
"By the way, dia pacarmu?" dengan pertanyaan itu, sebuah jitakan spontan sukses mendarat di kepalanya.
"Ngawur!" ucapku, lantas Foxx tertawa. "Dia teman satu partyku." tambahku pada Casey yang memegangi kepalanya sambil menatapku dengan tatapan sinis seperti biasanya.
"Nggak ada kemajuan lo! Dari dulu tetep nggak punya pacar!" ucapnya dengan bangga diikuti dengan tawa yang terbahak-bahak. Aku hanya diam sambil tersenyum memandanginya, berpikir kalau aku mungkin masih beruntung karena sifatnya masih belum berubah, jadi aku masih bisa mempercayai dia, setidaknya begitu.
"Kampret!" dengusku, agak keki. Tawanya berhenti setelah itu.
"Kalian ke sini, mau daftar?" tanyanya.
"Iya! Tapi gara-gara antreannya masih panjang, jadi kami di sini nunggu." Foxx menjawab, ekspresi wajahnya kembali seperti tadi.
"Oh~" Casey hanya manggut-manggut mendengar jawaban yang diberikan oleh Foxx.
"Lo juga?" tanyaku, dia langsung menoleh lagi menatapku.
"Iya."
"Seventh Heaven?"
Dia menggeleng "Nggak."
Sebuah jawaban yang tidak kuharapkan sekaligus tidak kuduga. Apakah guild lamanya sudah runtuh?
"Terus?" tanyaku melanjutkan.
Dia nampak berpikir sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu salah satunya diangkat memegang dagu.
"Aku bersama squad kecilku."
Aku lantas menggeleng, bukan itu maksud pertanyaanku "Guild."
Dia terdiam sejenak, ekspresinya berganti "Aku keluar -tidak. Belum keluar."
"Jadi?" tanyaku meyakinkan perkataannya.
"Setelah ketua lama kami diganti," dia kemudian duduk di kursi gazebo yang kami tempati, aku dan Foxx mengikutinya untuk duduk di kursi sebelah. "Diganti dengan seseorang yang datang dengan beberapa temannya. Setelah jabatan ketua secara resmi diberikan kepadanya, dia memulai berbagai perintah aneh." dia menjelaskan singkat.
"Ah, aku tidak mengerti." Foxx mengacak-acak rambutnya setelah mendengar penjelasan singkat Casey.
"Pemberontakan? Kudeta? Apa lo masih jadi wakil?" tanyaku beruntun, tidak memberikan jeda untuknya menjawab.
"Rencanaku, ya. Aku masih menjadi wakil karena aku masih tidak menunjukkan sikap-sikap yang mencurigakan." dia menjawab singkat, dapat menjelaskan situasinya secara garis besar kepadaku. Aku berspekulasi juga saat itu. Berarti ada yang memberontak sebelumnya.
"Hmm," aku berpikir sejenak dengan perkataannya tadi, membantu pun terlihat mustahil kalau hanya aku sendirian. "Aku sih, tidak bisa banyak membantu." ucapku.
"Aku tau," ucapnya seraya tersenyum kepadaku lalu menyandarkan bahunya pada kursi kayu bermotif ini. "Aku juga sedang membangun rencana saat ini." tambahnya.
"Seperti apa?" aku bertanya agar dia bisa memberikan sebuah penjelasan lebih kepadaku.
"Karena ini sebuah kebetulan, dan jangan marah dulu!" dia mengangkat bahunya dan juga kedua tangannya, sebuah isyarat jangan sesuai perkataannya barusan.
"Ayolah." ucapku memaksa dengan sedikit senyum tersungging.
"Skenario pertama: aku akan mengajakmu bergabung ke dalam guild..." aku ingin mendengar penjelasannya lebih detail "...dan mungkin kamu bisa mendapat kepercayaannya dengan melakukan serangkaian misi yang diberikan olehnya..." dia melanjutkan dengan nada datar sambil memainkan tangannya sebagai arahan "...ketika kamu mendapatkan kepercayaannya dan sebagian besar anak buahnya, kita bisa melakukan kudeta untuk mendapatkan posisinya. Dan kita harus mendapatkan suara lebih banyak daripada anggotanya, dan pada saat itu juga, kita harus bertahan dari serangan-serangan darinya, you know, dia pasti marah." jelasnya. Itu cukup menjelaskan bagaimana jalan rencana yang ia buat. Tapi masalahnya, aku tidak bisa melibatkan Foxx dan kelompoknya. Katakan saja, mereka bisa menjadi sandera, atau apapun itu.
"Hmm."
"Lalu," dia mengangkat kata lagi lebih dalam "Skenario kedua: kalau kamu gagal mendapatkan kepercayaannya, mungkin kita harus membunuhnya."
"PK?" tanyaku.
"Sejenis itulah."
"Tapi it-"
"-tenang! Itu tidak akan menjadi skenario kedua jika kamu mempunyai skenario-skenario lain yang lebih baik lagi." terangnya, itu cukup melegakan karena membunuh player lain di sini sama saja dengan membunuhnya di dunia nyata.
"Kurasa  rencana itu keren juga!" Foxx berseru kepada Casey dengan ekspresi wajah yang berbinar.
"Keren kepalamu!" aku menimpali perkataannya barusan, ekspresinya langsung berganti lagi, manyun. Casey terkekeh.
"Kamu tahu, aku tidak bisa melibatkanmu dan yang lainnya kalau seandainya aku setuju dengan rencana Casey." ucapku menatap tajam Foxx.
"Tapi-tapi-"
"-ini tentang nyawa." aku menyela ucapannya yang terbata-bata.
"Aku setuju denganmu," tambah Casey yang memandang ke arah Foxx juga. "Tapi selain itu kita juga membutuhkan pasukan." ucapannya yang terakhir membuat harapanku runtuh seketika. Kenapa dia tidak bilang kalau dia juga butuh pasukan?
"Tuh!" Foxx menunjuk Casey dengan jari telunjuknya.
Aku mengangkat kedua tanganku dan menautkannya di depan dadaku. Berpikir. Aku yakin kalau Avery sendiri pasti akan menolak permintaan Foxx untuk bergabung dalam misi ini dan menjadi pasukan pemberontak, atau malah ikut bergabung ke dalam guild.
"Bagaimana?" Casey bertanya, meminta kejelasanku terhadap masalahnya. Aku sendiri tidak bisa berpikir pasti. Di satu sisi aku ingin menolong Casey tanpa melibatkan Foxx dan yang lainnya. Namun di sisi lain aku pasti akan membutuhkan mereka setidaknya sebagai rencana cadangan kalau rencana ini tidak berjalan dengan lancar.
"Aku tidak bisa memutuskannya sendirian. Aku harus merundingkannya dengan pemimpin party kami jika seandainya kita butuh bantuan mereka." aku mengelak dengan halus, bukannya tidak ingin membantunya, namun aku sendiri tidak ingin mendapat risiko lain yang melibatkan orang luar seperti Foxx.
Casey terdiam sejenak, memandang pinggiran meja berbentuk bulat ini pada satu titik. "Baiklah," kemudian dia membuka menunya. Friend List. "Agar kita tetap saling terhubung."
Aku menerima permintaannya. "Kalau kami setuju, akan kuhubungi setelah event berakhir." ucapku.
"Pertimbangkan dengan matang," bisiknya, "Kamu berpartisipasi pada divisi mana?" tanyanya, kembali menyandarkan bahunya di kursi.
"He?" aku tidak mengerti dengan perkataannya.
"Event ini, dibagi menjadi dua divisi, agar adil. Divisi Party dan Divisi Squad."
"Oh~ Divisi Party." sudah jelas. Batas party hanya hingga enam orang saja, sedangkan kami hanya berlima. Kalau untuk squad, mungkin kami nanti tidak akan bisa berkompetisi dengan layak.
"Hmm," dia bergumam tidak jelas lalu berdiri "Kalau begitu, selamat berjuang di kompetisi." dia mengucapkannya dan pergi begitu saja.
"Apa kamu serius akan membantunya?" Foxx tiba-tiba saja bertanya setelah Casey pergi. Sekali lagi, ini bukan tentang mau atau tidak, ini tentang nyawa.
"Entah." aku menjawab ngawur.
Sebelum dia berbicara lebih panjang lagi tentang apa yang Casey rencanakan, akhirnya nomorku dipanggil. Aku terteleportasi secara otomatis menuju di mana ruang pendaftaran berada.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)