(Image: deviantart.net)
---
Legacy © Fariz Azmi
Lokasi
pendaftarannya tidak seperti yang kami duga, dengan wilayah yang dikelilingi
oleh hutan, dan juga para player-player
lain yang tidak kukenal dengan tujuan sama dengan kami. Tempat ini justru
terlihat menyenangkan. Terlebih dengan hewan-hewan non-monster yang kerap
terlihat berkeliaran di sekitar sini.
"Oh
iya." ucap Foxx yang terlihat seperti teringat akan sesuatu.
"Ada
apa?" tanyaku.
"Kamu
masih berhutang sesuatu padaku." dia memandangku dengan seksama.
"Berhutang
apa?" aku bahkan lupa pernah berhutang sesuatu kepadanya.
"Cerita.
Rainbow." jawabnya singkat dengan dua kata yang terpisah oleh titik.
"Oh,
benar juga!" aku jadi ingat dengan itu, ketika aku bertemu pertama kali
dengannya sekitar beberapa hari lalu, aku pernah berjanji untuk menceritakan
kisahku tentang Rainbow kepadanya. Namun nampaknya aku lupa dengan janjiku
padanya.
"Ceritakan!"
dia sedikit memaksa dengan memasang ekspresi yang memaksa juga.
"Nanti
saja setelah kita mendaftar, karena waktunya tidak akan cukup untuk
menceritakan itu." aku tersenyum. Kemudian dia mengulurkan jari
kelingkingnya kepadaku. Ini tanda sebuah kontrak janji.
"Janji?"
"Janji!"
aku melingkarkan jari kelingkingku dengan miliknya, tidak lama dan lalu
terlepas.
"Kalau
kamu lupa?"
"Kalau
aku lupa?"
Dia
mengangguk, lalu aku berpikir sebentar.
"Aku
akan meminjamkanmu Bahamut selama seminggu."
"Benarkah?"
Aku
mengangguk, sekarang dia terlihat yang berpikir.
"Kalau
begini aku jadi berharap kamu akan lupa menceritakannya." ucapnya lirih, manyun, lalu senyum jahil mengembang di sudut-sudut
bibirnya sembari dia memandangiku yang berada di sebelahnya. Aku hanya bisa
tersenyum balik kepadanya sambil mengacak-acak poninya yang barusan dia rapikan
ketika mendarat dari Bahamut. Aku terkekeh sembari melihatnya merapikan poninya
lagi, sebal mungkin.
Beberapa
menit berlalu seperti itu. Kami akhirnya sampai di depan mulut raid -tempat di mana pendaftaran itu
berada.
"Masih
ramai." ucapku. Foxx mengangguk setuju sambil terus melihat satu per satu player yang juga ikut mendaftar. Kira-kira
masih ada beberapa ratus party atau squad lagi. Aku menoleh, pendaftaran
ini sudah seperti pasien yang mengantre di rumah sakit, kau harus mengambil
nomor agar antreannya tidak panjang. Jadi kau bisa meninggalkan agar tidak
jenuh.
Lalu
aku mengambil nomor yang berada di meja depan sebuah bangunan kecil yang
digunakan untuk tempat mendaftar. Dua
ribu lima ratus sembilan puluh. Aku mengintip ke dalam. Ada empat buah
sekat resepsionis yang tidak terlalu berjauhan. Tempat ini sudah seperti tempat
festival saja.
"Panggilan untuk nomor dua ribu dua ratus
sembilan puluh dua." ah. Berarti ini lumayan lama juga, melihat mereka
yang mendaftar membutuhkan waktu yang terbilang tidak singkat. Seperti
menandatangani sebuah kontrak, mereka perlu membaca peraturan yang ditetapkan
dalam event kali ini.
Setelah
itu, aku kembali menemui Foxx yang menunggu di tempat aku meninggalkannya tadi.
Aku
mengacungkan kertas keras yang lebih terlihat seperti papan kecil itu kepada
Foxx.
"Masih
lama, ya?" dia manyun. Pribadi
seperti dia memang tidak cocok dengan kata menunggu. Sepertiku, aku juga tidak
terlalu suka menunggu sesuatu karena menunggu itu membosankan.
Aku
mengangguk atas pertanyaannya sambil tersenyum lalu memasukkan kertas nomor itu
ke dalam saku bajuku.
"Kamu
mau ngeluyur?"
"Sama
kamu?" dia bertanya balik dengan cepat sambil langsung menatapku dengan
tajam.
"E-eh,"
aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal karena bingung "Aku mau,
sih."
"Kalau
begitu ayo!" ajaknya dengan semangat. Tapi aku tidak bisa ikut ngeluyur kalau sedang menunggu nomor
pendaftaran ini.
"Kamu
sendiri saja, aku ‘kan masih harus menunggu pendaftaran." aku menolak
dengan halus dengan senyuman yang aku bisa tebak, terlihat terlalu memaksa.
Ekspresinya berganti lagi dengan cepat.
"Kalau
begitu nanti saja." dia jadi ikut-ikutan menolak ketika aku berkata
seperti itu. Ah, memang tidak bisa ditebak, kupikir dia akan ngeluyur begitu saja tanpa pikir panjang
ketika aku menawarinya.
"Yakin?"
godaku sambil tersenyum kepadanya.
"Tidak
akan seru kalau ngeluyur
sendirian!" dia nyengir.
"Eh, tapi kamu bisa bercerita tentang Rainbow sambil menunggu!"
Aku
berpikir sejenak. Perkataannya ada benarnya juga. Tapi, dari mana aku harus
memulai ceritaku?
"Hmm."
aku bergumam kecil karena bingung.
"Ada
apa?"
"Tidak.
Aku hanya berpikir sebentar."
"Oh~"
"Ah,
karena aku bingung memulai ceritanya. Lebih baik kamu bertanya padaku saja
tentang apa yang ingin kamu ketahui, jadi aku tidak akan bingung untuk
bercerita." tawarku dengan sebuah syarat yang lebih mendekati seperti wawancara
itu. Aku tidak bisa memikirkan ide yang lebih baik lagi selain itu.
"Boleh,
sih." dia manggut-manggut tanda setuju sambil terlihat berpikir, mungkin
dia sudah mulai memikirkan pertanyaan-pertanyaan beruntunnya yang akan
diluncurkan kepadaku.
"Sebelum
itu," aku menyela dulu ketika dia hendak berkata sesuatu, dia menatapku
tajam "Kita cari tempat duduk yang nyaman dulu." aku nyengir sambil mulai mengedarkan
pandanganku ke segala penjuru arah. Aku seperti berada di tengah-tengah pekan
raya jika situasinya seperti ini. Temanya benar-benar seperti di festival
liburan musim panas di Jepang, hanya saja di tempat ini masih dipenuhi oleh
salju-salju yang mulai berkurang. Kau tahu, ‘kan, kalau di Gunung Alpen akan
turun salju sepanjang tahun. Aku menoleh ke sana-kemari, mencari-cari sebuah spot yang kelihatannya nyaman, namun
sayang, semua spot yang terlihat
nyaman itu sudah digunakan semua.
"Nemu?" dia bertanya padaku. Aku
menggeleng tanpa menatap wajahnya.
"Jalan
saja dulu." ucapku sembari berjalan. Dia mengikuti dari belakang.
Dari
bangunan di mana tempat mendaftar itu kami berjalan ke sisi lain area yang
tidak simetris. Maklum, karena lokasinya masih di sekitar gunung. Kira-kira
luas area ini sekitar beberapa puluh hektar.
Gazebo-gazebo
berjejeran di sepanjang jalan yang dibuat dengan luas dua puluh meter namun
tertutupi oleh hujan salju yang berjatuhan, berhadapan dengan stan-stan milik NPC yang digunakan untuk berjualan berbagai
macam barang, mulai dari suvenir hingga makanan. Di ujung jalan aku bisa
melihat sebuah panggung yang cukup besar. Nampaknya event ini akan dibuat semeriah mungkin dengan acara hiburan. Kau
tahu, di VRO kita bisa menyalurkan
hobi kita juga, seperti ngeband dan
sebagainya. Mungkin akan ada hiburan musik besok. Kuharap tidak mengecewakan.
Aku
dan Foxx memutar ke sisi lain panggung yang barusan kami lewati, rupanya memang
seperti dugaanku, karena area ini cukup jauh dari kota, system mengubah sementara area di sini menjadi area aman. Para player pun bisa membuat tenda di sekitar
area yang tidak terpakai. Dan kurasa area ini memang bisa memuat hingga ribuan player dalam satu waktu. Berarti nanti
aku harus menghubungi Avery dan yang lainnya untuk membangun tenda dan menginap
di sini hingga event ini selesai.
Tidak
jauh di sana, akhirnya kami berdua bisa menemukan sebuah tempat yang terlihat
nyaman. Sebuah stan di ujung tanjakan menuju ke arah gunung yang lebih tinggi.
Empat gazebo berjejer di depan stannya. Tiga sudah terisi. Hanya tinggal satu
saja. Mungkin hari ini kami sedang beruntung.
Kami
segera menempati gazebo itu sebelum player
lain mendahului kami. Wajah-wajah asing yang tak kukenal, memperhatikan kami
dari tempat duduknya di gazebo mereka.
"Ah,
nyaman juga." ucapku ketika selesai menempatkan diri pada salah satu dari
empat kursi yang melingkari sebuah meja dengan payung yang menutupi sinar
matahari langsung ke arahku. Udaranya hari ini cukup sejuk dengan terik
matahari yang lebih daripada biasanya. Sekarang musimnya sedang transisi dari
musim semi menuju musim panas. Cuacanya lebih tidak menentu dibandingkan
biasanya.
"Uhm."
Foxx membersihkan tenggorokannya dengan berdeham sambil tersenyum sedikit, aku
sesekali meliriknya. Mestinya aku yang mendeham karena akulah yang akan
bercerita, bukan dia.
"Mulailah."
ucapku.
Dia
nampak berpikir sejenak, menimbang-nimbang beberapa hal yang bisa kutebak
adalah pertanyaan-pertanyaan yang akan dia berikan kepadaku, setelah dia yakin,
dia membuka mulut "Bagaimana kamu bisa bergabung dengan Rainbow?"
Pertanyaan
pertama, sekaligus memulai cerita awalku untuknya. Aku memulai bercerita
tentang bagaimana aku bertemu dengan mereka ketika aku sedang berburu sendirian
di sebuah gurun yang aku lupa apa namanya. Mereka melihatku bertarung sendirian
ketika mereka keluar dari portal raid
yang baru saja mereka selesaikan. Kalau tidak salah dulu aku masih level 41. Mereka memandangku bertarung
tanpa mengucapkan sepatah kata, ataupun membantuku. Mereka, hanya duduk dan
melihatku di sana. Mereka bertiga. White,
Black, dan Red.
"Hmm,
jadi saat itu mereka hanya melihatmu tanpa membantu?" dia terlihat semakin
tertarik dengan cerita singkatku selama sekitar beberapa menit itu.
Aku
mengangguk menjawab pertanyaannya. Kemudian dia melanjutkan dengan pertanyaan
selanjutnya. "Lalu apa yang terjadi setelah itu?"
Setelah
itu? Tentu saja, mereka hanya memandangiku bertarung hingga selesai. Dengan
sedikit kesusahan namun berhasil juga. Kemudian White, Vasheek perempuan pertama yang pernah kulihat dengan
kombinasi job Conjurer. Dia bertanya
padaku saat itu, "Kau mau bergabung
dengan party kami?" aksennya saat itu bisa kutebak
dia dari Jepang. Memang terdengar aneh kalau melihat sekumpulan orang yang
sedang melihatmu dan kemudian tiba-tiba mengajakmu untuk ikut bersama mereka.
Lalu
dengan itu, Red, datang mendekatiku
bersama Black. Di sini Red bertidak sebagai pemimpin kelompok kecil itu. Red sendiri merupakan seorang Pixie
dengan kombinasi aneh lainnya, yaitu Berserker. Sama seperti yang lainnya,
Black juga merupakan player dengan kombinasi yang tidak
biasa, Pixie dengan job Paladin. Bisa
bayangkan tubuh kurus Pixie membawa perisai besar?
Red mengulangi
pertanyaan White sebelumnya namun
dengan kalimat dan maksud yang jauh berbeda. "Take it or leave it." itu adalah sebuah kesempatan
sekali seumur hidupku. Jauh sebelum aku bertemu dengan mereka, tepatnya ketika
aku baru bermain VRO, mereka memang
sudah terkenal dengan gelar mereka sebagai pembantai
raid hanya dengan tiga orang anggota saja, yang kutahu mereka memang sedang
mencari anggota keempat mereka. Mereka adalah pelopor sebagai kelompok kecil
yang ajaib. Jadi mereka menyebutnya sebagai Rainbow. Rainbow tidak mengejar
popularitas, mereka tidak mengejar kekayaan, mereka juga tidak mengejar
kekuasaan. Saat aku bertanya tentang mengapa mereka menginginkanku bergabung
dengan mereka, Red dengan enteng
menjawab dengan jawaban yang sampai sekarang tidak bisa kumengerti. "Tidak ada alasan khusus, aku hanya
suka dengan nicknamemu." sama sekali jawaban yang tidak
kuharapkan keluar dari mulutnya. Dan juga, kabar burung yang banyak beredar
tentang mereka, tidak sepenuhnya benar semua namun juga sebaliknya.
Aku
bergabung dengan Rainbow.
"Tidak
disangka, ya? Seperti kejatuhan uang tepat di depan mata!" Foxx tertawa
sambil manggut-manggut sembari terus memandangiku dengan ekspresi anehnya,
menunggu untuk melanjutkan ceritaku.
Kami
tidak pernah berburu bersama, itu sebuah pengecualian. Tujuan kami hanya untuk
menyelesaikan raid. Jadi waktu banyak
dihabiskan untuk mencoba berbagai strategi di dalam raid sebelum kami bisa dengan mudah menyelesaikannya. Kami
mempunyai Red sebagai pengumpul
informasi mengenai monster dan area raid. Kami juga mempunyai White sebagai pengatur strategi kami.
Saat
itu, kami semua masih berada di dalam guild.
Red berada di guild yang bernama
Redcoat Heroes, sebuah guild besar
dengan dia sebagai ketuanya, entah kenapa dia malah memilih party kecil untuk menyelesaikan raid daripada bersama dengan anggota guildnya yang kuketahui juga kuat-kuat.
Kalau Black mempunyai guild yang
bernama Sacred Oath dan mempunyai jabatan sebagai petugas, sebuah pangkat di atas
anggota biasa dengan sedikit tugas dan kuasa lebih, guild itu bukan guild
besar yang menonjol namun juga cukup kuat. Lalu White, dia berada dalam guild Stray Heart, guild yang berisi 80% healer,
mulai dari Conjurer ataupun Priest. Kebanyakan player yang akan menyelesaikan raid akan menyewa seorang atau dua
orang healer dari sana. White sendiri mempunyai jabatan sebagai
ketua, sama seperti Red.
Aku?
Kalau aku berasal dari sebuah guild
kecil yang bahkan tidak banyak orang yang mengenal atau mengetahui
keberadaannya. Seventh Heaven. Aku bukan anggota yang aktif dalam guild, aku bahkan hanya anggota biasa di
sana walaupun beberapa kali aku sempat ditawari untuk sebuah jabatan petugas.
Singkatnya,
aku adalah anggota party yang tidak
mempunyai jabatan tinggi atau semacamnya, aku lebih pantas disebut sebagai
anggota yang entah-dari-mana-datangnya. Setidaknya, begitulah rumor yang
kudengar dulu setelah aku bergabung dengan Rainbow.
Dan
setelah beberapa bulan seperti itu, Red
membuat sebuah keputusan di mana kami semua harus meninggalkan guild agar dapat berfokus lebih ke
tujuan awal kami: menyelesaikan raid-raid yang tersebar di seluruh penjuru
dunia maya ini. Sebelumnya, White sempat mengusulkan sesuatu, mengapa kita tidak mendirikan sebuah guild
saja? Usul yang masuk akal. Semua setuju namun tidak dengan Red, dia bersikeras untuk tidak
mendirikan guild dengan beberapa
alasannya yang dapat kami terima. Kami keluar dari guild kami masing-masing setelah kesepakatan itu.
"Wah,
sayang sekali, padahal Rainbow akan sangat keren jika menjadi sebuah guild," Foxx berkomentar setelah
aku menyelesaikan potongan panjang kisahku. Dia nampak sangat serius
mendengarkan ceritaku. Dengan komentarnya itu, aku dari dulu juga berpikir
kalau Rainbow pasti akan menjadi
sebuah guild legendaris kalau pada
saat itu kami mendirikan guild.
"Lalu," dia menambah kalimatnya setelah jeda beberapa detik
"Ceritakan lebih banyak tentang mereka." dia mengganti posisinya,
meletakkan kedua tangannya sebagai tumpuan kepalanya pada kursi di depan kami.
Kemudian
aku melanjutkan ceritaku.
Pada
dasarnya kami semua mempunyai hobi yang sama: solo hunting.
Red. Yang kuketahui
tentang dirinya, dia di dunia nyata adalah seorang seorang mahasiswa juga, sama
sepertiku. Usianya tidak terlalu jauh dariku, hanya lebih tua beberapa tahun.
Dia berkebangsaan Rusia, walaupun dia tidak pernah menyebutkannya, aku dapat
mengetahuinya hanya dengan mendengar aksen berbicaranya. Red di dalam VRO, seperti
yang sudah kusebutkan tadi, dia mempunyai kombinasi ras dan job yang jarang. Pixie dan Berserker. Job damage-dealer
tertinggi yang ada di VRO. Walaupun
pada dasarnya Pixie itu tidak memiliki daya serang fisik yang besar, namun
dengan Red, itu semua berbanding
terbalik. Dia justru seorang damage-dealer
terbaik dengan base damagenya. Red
sebagai pemimpin party kami, dia
tidak banyak bicara, kurang lebih sifatnya sama seperti Avery.
Black. Dia adalah
seorang karyawan di sebuah perusahaan yang tidak kukenal di Amerika sana. Dia
sudah berkeluarga dan yang kuketahui juga, dia mempunyai seorang anak laki-laki
yang berusia empat tahun. Seperti nicknamenya,
dia adalah orang negro dengan humor-humor terbaik dan aksen khas yang
dibawanya. Dari semua tiga anggota party,
mungkin dialah yang paling kusukai. Yang paling aku suka dari dia adalah ketika dia mengguruiku dengan
kata-kata lucunya. Di dalam VRO, dia
adalah tanker tangguh yang mempunyai
keberuntungan di atas orang lain, dan sebagai pemberi komando, dia selalu
mengerti situasi yang sedang dihadapi dan pembuat keputusan tepat. Meskipun dia
bukan pemimpin party, namun mayoritas
komando datang dari mulutnya.
White. Satu-satunya
gadis termuda kukenal yang bermain VRO.
Tapi walaupun demikian, dia sangat hebat dengan sifat dewasanya dibandingkan
anak-anak lain yang seumuran dengannya, dan terlebih lagi, dia adalah seorang
wakil ketua guild yang berisi
anggota-anggota hebat. Usianya? Setahuku dia berusia sebelas tahun ketika
pertama kali bertemu, masih menuntut ilmu di sekolah dasar di sebuah kota kecil
di Jepang. Meskipun begitu, dia masih mempunyai sifat kekanak-kanakannya
seperti anak-anak pada umumnya, hanya saja yang membuatnya berbeda adalah
dengan bagaimana cara dia berpikir, dia seperti, mempunyai visi. Dalam
pertempuran pun, dia bisa diandalkan sebagai fondasi formasi. Dia adalah
seorang Conjurer yang mempunyai skill
bertarung di samping sebagai healer
saja, dan tidak banyak Conjurer yang memiliki skill sekunder seperti itu. Dia seorang Conjurer tipe langka.
"Blue!"
ceritaku terhenti ketika usai membicarakan White. Ada seseorang yang memanggilku.
Aku menoleh begitu juga dengan Foxx. Sebuah lambaian tangan kulihat dari
seorang player dari kejauhan. Aku tak
tahu siapa dia karena aku tidak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Namun dari
suaranya aku bisa mengenalinya dengan samar-samar
Dia
kemudian berjalan mendekat. Langkah demi langkah. Sosoknya semakin terlihat
jelas seiring langkahnya menuju arah kami.
Sosok
dengan wajah yang tak asing bagiku, namun aku masih belum yakin dengan apa dan
siapa yang sedang kulihat.
"Blue!"
dia mengulanginya lagi ketika sudah cukup dekat. Suara itu suara yang kukenal.
Untuk sekali lagi, aku bertemu dengan teman lama -atau seorang sahabatku. Casey.
Dia benar-benar Casey.
"Dia
temanmu, Blue?" pertanyaan Foxx hampir tidak bisa kudengar karena aku
terlalu tercengang dengan apa yang sedang kupandang beberapa meter di depanku.
Aku mengangguk tanpa menoleh ke arahnya.
"Casey..." suaraku tergantung di ujung
nicknamenya.
"Lama
nggak ketemu!" dia menaikkan tangan kanannya, wajahnya yang khas itu
terpampang kembali di depan wajahku setelah dua tahun ini kami tidak bertemu.
Wajah songong dan konyol miliknya.
Dan oh, nampaknya dia player yang
cukup hebat sekarang kalau dilihat dari pakaiannya yang terlihat cukup mengesankan,
menurutku.
"Hei!"
aku berdiri sambil berteriak tidak terlalu keras namun cukup bisa didengar player-player lain di gazebo sebelah.
Aku mengulurkan tangan. Tangan kami bertautan -salam lama kami yang masih tidak
dia lupakan.
"Dari
mana aja lo?" gaya bahasanya masih sama seperti dulu, nampaknya dia
tidak banyak berubah hingga sekarang.
"Biasa,"
aku menjawab sambil sedikit tersenyum lalu melirik Foxx yang masih duduk dan
memandang kami berdua seperti menonton sebuah drama. "Oh,
kukenalkan," aku memegang lengan Foxx yang kuraih dengan tangan kiriku,
sedikit gerakan karena cukup jauh dari jangkauan tanganku. Foxx kemudian
berdiri. "Dia Foxx." kenalku padanya.
"Aku
Casey!" dia dengan semangat menyebutkan nicknamenya kepada Foxx sambil mengulurkan tangan ke arahnya. Foxx
mengulurkan tangan juga.
"Aku
Foxx." jawab Foxx singkat kemudian kedua tangan yang bertautan itu
terlepas.
"By the way, dia pacarmu?" dengan
pertanyaan itu, sebuah jitakan spontan sukses mendarat di kepalanya.
"Ngawur!" ucapku, lantas Foxx
tertawa. "Dia teman satu partyku."
tambahku pada Casey yang memegangi kepalanya sambil menatapku dengan tatapan
sinis seperti biasanya.
"Nggak
ada kemajuan lo! Dari dulu tetep nggak punya pacar!" ucapnya
dengan bangga diikuti dengan tawa yang terbahak-bahak. Aku hanya diam sambil
tersenyum memandanginya, berpikir kalau aku mungkin masih beruntung karena
sifatnya masih belum berubah, jadi aku masih bisa mempercayai dia, setidaknya
begitu.
"Kampret!" dengusku, agak keki.
Tawanya berhenti setelah itu.
"Kalian
ke sini, mau daftar?" tanyanya.
"Iya!
Tapi gara-gara antreannya masih panjang, jadi kami di sini nunggu." Foxx menjawab, ekspresi wajahnya kembali seperti
tadi.
"Oh~"
Casey hanya manggut-manggut mendengar jawaban yang diberikan oleh Foxx.
"Lo juga?" tanyaku, dia langsung
menoleh lagi menatapku.
"Iya."
"Seventh
Heaven?"
Dia
menggeleng "Nggak."
Sebuah
jawaban yang tidak kuharapkan sekaligus tidak kuduga. Apakah guild lamanya sudah runtuh?
"Terus?"
tanyaku melanjutkan.
Dia
nampak berpikir sambil menyilangkan kedua tangannya di depan dada, lalu salah
satunya diangkat memegang dagu.
"Aku
bersama squad kecilku."
Aku
lantas menggeleng, bukan itu maksud pertanyaanku "Guild."
Dia
terdiam sejenak, ekspresinya berganti "Aku keluar -tidak. Belum
keluar."
"Jadi?"
tanyaku meyakinkan perkataannya.
"Setelah
ketua lama kami diganti," dia kemudian duduk di kursi gazebo yang kami
tempati, aku dan Foxx mengikutinya untuk duduk di kursi sebelah. "Diganti
dengan seseorang yang datang dengan beberapa temannya. Setelah jabatan ketua
secara resmi diberikan kepadanya, dia memulai berbagai perintah aneh." dia
menjelaskan singkat.
"Ah,
aku tidak mengerti." Foxx mengacak-acak rambutnya setelah mendengar
penjelasan singkat Casey.
"Pemberontakan?
Kudeta? Apa lo masih jadi
wakil?" tanyaku beruntun, tidak memberikan jeda untuknya menjawab.
"Rencanaku,
ya. Aku masih menjadi wakil karena aku masih tidak menunjukkan sikap-sikap yang
mencurigakan." dia menjawab singkat, dapat menjelaskan situasinya secara
garis besar kepadaku. Aku berspekulasi juga saat itu. Berarti ada yang
memberontak sebelumnya.
"Hmm,"
aku berpikir sejenak dengan perkataannya tadi, membantu pun terlihat mustahil
kalau hanya aku sendirian. "Aku sih, tidak bisa banyak membantu."
ucapku.
"Aku
tau," ucapnya seraya tersenyum
kepadaku lalu menyandarkan bahunya pada kursi kayu bermotif ini. "Aku juga
sedang membangun rencana saat ini." tambahnya.
"Seperti
apa?" aku bertanya agar dia bisa memberikan sebuah penjelasan lebih
kepadaku.
"Karena
ini sebuah kebetulan, dan jangan marah dulu!" dia mengangkat bahunya dan
juga kedua tangannya, sebuah isyarat jangan
sesuai perkataannya barusan.
"Ayolah."
ucapku memaksa dengan sedikit senyum tersungging.
"Skenario
pertama: aku akan mengajakmu bergabung ke dalam guild..." aku ingin mendengar penjelasannya lebih detail
"...dan mungkin kamu bisa mendapat kepercayaannya dengan melakukan
serangkaian misi yang diberikan olehnya..." dia melanjutkan dengan nada
datar sambil memainkan tangannya sebagai arahan "...ketika kamu
mendapatkan kepercayaannya dan sebagian besar anak buahnya, kita bisa melakukan
kudeta untuk mendapatkan posisinya. Dan kita harus mendapatkan suara lebih
banyak daripada anggotanya, dan pada saat itu juga, kita harus bertahan dari
serangan-serangan darinya, you know,
dia pasti marah." jelasnya. Itu cukup menjelaskan bagaimana jalan rencana
yang ia buat. Tapi masalahnya, aku tidak bisa melibatkan Foxx dan kelompoknya.
Katakan saja, mereka bisa menjadi sandera, atau apapun itu.
"Hmm."
"Lalu,"
dia mengangkat kata lagi lebih dalam "Skenario kedua: kalau kamu gagal
mendapatkan kepercayaannya, mungkin kita harus membunuhnya."
"PK?" tanyaku.
"Sejenis
itulah."
"Tapi
it-"
"-tenang!
Itu tidak akan menjadi skenario kedua jika kamu mempunyai skenario-skenario
lain yang lebih baik lagi." terangnya, itu cukup melegakan karena membunuh
player lain di sini sama saja dengan
membunuhnya di dunia nyata.
"Kurasa rencana itu keren juga!" Foxx berseru
kepada Casey dengan ekspresi wajah yang berbinar.
"Keren
kepalamu!" aku menimpali perkataannya barusan, ekspresinya langsung
berganti lagi, manyun. Casey
terkekeh.
"Kamu
tahu, aku tidak bisa melibatkanmu dan yang lainnya kalau seandainya aku setuju
dengan rencana Casey." ucapku menatap tajam Foxx.
"Tapi-tapi-"
"-ini
tentang nyawa." aku menyela ucapannya yang terbata-bata.
"Aku
setuju denganmu," tambah Casey yang memandang ke arah Foxx juga.
"Tapi selain itu kita juga membutuhkan pasukan." ucapannya yang
terakhir membuat harapanku runtuh seketika. Kenapa dia tidak bilang kalau dia
juga butuh pasukan?
"Tuh!"
Foxx menunjuk Casey dengan jari telunjuknya.
Aku
mengangkat kedua tanganku dan menautkannya di depan dadaku. Berpikir. Aku yakin
kalau Avery sendiri pasti akan menolak permintaan Foxx untuk bergabung dalam
misi ini dan menjadi pasukan pemberontak, atau malah ikut bergabung ke dalam guild.
"Bagaimana?"
Casey bertanya, meminta kejelasanku terhadap masalahnya. Aku sendiri tidak bisa
berpikir pasti. Di satu sisi aku ingin menolong Casey tanpa melibatkan Foxx dan
yang lainnya. Namun di sisi lain aku pasti akan membutuhkan mereka setidaknya
sebagai rencana cadangan kalau rencana ini tidak berjalan dengan lancar.
"Aku
tidak bisa memutuskannya sendirian. Aku harus merundingkannya dengan pemimpin party kami jika seandainya kita butuh
bantuan mereka." aku mengelak dengan halus, bukannya tidak ingin
membantunya, namun aku sendiri tidak ingin mendapat risiko lain yang melibatkan
orang luar seperti Foxx.
Casey
terdiam sejenak, memandang pinggiran meja berbentuk bulat ini pada satu titik.
"Baiklah," kemudian dia membuka menunya. Friend List. "Agar kita tetap saling terhubung."
Aku
menerima permintaannya. "Kalau kami setuju, akan kuhubungi setelah event berakhir." ucapku.
"Pertimbangkan
dengan matang," bisiknya, "Kamu berpartisipasi pada divisi
mana?" tanyanya, kembali menyandarkan bahunya di kursi.
"He?"
aku tidak mengerti dengan perkataannya.
"Event ini, dibagi menjadi dua divisi,
agar adil. Divisi Party dan Divisi Squad."
"Oh~
Divisi Party." sudah jelas.
Batas party hanya hingga enam orang
saja, sedangkan kami hanya berlima. Kalau untuk squad, mungkin kami nanti tidak akan bisa berkompetisi dengan
layak.
"Hmm,"
dia bergumam tidak jelas lalu berdiri "Kalau begitu, selamat berjuang di
kompetisi." dia mengucapkannya dan pergi begitu saja.
"Apa
kamu serius akan membantunya?" Foxx tiba-tiba saja bertanya setelah Casey
pergi. Sekali lagi, ini bukan tentang mau atau tidak, ini tentang nyawa.
"Entah."
aku menjawab ngawur.
Sebelum
dia berbicara lebih panjang lagi tentang apa yang Casey rencanakan, akhirnya
nomorku dipanggil. Aku terteleportasi secara otomatis menuju di mana ruang
pendaftaran berada.
--