21 May 2015

Legacy - 04.1

(Image: www.richardsmithartist.co.nz)

---

Legacy © Fariz Azmi



23 Juli 2018.
Cukup susah juga membuat keputusan yang dibuat Avery sebelumnya untuk di rubah. Namun itu semua berbuah hasil ketika aku menantangnya untuk menyelesaikan sebuah raid. Taruhannya? Jika aku berhasil menyelesaikan raid itu dengan komandoku, Avery akan memperbolehkanku mendaftarkan party kita ke dalam kompetisi yang akan dimulai empat hari itu. Namun jika dengan komandoku kami gagal menyelesaikan raid itu, Avery akan tetap pada keputusannya sebelumnya.

Dan hasilnya? Walaupun dengan sedikit susah payah karena Foxx sedikit susah untuk diberi perintah, namun pada akhirnya kami berhasil menyelesaikan raid terdekat dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi itu.
"Baiklah, jadi siapa di antara kalian yang mau pergi untuk mendaftarkan party kita?" setelah terdiam untuk beberapa saat setelah makan pagi, akhirnya kata-kata yang kami tunggu keluar dari mulut Avery.
"Aku! Biar aku dan Blue saja!" Foxx tiba-tiba berteriak dengan semangat yang sontak membuat kami berempat menoleh ke arahnya. Dia hanya bisa nyengir sambil memandangi kami secara bergantian
"Ha, aku?" aku protes karena namaku disebut olehnya, kenapa harus aku? Mengapa tidak bersama Avery atau Cello saja?
"Hmm." Avery menimbang-nimbang sejenak perkataan Foxx barusan.
"Bagaimana?" tanya Foxx.
"Baiklah, Foxx dan Blue," ucap Avery "Tapi aku mengizinkan Blue karena aku tidak terlalu percaya dengan Foxx akan sampai pada misinya kali ini, dan juga, karena Blue juga yang sudah membuatku mengubah keputusanku kali ini." tambahnya panjang. Jadi ini karena aku? Haha. Tapi kalau dipikir-pikir benar juga, sih. Kalau Avery hanya mengirim Foxx saja, aku pun juga ragu dia akan tiba di sana, atau dia malah akan ngeluyur entah ke mana, atau bahkan dia akan tersesat.
Foxx manyun sebentar lalu mengubah ekspresinya lagi, "Jadi, kapan kami bisa berangkat?" tanya Foxx tanpa mempedulikan kata sindiran Avery barusan, mungkin dia sempat memikirkannya sebentar, namun dengan cepat ia hapus dari pikirannya.
"As soon as possible." Cello menjawab lalu pergi entah ke mana.
"Secepatnya, waktu deadline untuk mendaftar hanya tinggal dua hari lagi." kata Avery menambahi.
"Kalau begitu kami akan berangkat sekarang!" tiba-tiba Foxx berdiri setelah mengucapkan itu, menarik lengan bajuku dan beranjak keluar.
"Kita pergi sekarang?" tanyaku, menghentikan langkah keduanya.
Dia mengangguk yakin.
"Lalu siapa yang membersihkan semua ini?" aku bertanya lagi, merujuk pada piring-piring kotor yang kami gunakan untuk makan pagi ini.
"Oh, itu, Arianne bisa membersihkannya." jawabnya enteng. Apa dia memang seperti ini kalau sudah terlalu bersemangat?
"Tenang saja." Arianne menimpali pernyataan Foxx dengan senyuman datar.
"Ayo!" lalu Foxx kembali menarik lenganku setelah terhenti sebentar.
"Tidak apa-apa?" aku bertanya pada Foxx yang berjalan di depan setelah kami berdua keluar dari rumah. Dia terlihat ingin sekali pergi sejenak dari mereka.
Foxx mengangguk pelan lalu menoleh ke arahku "Tidak apa." dia tersenyum.
"Hmm." timpalku, aku bingung harus berkata apa.
"Ada apa, Blue?" dia bertanya, pertanyaan yang tidak biasa kalau dia mengatakan itu.
"Aneh saja."
"Apa yang aneh?" dia bertanya lagi sambil menurunkan kecepatan berjalannya.
"Kamu."
"He? Aku aneh? Tentang apa?" dia terlihat sedikit terkejut dengan jawabanku karena menanggapnya cukup aneh.
"Semua ini."
"Yah," dia mengangguk lalu menoleh ke atas, ke arah langit. "Aku memang seperti ini," dia diam sebentar lalu menoleh lagi ke arahku yang baru saja tepat berjalan di sebelahnya. "Jadi, di mana tempat mendaftarnya?"
Dia bahkan belum tahu di mana tempat mendaftarnya meski sudah terlihat seperti tahu semuanya. Benar-benar gadis yang lugu.
"Tertulis di sini, pendaftarannya ada di depan tempat masuk raidnya."
"Wah~ aku tidak sabar untuk mendaftar nanti!" suaranya kembali bersemangat lagi, moodnya memang cepat berganti, aku kagum dengannya, "Di mana tempat raid itu?"
"Storm Orion Hive. Swiss. Gunung Alpen. Tahu, ‘kan?"
"Itu berarti jauh dari kota, ya?"
Aku berpikir sejenak, aku dulu pernah ke sana beberapa kali dan memang Gunung Alpen itu berada jauh dari kota. Kalau kompetisi ini dimulai pagi, kita mungkin tidak memiliki waktu cukup banyak ke sana walaupun dibantu dengan menunggangi mount.
"Hmm." Swiss itu adalah negara yang setengah wilayahnya adalah gunung. Jadi dengan rute yang cukup sulit, mungkin nanti kami harus mencari sebuah penginapan yang dekat dengan lokasi raidnya.
"Apa ini tidak terlalu aneh?" tanyaku lagi.
"Tentang apa? Jangan bilang kalau aku ini aneh lagi!" tebaknya sambil mengeluarkan gelembung di kedua pipinya, dia manyun.
"Bukan," aku menghentikan kalimatku sejenak ketika dia kembali mengubah ekspresinya "Kalau dulu, kita mendaftar event hanya perlu mengirimkan email kepada yang bersangkutan."
"Lalu?"
"Sekarang, kita seperti akan di biasakan untuk hidup di sini."
"Seperti apa contohnya?"
"Seperti pendaftaran ini. Mengapa kita harus jauh-jauh datang ke tempat pendaftarannya? Mengapa mereka tidak menggunakan fitur mailbox saja untuk mendaftar. Itu lebih simpel, ‘kan."
"Gunakan bahasa yang bisa kumengerti, Blue!" dia nyengir lalu mempercepat jalannya. "Lihat, portalnya sudah terlihat!"
Dia memang orang yang tidak bisa ditebak.
Aku berjalan mengikutinya dari belakang sambil tetap memandanginya. Caranya hidup tidak seperti orang kebanyakan. Dia gadis yang berusaha bebas dan bahagia dengan tidak mempedulikan orang lain yang menghinanya.
"Kota mana?" dia bertanya lagi sesampainya di depan portal itu, bersiap untuk memasukinya.
"Apanya?" aku bertanya tidak mengerti, entah karena tidak fokus atau pertanyaannya yang kurang jelas.
"Kota tujuan kita?" kini aku mengerti, yang dimaksud adalah kota terdekat menuju tempat raid itu berada.
"Oh, Berne," aku sesegera menghentikan gerakannya dengan memegang lengannya sebelum dia memasuki portal itu, "Sebaiknya kamu berganti pakaian, karena akan dingin di sana." kemudian aku lepaskan peganganku pada lengannya.
Aku berganti pakaian, diikuti olehnya.
Kemudian dia memasukinya terlebih dahulu, tak lama setelah itu baru aku masuk mengikutinya.
Aku keluar setelah berpindah ke kota tujuanku, Berne.
"Foxx." aku memanggilnya ketika melihat dia sedang melihat-lihat toko kecil milik NPC yang berada di pinggir jalan.
"Hmm?" dia menjawab tanpa menoleh ke arahku, nampaknya dia menyukai sesuatu yang sedikit unik. Itu adalah suvenir.
"Sedang lihat apa?" aku bertanya ketika sampai di sebelahnya. Itu memang suvenir. Kebanyakan suvenir dijual oleh NPC di dekat portal kota agar memudahkan player membelinya. Harga yang ditawarkan pun bermacam-macam sesuai dengan kelangkaan barangnya. Semakin susah suvenir didapatkan, semakin tinggi pula harga yang ditawarkan. Kudengar-dengar ada achievement untuk pengoleksi barang-barang suvenir. Walaupun terdengar tidak menguntungkan dan sia-sia, rupanya hobi itu bisa menjadi sebuah investasi karena item suvenir tidak dapat dibuat, kalau barangnya rusak pun memperbaikinya juga mahal untuk bahan dan biaya perbaikannya. Maka dari itu, selain jumlah yang terbatas, harganya pun bisa dijadikan investasi jangka panjang bagi player.
"Suvenir." dia menjawab singkat.
"Mau kubelikan?" tawarku. Dia lalu tersenyum dan aku makin bingung.
"Tidak perlu. Lebih baik simpan saja untuk sesuatu yang lebih penting." tumben, kata-katanya bijak sekali kali ini.
"Baiklah."
"Apakah kamu mau berkeliling dulu sebelum mendaftar? Lagi pula kita bisa mendaftar nanti." alihnya, sudah bisa ditebak. Coba kalau dia sendirian, dia pasti akan ngeluyur entah ke mana dan pada akhirnya lupa dengan tugas utamanya.
"Nanti saja. Kita bisa ngeluyur setelah mendaftar."
Dia manyun. "Ya sudah, tapi janji, ya!" ekspresinya berganti saat itu juga. Aku masih heran dengan caranya mengganti ekspresi dengan cepat.
"Hmm." aku membuka menu, berniat mengeluarkan Bahamut untuk transportasi kami ke Gunung Alpen.
"Sedang apa?" dia bertanya padaku.
"Kita kan butuh transportasi untuk bisa sampai di sana." aku akhirnya mengeluarkan item itu, Bahamut's flute.
"Sebuah seruling?" dia tertawa.
Aku menggeleng menolak pernyataannya sambil terkekeh dengan pertanyaan konyolnya yang polos, kemudian aku memamerkan detail item itu kepada Foxx.
"He? Bahamut? Ini ‘kan mount langka! Hanya ada sekitar empat puluh player yang memilikinya! Dari mana kamu mendapatkan barang ini?" dia sangat terkejut ketika membaca detail item yang kuperlihatkan kepadanya. Item ini memang langka karena pada zamanku dulu ketika aku berhasil menyelesaikan eventnya, hanya ada lima atau enam kelompok yang juga berhasil menyelesaikan raidnya dan mendapatkan item ini sebagai hadiahnya.
"Apa kamu dulu tidak mendengar kabar itu? Rainbow adalah salah satu party yang menyelesaikan event itu." jelasku.
"Cepat keluarkan! Aku ingin melihatnya langsung! Bahamut, dia pasti keren sekali!" dia begitu bersemangat setelah itu. Dan aku pun tidak membuang waktu pagi kami untuk ngeluyur dulu. Kami akan langsung pergi menuju ke tempat pendaftaran event.
Setelah kutiup seruling itu, Bahamut datang entah dari mana.
Foxx takjub ketika melihat naga besar itu datang mendarat tepat di depan kami. Hampir semua player yang sedang berada di sekitar kami langsung teralihkan pandangannya karena Bahamut. Ini pemandangan yang cukup langka, kok, karena Bahamut memang jarang sekali terlihat.
Aku menaiki Bahamut terlebih dahulu, lalu aku ulurkan tanganku untuk Foxx agar bisa membantunya menaiki Bahamut karena memang naga ini cukup tinggi.
Setelah kami berdua sudah berada di atas Bahamut, dengan gagah naga ini mengibaskan sayapnya. Kami terbang.
Dari atas, kami masih dapat melihat pemandangan player-player lain yang bergerak menuju tempat yang sama dengan tujuan kami. Lewat jalur darat dengan menunggangi mount mereka, ataupun terbang menggunakan mount terbang mereka, tapi hanya aku saja yang membawa Bahamut.
"Pemandangannya cukup bagus!" teriak Foxx dengan samar karena kecepatan dan kepakan sayap Bahamut yang keras. Sesekali kutengok ke belakang melihatnya yang berulang kali merapikan kembali rambut sebahu berwarna merahnya yang tertiup angin ke sana-kemari, dia nampak sebal karena rambutnya yang berantakan itu. Namun di samping itu, dia juga terlihat senang.
"Swiss memang terkenal dengan pemandangan gunungnya!" aku berteriak kepadanya dengan menoleh 90 derajat. Dia menangguk setuju dengan perkataanku.
"Aku sependapat denganmu, Blue!"
"Aku senang melihatmu senang seperti ini!" teriakku, namun tidak terlalu keras, suaraku justru tenggelam dalam suara angin.
"Apa yang kamu katakan barusan?" dia bertanya, seperti dugaanku kalau dia tidak bisa mendengarnya jelas karena suara angin yang sangat keras ini.
"Tidak! Bukan apa-apa!" jawabku. Dia hanya memaklumi sambil terus melihat pemandangan yang terlihat di sepanjang matanya memandang.
Matahari yang masih setengah muncul di langit. Cahaya teriknya. Warna kuning muda. Ini semua seolah nyata bagiku.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)