(Image: www.richardsmithartist.co.nz)
---
Legacy © Fariz Azmi
23 Juli 2018.
Cukup susah juga
membuat keputusan yang dibuat Avery sebelumnya untuk di rubah. Namun itu semua
berbuah hasil ketika aku menantangnya untuk menyelesaikan sebuah raid. Taruhannya? Jika aku berhasil
menyelesaikan raid itu dengan
komandoku, Avery akan memperbolehkanku mendaftarkan party kita ke dalam kompetisi yang akan dimulai empat hari itu.
Namun jika dengan komandoku kami gagal menyelesaikan raid itu, Avery akan tetap pada keputusannya sebelumnya.
Dan hasilnya? Walaupun
dengan sedikit susah payah karena Foxx sedikit susah untuk diberi perintah,
namun pada akhirnya kami berhasil menyelesaikan raid terdekat dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi itu.
"Baiklah,
jadi siapa di antara kalian yang mau pergi untuk mendaftarkan party kita?" setelah terdiam untuk
beberapa saat setelah makan pagi, akhirnya kata-kata yang kami tunggu keluar
dari mulut Avery.
"Aku! Biar
aku dan Blue saja!" Foxx tiba-tiba berteriak dengan semangat yang sontak
membuat kami berempat menoleh ke arahnya. Dia hanya bisa nyengir sambil memandangi kami secara bergantian
"Ha,
aku?" aku protes karena namaku disebut olehnya, kenapa harus aku? Mengapa
tidak bersama Avery atau Cello saja?
"Hmm."
Avery menimbang-nimbang sejenak perkataan Foxx barusan.
"Bagaimana?"
tanya Foxx.
"Baiklah,
Foxx dan Blue," ucap Avery "Tapi aku mengizinkan Blue karena aku
tidak terlalu percaya dengan Foxx akan sampai pada misinya kali ini, dan juga,
karena Blue juga yang sudah membuatku mengubah keputusanku kali ini."
tambahnya panjang. Jadi ini karena aku? Haha. Tapi kalau dipikir-pikir benar
juga, sih. Kalau Avery hanya mengirim Foxx saja, aku pun juga ragu dia akan
tiba di sana, atau dia malah akan ngeluyur
entah ke mana, atau bahkan dia akan tersesat.
Foxx manyun sebentar lalu mengubah
ekspresinya lagi, "Jadi, kapan kami bisa berangkat?" tanya Foxx tanpa
mempedulikan kata sindiran Avery barusan, mungkin dia sempat memikirkannya
sebentar, namun dengan cepat ia hapus dari pikirannya.
"As soon as possible." Cello menjawab
lalu pergi entah ke mana.
"Secepatnya,
waktu deadline untuk mendaftar hanya
tinggal dua hari lagi." kata Avery menambahi.
"Kalau begitu
kami akan berangkat sekarang!" tiba-tiba Foxx berdiri setelah mengucapkan
itu, menarik lengan bajuku dan beranjak keluar.
"Kita pergi
sekarang?" tanyaku, menghentikan langkah keduanya.
Dia mengangguk
yakin.
"Lalu siapa
yang membersihkan semua ini?" aku bertanya lagi, merujuk pada
piring-piring kotor yang kami gunakan untuk makan pagi ini.
"Oh, itu,
Arianne bisa membersihkannya." jawabnya enteng. Apa dia memang seperti ini
kalau sudah terlalu bersemangat?
"Tenang
saja." Arianne menimpali pernyataan Foxx dengan senyuman datar.
"Ayo!"
lalu Foxx kembali menarik lenganku setelah terhenti sebentar.
"Tidak
apa-apa?" aku bertanya pada Foxx yang berjalan di depan setelah kami
berdua keluar dari rumah. Dia terlihat ingin sekali pergi sejenak dari mereka.
Foxx mengangguk
pelan lalu menoleh ke arahku "Tidak apa." dia tersenyum.
"Hmm."
timpalku, aku bingung harus berkata apa.
"Ada apa,
Blue?" dia bertanya, pertanyaan yang tidak biasa kalau dia mengatakan itu.
"Aneh
saja."
"Apa yang
aneh?" dia bertanya lagi sambil menurunkan kecepatan berjalannya.
"Kamu."
"He? Aku
aneh? Tentang apa?" dia terlihat sedikit terkejut dengan jawabanku karena
menanggapnya cukup aneh.
"Semua
ini."
"Yah,"
dia mengangguk lalu menoleh ke atas, ke arah langit. "Aku memang seperti
ini," dia diam sebentar lalu menoleh lagi ke arahku yang baru saja tepat
berjalan di sebelahnya. "Jadi, di mana tempat mendaftarnya?"
Dia bahkan belum
tahu di mana tempat mendaftarnya meski sudah terlihat seperti tahu semuanya.
Benar-benar gadis yang lugu.
"Tertulis di
sini, pendaftarannya ada di depan tempat masuk raidnya."
"Wah~ aku
tidak sabar untuk mendaftar nanti!" suaranya kembali bersemangat lagi, moodnya memang cepat berganti, aku kagum
dengannya, "Di mana tempat raid
itu?"
"Storm Orion Hive. Swiss. Gunung Alpen. Tahu, ‘kan?"
"Itu berarti
jauh dari kota, ya?"
Aku berpikir
sejenak, aku dulu pernah ke sana beberapa kali dan memang Gunung Alpen itu
berada jauh dari kota. Kalau kompetisi ini dimulai pagi, kita mungkin tidak
memiliki waktu cukup banyak ke sana walaupun dibantu dengan menunggangi mount.
"Hmm."
Swiss itu adalah negara yang setengah wilayahnya adalah gunung. Jadi dengan rute
yang cukup sulit, mungkin nanti kami harus mencari sebuah penginapan yang dekat
dengan lokasi raidnya.
"Apa ini
tidak terlalu aneh?" tanyaku lagi.
"Tentang apa?
Jangan bilang kalau aku ini aneh lagi!" tebaknya sambil mengeluarkan
gelembung di kedua pipinya, dia manyun.
"Bukan,"
aku menghentikan kalimatku sejenak ketika dia kembali mengubah ekspresinya "Kalau
dulu, kita mendaftar event hanya
perlu mengirimkan email kepada yang
bersangkutan."
"Lalu?"
"Sekarang,
kita seperti akan di biasakan untuk hidup di sini."
"Seperti apa
contohnya?"
"Seperti
pendaftaran ini. Mengapa kita harus jauh-jauh datang ke tempat pendaftarannya? Mengapa
mereka tidak menggunakan fitur mailbox
saja untuk mendaftar. Itu lebih simpel, ‘kan."
"Gunakan
bahasa yang bisa kumengerti, Blue!" dia nyengir lalu mempercepat jalannya. "Lihat, portalnya sudah
terlihat!"
Dia memang orang
yang tidak bisa ditebak.
Aku berjalan
mengikutinya dari belakang sambil tetap memandanginya. Caranya hidup tidak
seperti orang kebanyakan. Dia gadis yang berusaha bebas dan bahagia dengan
tidak mempedulikan orang lain yang menghinanya.
"Kota
mana?" dia bertanya lagi sesampainya di depan portal itu, bersiap untuk
memasukinya.
"Apanya?"
aku bertanya tidak mengerti, entah karena tidak fokus atau pertanyaannya yang
kurang jelas.
"Kota tujuan
kita?" kini aku mengerti, yang dimaksud adalah kota terdekat menuju tempat
raid itu berada.
"Oh, Berne,"
aku sesegera menghentikan gerakannya dengan memegang lengannya sebelum dia
memasuki portal itu, "Sebaiknya kamu berganti pakaian, karena akan dingin di
sana." kemudian aku lepaskan peganganku pada lengannya.
Aku berganti
pakaian, diikuti olehnya.
Kemudian dia
memasukinya terlebih dahulu, tak lama setelah itu baru aku masuk mengikutinya.
Aku keluar setelah
berpindah ke kota tujuanku, Berne.
"Foxx."
aku memanggilnya ketika melihat dia sedang melihat-lihat toko kecil milik NPC yang berada di pinggir jalan.
"Hmm?"
dia menjawab tanpa menoleh ke arahku, nampaknya dia menyukai sesuatu yang
sedikit unik. Itu adalah suvenir.
"Sedang lihat
apa?" aku bertanya ketika sampai di sebelahnya. Itu memang suvenir.
Kebanyakan suvenir dijual oleh NPC di
dekat portal kota agar memudahkan player
membelinya. Harga yang ditawarkan pun bermacam-macam sesuai dengan kelangkaan
barangnya. Semakin susah suvenir didapatkan, semakin tinggi pula harga yang
ditawarkan. Kudengar-dengar ada achievement
untuk pengoleksi barang-barang suvenir. Walaupun terdengar tidak menguntungkan
dan sia-sia, rupanya hobi itu bisa menjadi sebuah investasi karena item suvenir tidak dapat dibuat, kalau
barangnya rusak pun memperbaikinya juga mahal untuk bahan dan biaya perbaikannya.
Maka dari itu, selain jumlah yang terbatas, harganya pun bisa dijadikan
investasi jangka panjang bagi player.
"Suvenir."
dia menjawab singkat.
"Mau
kubelikan?" tawarku. Dia lalu tersenyum dan aku makin bingung.
"Tidak perlu.
Lebih baik simpan saja untuk sesuatu yang lebih penting." tumben,
kata-katanya bijak sekali kali ini.
"Baiklah."
"Apakah kamu
mau berkeliling dulu sebelum mendaftar? Lagi pula kita bisa mendaftar
nanti." alihnya, sudah bisa ditebak. Coba kalau dia sendirian, dia pasti
akan ngeluyur entah ke mana dan pada
akhirnya lupa dengan tugas utamanya.
"Nanti saja.
Kita bisa ngeluyur setelah
mendaftar."
Dia manyun. "Ya sudah, tapi janji,
ya!" ekspresinya berganti saat itu juga. Aku masih heran dengan caranya
mengganti ekspresi dengan cepat.
"Hmm."
aku membuka menu, berniat mengeluarkan Bahamut
untuk transportasi kami ke Gunung Alpen.
"Sedang
apa?" dia bertanya padaku.
"Kita kan
butuh transportasi untuk bisa sampai di sana." aku akhirnya mengeluarkan item itu, Bahamut's flute.
"Sebuah
seruling?" dia tertawa.
Aku menggeleng
menolak pernyataannya sambil terkekeh dengan pertanyaan konyolnya yang polos,
kemudian aku memamerkan detail item
itu kepada Foxx.
"He? Bahamut?
Ini ‘kan mount langka! Hanya ada
sekitar empat puluh player yang
memilikinya! Dari mana kamu mendapatkan barang ini?" dia sangat terkejut
ketika membaca detail item yang
kuperlihatkan kepadanya. Item ini
memang langka karena pada zamanku dulu ketika aku berhasil menyelesaikan eventnya, hanya ada lima atau enam
kelompok yang juga berhasil menyelesaikan raidnya
dan mendapatkan item ini sebagai
hadiahnya.
"Apa kamu
dulu tidak mendengar kabar itu? Rainbow adalah salah satu party yang menyelesaikan event
itu." jelasku.
"Cepat
keluarkan! Aku ingin melihatnya langsung! Bahamut, dia pasti keren sekali!"
dia begitu bersemangat setelah itu. Dan aku pun tidak membuang waktu pagi kami
untuk ngeluyur dulu. Kami akan
langsung pergi menuju ke tempat pendaftaran event.
Setelah kutiup
seruling itu, Bahamut datang entah dari mana.
Foxx takjub ketika
melihat naga besar itu datang mendarat tepat di depan kami. Hampir semua player yang sedang berada di sekitar
kami langsung teralihkan pandangannya karena Bahamut. Ini pemandangan yang
cukup langka, kok, karena Bahamut
memang jarang sekali terlihat.
Aku menaiki Bahamut
terlebih dahulu, lalu aku ulurkan tanganku untuk Foxx agar bisa membantunya
menaiki Bahamut karena memang naga ini cukup tinggi.
Setelah kami
berdua sudah berada di atas Bahamut, dengan gagah naga ini mengibaskan
sayapnya. Kami terbang.
Dari atas, kami
masih dapat melihat pemandangan player-player lain yang bergerak menuju tempat
yang sama dengan tujuan kami. Lewat jalur darat dengan menunggangi mount mereka, ataupun terbang
menggunakan mount terbang mereka,
tapi hanya aku saja yang membawa Bahamut.
"Pemandangannya
cukup bagus!" teriak Foxx dengan samar karena kecepatan dan kepakan sayap Bahamut
yang keras. Sesekali kutengok ke belakang melihatnya yang berulang kali
merapikan kembali rambut sebahu berwarna merahnya yang tertiup angin ke sana-kemari,
dia nampak sebal karena rambutnya yang berantakan itu. Namun di samping itu,
dia juga terlihat senang.
"Swiss memang
terkenal dengan pemandangan gunungnya!" aku berteriak kepadanya dengan
menoleh 90 derajat. Dia menangguk setuju dengan perkataanku.
"Aku sependapat
denganmu, Blue!"
"Aku senang
melihatmu senang seperti ini!" teriakku, namun tidak terlalu keras,
suaraku justru tenggelam dalam suara angin.
"Apa yang
kamu katakan barusan?" dia bertanya, seperti dugaanku kalau dia tidak bisa
mendengarnya jelas karena suara angin yang sangat keras ini.
"Tidak! Bukan
apa-apa!" jawabku. Dia hanya memaklumi sambil terus melihat pemandangan
yang terlihat di sepanjang matanya memandang.
Matahari yang
masih setengah muncul di langit. Cahaya teriknya. Warna kuning muda. Ini semua
seolah nyata bagiku.
--