29 May 2015

Legacy - 06.2

(Image: hdwallpaperscool.com)

---

Legacy © Fariz Azmi

Beberapa jam berlalu dan kini sudah tengah malam. Aku beranjak pergi dari markas, menuju tempat di mana aku bisa mencari informasi yang kubutuhkan saat ini.
"Mau ke mana sih kita?" tanya Casey sembari mengikuti langkahku.
"Lo tau, markas lo terpencil banget. Kita udah hampir satu jam jalan tapi belum nemu kota." protesku mengalihkan pembicaraannya.
"Ah, tapi itu tempat yang strategis, butuh perjuangan beli tempat itu."
"Berapa emang?"
"Lo inget harga mount Wyvern warna hitam yang gue pengen dulu?"

Aku mengingat-ingat mount itu, mount yang cukup populer  pada masanya, harga yang ditawarkan juga cukup mahal karena mount itu adalah salah satu mount yang dicari.
"Ah, mahal banget."
"Yah, tapi sepadan, lah. Jarang-jarang bisa dapet bangunan tersembunyi di tengah hutan, dan—oh, apa lo sudah gue kasih bookmark markas?"
"Hmm," aku mengingat-ingat tentang apa saja yang aku lakukan di sana, aku membuka menu dengan melambaikan tangan kiriku dan membuka menu option, rentetan menu baru terjejer setelah kutekan option, tujuanku bookmark. Muncul beberapa tempat yang kuketahui, Danderius Lake, Arcelius Cafe, Hideout, dan Home. Markas itu memang kuberi nama Hideout, namun satu yang menjadi perhatianku adalah bookmark Home. "Sudah, tadi Jesse memberikannya padaku." lanjutku tanpa memperhatikannya, perhatianku tetap tertuju dengan menu yang sedang terpampang di depan wajahku; Home. Aku bahkan tidak mengucapkan selamat tinggal pada mereka yang sudah memberiku tempat tinggal dan menerimaku saat itu.
"Apa itu? Home?" tanpa sepengetahuanku ternyata Casey membaca bookmark itu.
Dengan segera aku menutup menu dengan sekali lambaian besar. Aku sedikit terkejut sembari memandangnya sekejap dan berkata "Nggak, bukan apa-apa."
"Ah, ayolah, apa itu rumah bersama kelompok kecil itu?" tanyanya. Aku berpikir sejenak sambil memandangi kerikil-kerikil di sepanjang jalan yang kulalui. Aku memang tidak pandai menyembunyikan sesuatu dari sahabatku sendiri. "Hmm?"
"Oke-oke," aku memberi jeda pada kalimat yang akan kuberikan padanya, tapi dari mana aku harus memulainya? "Dari mana gue harus cerita?"
"Yah, mana aja," dia menaikkan kedua bahunya tanda dia sendiri juga tidak tahu dari mana cerita harus kumulai. "—dan hei, dude, kita bisa ngabisin waktu untuk sampai di kota sambil ndengerin ceritamu." oh, benar juga, itu ide yang cukup bagus untuk menghabiskan waktu.
"Waktu itu gue lagi hunting di wilayah baru gue tau di Manila." aku memulai cerita.
"Sachs Cave?"
Aku menangguk "Ya, pas itu udah menjelang malam, gue lagi mapping di sana. Terus gue denger suara Avery—ketua party, sedang memberikan perintah. Lo tau 'kan kalo di dungeon itu kebanyakan monsternya terbang?" dia mengangguk sebelum aku melanjutkan cerita "Kebetulan mereka nggak punya job range."
"Oh, jadi lo ngebantu mereka gitu?"
"Hmm, bisa dibilang begitu, sih." aku manggut-manggut "Pas mau pergi, Arianne, ngajak gue buat nganter balik ke kota sebagai tanda terima kasih mereka. Yah, gue nggak nolak dong." ucapku dengan menaikkan kedua bahu serta ekspresi wajah why-not-?.
"Hmm, ngomong-ngomong soal Arianne, dia kayak gimana?" tanyanya, dia kalau sudah dengar soal perempuan, pasti langsung nyahut.
"Nggak bisa bilang banyak, sih. Dia itu ceweknya datar banget. Selama seminggu gue kenal sama dia, bisa gue itung berapa kali dia ganti ekspresi. Walaupun dia cantik, sih, gue suka sama rambut panjangnya yang disampir ke samping. Terlebih dia persis kayak Violet, cuma versi rambut panjangnya aja" jelasku.
"Hmm," dia manggut-manggut lagi mendengarkan penjelasanku "Gue bisa bayangin dia kayak gimana," jeda untuk beberapa waktu "Oke, balik ke topik."
"Pas sampai di kota, ternyata mereka ngajak gue buat gabung sama mereka, dan itu permintaan Avery sendiri, walaupun, yah, dia itu orangnya terkesan rada galak gitu karena tampangnya. Tapi dia cuma malu buat ngungkapinnya lewat perbuatan, jadi dia nyuruh Arianne." Casey terkekeh ketika aku menekankan kata galak.
"Party lo, ada lima orang 'kan sama lo?" aku mengangguk "Siapa lagi tuh? Avery, Arianne, sama yang kemarin itu, siapa nicknya?"
"Foxx."
"Nah itu dia."
"Foxx sih, orangnya gitu, lo tau sendiri 'kan dia kayak gimana, di party dia yang paling demen ngoceh sana-sini."
"I see." dia terkekeh lagi.
"Kenapa lo ketawa gitu?" aku mencium aura tak sedap dari cara dia ketawa. Sangat mencurigakan.
"Lo 'kan orangnya kurang cocok sama yang banyak ngoceh."
"Yah, nggak juga sih, tergantung ngocehnya tentang apa. Haha." aku tertawa ketika mengingat kalau dulu aku pernah mempunyai seorang teman yang suka ngoceh nggak karuan arahnya. Dan yah, seperti yang Casey bilang kalau aku tidak terlalu cocok sama orang yang suka ngoceh, alhasil aku abaikan dia selama bertemu dengannya.
"Terus yang satu lagi?"
"Cello. Dia kebalikan dari Foxx. Hampir nggak pernah bicara sama sekali. Dia juga jarang keliatan, jadi gue nggak bisa bicara banyak tentang dia."
"Hmm. Begitu."
Pembicaraan kami selanjutnya mengarah pada masa lalu di mana kita masih satu kota saat kami berdua masih sekolah. The good old days. Hari-hari menyenangkan bersama sahabat.
Beberapa saat kemudian, akhirnya kami sampai ke tempat tujuan: Arcelius Cafe.
Sebenarnya aku sudah pernah memperkenalkan Walnut kepada Casey, namun nampaknya mereka tidak bisa terlalu saling mengenal.
Aku kembali membuka pintu kafe yang sudah empat bulan ini tidak kukunjungi, sama seperti Walnut, setibanya di dalam kafe itu aku langsung melihatnya dalam sekejap mata. Dia selalu duduk di kursi yang sama setiap kali ia kemari.
"Oh, gue inget siapa dia." ucap Casey ketika memandang makhluk berbulu itu sedang merayu salah seorang player perempuan yang ada di sana.
"You don't say?" ucapku terkekeh memandangnya lalu beranjak untuk menemuinya, Casey mengikutiku di belakang. "Hey, dude." sapaku setibanya di dekat kursinya.
"Oh, apakah itu kau, Blue?" ucapnya seketika melihatku sambil memicingkan kedua matanya "Lama tak berjumpa. Ini sudah empat bulan, huh?"
"Yeah."
Dia kemudian mengubah posisinya, membiarkan salah satu perempuan yang dia rayu tadi pergi. Dia tersenyum kepadaku sambil meneguk gelasnya.
"Sooo, kenapa kau berada di sini?" tanyanya, semestinya pertanyaan ini tidak perlu kujawab karena dia sudah pasti tahu untuk apa aku kemari.
"Kau tahu kenapa aku di sini."
"Oke kalau begitu, pelan-pelan," dia meneguk lagi minumannya "ayo kita pergi keluar." dengan isyarat sebuah anggukan yang mengarah ke pintu, dia kemudian beranjak, berjalan ke arah pintu belakang; pintu yang paling jarang dilalui pengunjung kafe.
Aku dan Casey mengikutinya, melihatnya membuka pintu itu. Walnut kemudian duduk di kursi kayu yang berada di sebelah pintu setelah keluar dari kafe.
"Jadi ada masalah apa?"
"Aku butuh informasi."
"Tentu saja kau butuh, apalagi yang kau butuhkan jika kau datang kemari?" nadanya sedikit meninggi, menatapku dengan tatapan yang sulit kuartikan. Namun jika diingat-ingat, aku memang sudah sering merepotkannya.
"Ini akan menjadi yang terakhir." ucapku.
"Yang terakhir, katamu?" dia mengulangi kata-kataku dengan nadanya yang terdengar sedikit mengejek. Aku benci ini, namun harus kutahan dulu karena dia mungkin adalah kunci dari informasi yang bisa kudapat nanti.
"Ya." ucapku datar sambil berkedip.
"Oke, ini yang terakhir," ia berhenti sejenak, berdiri menatapku dan memegang bahuku dengan tangan kirinya dan mendekatkan mulutnya ke telingaku "Setelah ini, jika kau berani menampakkan wajahmu lagi di hadapanku. Aku akan benar-benar membunuhmu." Casey maju selangkah, namun kuhalangi dengan tangan kiriku, ekspresinya yang berganti bisa kurasakan tanpa melihat wajahnya, aku tetap menatap Walnut dengan senyuman iblisku yang bisa diartikan kalau aku tidak takut.
Aku menelan ludah setelah mendengar akhir kalimatnya. Aku mendengarkan setiap ucapannya dengan seksama, nada bijaksana itu terdengar sangat nyata sebagai ancaman. Aku mengenal Walnut dengan setiap perkataan jujurnya, dan ia tidak pernah berkata bohong padaku, namun mungkin aku sudah terlalu jauh menekannya.
"Oke." jawabku. Aku merasakan keseriusan ancamannya padaku.
Ekspresinya berganti setelah mendengar jawabanku, dia memang seperti itu, tetap bisa mengendalikan emosinya di berbagai situasi "Baiklah kalau begitu, informasi macam apa yang kaubutuhkan?" dia kembali duduk di sana, dengan gaya santainya.
"Mari kita lihat," aku berpikir, merangkai kata agar dapat mempersingkat permintaanku kepadanya "aku butuh informasi tentang ke enamtidak, tujuh guild."
"Guild apa?"
"Aurora, Blacklist, Olympus, Golden Ink, Euronesia, Eternality, Necromancer." ucapku dengan lafal, aku memberinya ketujuh guild yang Kyle beritahu kepadaku.
Dia mengubah ekspresinya, namun ia tutupi. Aku dapat merasakan pergantian auranya ketika mendengar salah satu nama guild yang kusebutkan: Blacklist. "Dari mana kau mendapatkan nama-nama itu?"
"Itu bukan masalah yang penting dari mana aku mendapatkan nama-nama itu," aku menaikkan kedua bahuku, aku tidak peduli apa katanya, karena aku hanya membutuhkan informasi. "Aku hanya butuh informasi, dan kau menyediakannya untukku."
"Well," dia kembali menatapku dengan tajam lalu membuang pandangannya ke arah lain, ini terlihat seperti aku menang telak dengan memukul dia kembali dengan pernyataannya tadi "Tentang apa?"
"Segalanya."
"Segalanya? Kau serius?"
"Apa aku terlihat sedang bercanda?"
"Well," dia mengambil sebuah jeda pada kalimatnya "Itu akan memakan sedikit waktu. Dua atau tiga minggu."
"Tiga minggu? Kau bercan—“
"—lihat, akulah orang yang mencari informasi-informasi tersebut, dan itu semua sudah menjadi hal yang berbeda sejak kita semua terjebak di sini. Aku kehilangan banyak informanku dan sekarang aku masih tidak memiliki sumber yang tepercaya. Itulah mengapa ini akan memakan sedikit waktu." dia menyela, dengan wajah serius yang dia pasang, itu berarti dia tidak main-main dan memang masalah ini sudah menjadi masalah yang serius, dan aku masih heran kenapa orang-orang masih bisa bersikap tenang ketika mengetahui semua itu.
Diam untuk beberapa saat, auranya semakin berbeda saat ini. Aku tahu permintaanku ini sangat berbahaya, namun itu takkan mengubah fakta bahwa perang itu akan dimulai dengan atau tanpa ini. Jadi menurutku, itu sama saja.
"Oke, aku tahu apa yang sedang terjadi dan aku paham itu. Kirim saja sebuah pesan ketika kau sudah mendapatkannya." ucapku, kemudian aku berbalik "Ayo, urusan kita sudah selesai."
"Sekalinya ikut campur, kau tidak akan bisa keluar dari ini semua" ucapnya samar-samar karena kami sudah berjalan menjauh dari sana melalui samping bangunan, "Kau masih mempunyai kesempatan untuk melangkah mundur dari semua masalah ini!" suaranya memudar seiring perjalanan kami, namun aku masih dapat mendengarnya dengan jelas.
Kami berdua berjalan kembali ke kota tanpa sepatah kata pun terucap. Hanya ada keheningan dengan suara langkah kaki kami dan aku dapat mendengarnya sangat jelas.
"Gue rasa dia emang tau banyak." ucapan Casey barusan memecah keheningan sesampainya kami di depan portal. Aku setuju ucapannya jika Walnut tahu banyak tentang semua itu, hanya saja dia berusaha menutupinya.
"Gue juga berpikir begitu."
"Gue juga gak suka cara dia ngancem."
"It's okay, selama kita dapat informasi yang kita butuhin, itu nggak jadi masalah," ucapku. "Tapi..."
"Tapi apa?" dia bertanya, terlihat bingung.
"Kalau ditaksir dengan harga, mungkin informasi itu lebih berharga daripada seluruh harta kita digabungkan." ucapku, pikiran itu terlintas begitu saja di benakku.
"Bercanda?!" ekspresinya kaget setengah mati, dia tidak percaya dengan kata-kataku barusan.
"Serius. Sebelum hari itu aja, sebelum pensi, gue pernah nanya harga sebuah informasi hidden dungeon, itu setara dengan harga rumah."
"Buset. Pantesan kalo dia kayak tadi responnya."
"Betul. Tapi itu ‘kan harga dulu. Kalo sekarang, mungkin berpuluh-puluh kali lipat. Diliat dari sudut pandang lain, nyawa juga jadi taruhan."
Kami berdua masuk ke portal, kembali menuju kota di mana markas berada: Brasil. Hutan Amazon.
Setelah kupikir-pikir, itu tadi memang berlangsung cukup cepat. Lebih cepat dari perkiraanku. Yah, walaupun aku tahu akan berakhir seperti itu, namun aku masih khawatir dengan informasi yang kubutuhkan itu. Apa benar Walnut akan benar-benar mencarinya walau ia sendiri tahu kalau itu sangat berisiko? Aku tahu setiap kata-katanya dapat dipercaya selama ini, namun aku masih ragu dengan yang satu ini. Ini seperti, dia menggali sendiri kuburannya.
Sepanjang perjalanan kembali, kami tidak berbincang mengenai hal apapun, berbeda ketika berangkat tadi, kami ngoceh ke sana-kemari.
"Jadi, kapan lo siap untuk masuk ke dalam guild?" tanyanya, aku menoleh sekejap ke arahnya lalu membuang muka dengan cepat.
"Secepatnya, selagi menunggu informasi itu." jawabku.
"Tapi kita tidak dapat memulainya tanpa informasi yang lengkap jika guild-guild itu memang mempunyai koneksi. Itu akan di luar kemampuanku."
Benar, hal itu memang benar. Kudeta itu takkan menjadi lebih mudah walaupun hanya melibatkan satu guild saja, karena saat ini kita masih kekurangan pasukan. Tapi aku berpikir bahwa setiap guild itu berdiri secara individual namun memiliki koneksi, jadi secara garis besar, untuk tidak melibatkan guild lain, mereka tidak akan meminta bantuan karena itu akan membuat rencana mereka memiliki celah yang akan disadari oleh banyak player. Setidaknya itulah hipotesisku saat ini.
"Gue bisa mencari kepercayaan dulu." ucapku.
"Hmm? Gue juga berpikir soal itu. Lihat, gue aja yang posisi sebagai wakil masih belum tau apa-apa. Masa lo bisa dapet kepercayaan segampang itu?"
"Itulah maksud rencananya!" aku tiba-tiba saja mempunyai feeling bagus tentang ini. Ini tentang mengapa hingga saat ini Casey masih tidak di beritahu apapun.
"Hmm?"
"Coba lo pikir kenapa dia masih ngasih lo jabatan wakil?"
Dia terdiam sejenak, berpikir dengan tangan ditempelkan di dagunya "Karena cuma gue orang yang bisa di posisi itu?" jawabnya, terdengar seperti dia menebak saja sembari diikuti dengan bahunya yang dinaikkan.
"Salah. Karena dia dari awal sudah memperkirakan ini semua." balasku dengan menunjuk dirinya dengan jari telunjukku.
"Maksud?" aku terkekeh lalu menyilangkan kedua tanganku di depan dada.
"Gini, lo wakil karena dia sudah tau kalo lo nanti bakal memberontak, setidaknya dia mungkin udah punya daftar siapa saja yang akan memberontak dan punya siasat, kecuali kalo lo sendiri emang setuju dengan cara dia memerintah," jelasku, kemudian aku melanjutkan "Dan juga terlalu mencurigakan jika mengganti semua jabatan anggota secara skala besar. Jadi dia nyisain sebagian anggota lama dengan jabatannya. Tapi tetap ada semacam tembok pembatas di antara anggota lama dan anggotanya."
Dia berhenti, terdiam sejenak untuk berpikir lalu dengan wajahnya yang terkesan sedikit terkejut "Oh, itu masuk akal."
"Ngerti 'kan?"
"—tapi! Berarti dia sudah tahu kalo kita punya pasukan? Bukankah itu berarti rencana kita udah gagal bahkan sebelum memulainya?" ekspresinya serius menanggapi, aku tahu maksudnya, tapi ini masih hipotesis saja.
"Gue pikir begitu. Kita hanya masih selangkah di belakang. Dan dengan ini kita harus bikin strategi baru, dan gue ada satu rencana."
"Apa tuh?"
"Di guild pasti ada tim ekspedisi dari dia buat nyari anggota baru, 'kan?"
"Tim ekspedisi?" dia terdiam berpikir "Gue kira ada yang kayak gitu."
"Pastikan dulu kalo tim itu bukan dari anggota lama, atau setidaknya mereka itu orang yang masuk sesudah dia. Tau maksudku, 'kan?"
"Gue ngerti. Ardel dan Scythe. Mungkin mereka berdua adalah tim ekspedisinya."
"Hanya dua orang aja?" dia mengangguk.
"Yang kutahu hanya mereka saja yang sering keluar tanpa diberi tugas." aku berpikir lagi, memang benar kalau tim ekspedisi untuk guild seperti ini pasti akan kecil, atau bahkan tersembunyi untuk merekrut orang.
"Dan, gue mempunyai sebuah rencana, sekaligus senjata," aku tersenyum iblis, lagi, kukira masuk di sana akan menjadi lebih mudah dari perkiraanku. "Rencanaku nanti, lo cuma harus ngasih tau gue tentang di mana mereka biasanya nyari anggota. Gue akan mendatangi mereka sendiri."
"Lho, bukankah lebih mudah kalo gue yang masukin lo ke guild? Gue 'kan punya otoritas buat itu." salah, salah total.
"Di sinilah kesalahannya. Justru kalo mereka tau lo kenal sama gue, disitu mungkin rencana akan runtuh. Inget kata-kata gue tadi? Bakal ada semacam tembok pembatas antara player yang lo rekrut sama player yang dia rekrut. Dia nggak bakal ngasi informasi kepada player yang lo rekrut, atau yang kenal sama anggota yang ada di daftarnya."
"Ah! Gue paham maksud lo!"
"Jadi nanti cara kita berkomunikasi cuma lewat PM, atau kalo lo punya usul lain yang lebih aman daripada itu." rencana semakin jelas sekarang, hanya perlu menghindari kalau aku mengenal Casey dan lima orang itu.
"Kurir."
"Kurir?" aku ingat, kurir adalah jasa pengantar yang jarang sekali dipakai karena kebanyakan player menggunakan PM. Simpel, namun lebih berisiko jika berkaitan dengan informasi rahasia.
"Ya, ada semacam pet kurir yang bisa nganter sesuatu. Dan gue tau pet yang pas buat tugas itu."
"Hmm, boleh."
"Berarti sekarang kita hanya harus memberitahu kepada enam orang yang ada di markas agar berpura-pura untuk tidak mengenalmu." aku mengangguk puas. Tepat, itulah yang harus dilakukan sekarang.
"Dan, sampai saat itu datang, gue nggak boleh keliatan sama anggota delapan guild itu, terutama guild lo."
"Hmm, jadi nanti gue cuma perlu ngasi tau lo lokasi ekspedisi mereka."
"Dan setelah itu, serahkan semuanya sama gue. -tapi"
"Hmm?"
"Anggota lo tadi, apa cuma Vallario dan Jesse aja anggota lama yang kenal sama gue?"
"Iya, yang lainnya kebanyakan udah keluar."
"Dan, pasukan pemberontak dari guild lo cuma ada enam termasuk lo?"
"Ada empat orang lagi, mungkin mereka sedang ada tugas, soalnya mereka jarang bisa mampir ke markas."
"Oke, selagi gue jalanin rencana itu, lo tetep kumpulin pasukan. Ekspansi, tapi diam-diam aja.
"Gue usahain deh. Tapi, ini keliatan kalo lo lagi bikin rencana lain, deh."
"Betul, gue lagi bikin rencana di atas rencana."

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)