(Image: tinypic.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
"Kita berada dalam zona mati!"
suara itu menggema dalam sebuah dungeon
yang sedang kujelajahi. Dan, zona mati yang dia
katakan itu adalah, kita tidak bisa menggunakan map, item-item teleportasi
instan ke kota terdekat, dan juga telepati. Itu tidak heran karena mengingat dungeon ini adalah dungeon baru -tidak baru seperti baru dibuka. Namun baru aku
ketahui. Tidak banyak yang masuk dan berburu ke dalam dungeon ini karena mungkin levelnya
cukup untuk membuatku mati konyol dengan berburu sendirian di sini. Aku hanya
melihat-lihat di dalam sini. Aku kemudian berhenti sejenak. Memfokuskan
pendengaranku kepada arah sumber suara.
"Mundur!" suara itu terdengar
lagi, namun berbeda dengan suara yang tadi. Kelihatannya mereka berada dalam
masalah. Mungkin mereka tidak sengaja bertemu mini boss atau
sejenisnya. Setelahnya, aku mulai berjalan menuju suara itu. Suara-suara
geraman monster juga tak jarang
kudengar.
"Ah!" sebuah suara menggema
lagi. Suara perempuan. Aku mempercepat jalanku melewati terowongan goa yang
jalannya bercabang-cabang. Hingga akhirnya aku terhenti lagi di sebuah cabang.
Dua cabang yang aku ragu untuk memilih mana yang akan kulalui untuk menemukan
mereka. Di dalam sini bahkan tidak bisa menggunakan peta untuk menentukan di
mana lokasi mereka.
Masa bodoh, aku ambil saja jalur kiri.
Suara dentingan pedang terdengar semakin
menjelas seirama dengan langkahku yang semakin jauh memasuki goa itu lebih
dalam. Aku sekarang tidak yakin bisa keluar dari sini dengan cepat.
"Heal!"
seruan itu keluar lagi, dilanjutkan dengan lafal mantra yang tidak aku ketahui.
Aku tahu aku sudah semakin dekat.
"Counter!"
suara tebasan terdengar sesaat kemudian.
Semakin dalam aku memasuki goa ini,
semakin berbeda aura yang muncul. Aura di sini semakin suram. Aku hafal tentang
aura seperti ini.
"Mundur!" suara pertama yang
kudengar tadi mengucapkan kata yang sama. "Foxx!" dia memanggil
seseorang, pasti anggota partynya.
Kilatan cahaya akibat dentingan pedang mereka muncul berkali-kali di ujung
belokan yang beberapa puluh meter di depanku. Mereka pasti di sana.
Aku segera mengambil busur yang kutaruh di
punggungku. Busur ini baru saja dapatkan setelah ikut membantu mengalahkan wave boss beberapa hari lalu yang muncul
disebuah kota di negara kecil di eropa yang aku tidak ingat namanya. Seingatku
mereka hanya meminta bantuan untuk mempertahankan kota kecil mereka karena guild mereka masih tergolong kecil untuk
dapat bertahan oleh serangan wave boss.
Itu wave keempat yang muncul. Seekor monster bertipe naga. Aku harus sedikit
bersusah-payah mengalahkan monster
itu sambil menaiki Bahamut. Untungnya monster
itu tidak terlalu sulit untuk dikalahkan.
Dengan skill
Silent Move dari Archer. Aku
mendekati belokan itu dengan perlahan. Suara dentuman perisai terdengar terus
menerus. Dengan diam-diam aku memutar arah, aku mencapai titik di mana aku bisa
menembak dengan leluasa. Tepat di sebuah lubang yang menanjak yang berakhir
didinding area pertempuran mereka.
Ada empat orang di sana. Human Lancer.
Pixie Priest. Pixie Slayer. Myria Rogue. Masing-masing dari mereka terlihat
sibuk. Lancer sedang sibuk menahan serangan-serangan monster berbentuk kelelawar dengan level yang sedikit diatasku, 95. Ukuran kelelawar ini justru lebih
besar daripada kelelawar biasa. Sedangkan Priest sibuk melempari Lancer itu dengan kristal healing, Rogue sedang mempersiapkan sebuah jebakan. Slayer sedang kewalahan menghadapi
monster terbang itu. Job Slayer
justru tidak berguna saat melawan monster
yang terbang karena senjata mereka yang tergolong cukup berat untuk diayunkan.
Aku tahu masalah mereka di sini: mereka
tidak mempunyai hitter dengan job range.
Namun sampai di sini, aku masih sedikit heran. Mereka justru nampak terlihat
senang dengan pekerjaan mereka -bukan senang karena mereka bisa saja terbunuh.
Aku sempat mengamati mereka lebih jauh
sebelum aku menolong mereka. Mereka sekarang bahkan belum menyadari
keberadaanku, mungkin karena tempat yang cukup gelap ini. Tapi itu sedikit
mustahil karena mereka mempunyai seorang Myrian yang notabene ras dengan
penglihatan dan pendengaran paling tajam di antara ras-ras lain.
Semangat mereka, semangat yang jarang
kutemui di saat kondisi seperti ini. Baiklah, aku tidak akan diam saja dan
menyaksikan mereka terbunuh secara perlahan dan tidak akan bisa hidup lagi
dengan respawn di kota terdekat.
Korban pertama adalah seorang Valkyrie saat wave
kedua berlangsung. Dia mati di tengah pertempuran, dan tidak pernah terlihat
lagi setelahnya. Dengan kejadian itu, mereka tidak akan mencari risiko dengan
berburu solo.
Aku menarik busurku, sebuah charge penuh. Membidik acak ke arah
langit-langit goa. Setelah mendapat langit-langit yang tepat, aku melepaskan
tarikan pada busurku. Rains blow!
Sebuah skill yang dapat membuat anak
panah tersebar menjadi banyak saat ditembakkan ke arah langit. Sebenarnya skill ini lebih berguna untuk membantai
sekumpulan monster yang sedang
mengejar. Namun aku sering berimprovisasi dengan keadaan.
Setelah tembakan itu tersebar dan membunuh
sebagian kecil itu, mereka semua menoleh, mencari keberadaanku.
"Tampaknya kita kedatangan seorang
tamu!" seorang Pixie perempuan dengan job
Slayer menghentikan tebasan-tebasannya di udara. Meringis melihat ke
dinding-dinding goa sambil bertolak pinggang memegang pedangnya yang besar.
Lalu dia melanjutkan lagi dengan kuda-kuda bertarungnya lagi. Nampaknya mereka
tidak terusik jika aku membantu mereka.
Hampir semua dari mereka mencari-cari
keberadaanku.
Aku mengeluarkan sebuah item pada inventoryku, sebungkus oil.
Kulempar ke udara, lalu dengan cepat aku menarik busur dan menembaknya ketika
mencapai titik paling atas. Star Fire.
Sebuah anak panah api. Tepat mengenai item
yang tadi kulempar ke langit-langit goa dan membakarnya. Menciptakan sebuah
cahaya api yang tersebar. Kalian tahu, ‘kan, kalau kelelawar itu benci dengan
sinar? Itulah mengapa sebabnya mereka menempati goa yang gelap seperti ini.
Setelah kilatan api pertama, kelelawar itu
terlihat bingung, tidak ada lagi langit-langit untuk mereka menghindari serangan
dan terpaksa turun dan menghadapi secara langsung. Dan tentu saja, kelelawar
itu dengan mudah dibunuh saat mereka tidak terbang terlalu tinggi.
Hanya butuh waktu beberapa menit saja
untuk menghabisi sekawanan kelelawar itu. Aku hanya duduk melihat mereka
setelah menembakkan api tadi.
Setelah bersih semua, aku segera pergi
dari sana. Namun aku sudah terlambat untuk pergi. Aku terlalu membuang waktu
untuk mengamati mereka. Mereka menemukan aku.
"Hei!" seorang perempuan
berteriak, menggema di dinding-dinding goa. "Kami hanya mau berterima
kasih!" aku tidak menghiraukan suara itu. Yang kulakukan hanya menjauh
dari sana, berjalan menyusuri untuk keluar dari sana. Ini sudah menjelang
malam. Seharusnya tadi aku pulang jika tidak mendengar suara mereka.
"Cari dia." suara Lancer itu
terdengar memerintah anggota-anggota partynya.
Dengan singkat mereka menemukanku.
"Hei aku menemukan dia." seorang
perempuan lagi, sang Priest, terlihat muncul dari sebuah jalan yang kulalui
sekarang. Di belakangku. Namun dia tidak menahanku. Hanya berjalan di
belakangku.
Aku berhenti. Dia juga berhenti.
"Apa?" aku bertanya dengan sinis.
"Kami hanya mau berterima
kasih," suaranya jujur. Sudah lama aku tidak mendengar kata-kata seperti
itu di dunia ini. "Kamu, Hunter solo?"
"Begitulah." jawabku singkat.
"Kalau begitu, bergabunglah dulu
bersama kami hingga keluar dari dungeon
ini." tawarnya, sebuah tawaran yang terlalu lugu dan polos. Aku terkekeh.
"Kamu yakin?" aku menoleh 90
derajat sambil bertanya meyakinkan.
"Aku memaksa," dia menggembungkan
kedua pipinya, nadanya sedikit ditekan memaksa namun terdengar lucu dengan
wajah yang dipertahankan datar. Aku terkekeh lagi. Sama seperti Violet, aku
jadi teringat akan dirinya sekarang ada di mana. Aku berpikir sejenak,
menyilangkan kedua tanganku di dada. "Bagaimana?" dia bertanya lagi.
"Baiklah." aku memutuskan untuk
ikut bersama mereka tanpa berpikir panjang, itu akan hanya membuang waktuku.
Lagi pula, saat malam hari, di luar monster
yang muncul juga berbeda dengan saat siang harinya.
"Benarkah?" dia terlihat sedikit
lega. Aku menangguk. Dia kemudian berjalan kembali ke dalam goa, ke tempat yang
tadi, aku mengikutinya di belakang. "Jadi, siapa namamu?" dia
bertanya, sedikit ragu-ragu, entah atau malu.
"Blue."
Kemudian diam untuk beberapa saat.
"Lalu..." dia melanjutkan dengan
ragu "...apa yang membawamu ke sini?"
"Hunting,
ini ‘kan wilayah baru."
"Eee..." dia berpikir sejenak,
rupanya dia berusaha untuk menjadi akrab disituasi ini. "...apa kamu tidak
mempunyai teman?" nadanya sedikit pelan daripada sebelumnya, mungkin dia
ragu-ragu menanyakan itu takut kalau aku bakal tersinggung dengan
pertanyaannya.
Aku terkekeh sebentar, langkahnya terhenti
dan menoleh ke belakang -ke arahku "Tidak."
"Kenapa?" dia kemudian berjalan
lagi setelah pertanyaannya, sekarang kami berjalan sejajar.
"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya
sulit mempercayai orang lain beberapa bulan terakhir." jawaban
terpanjangku untuk pertanyaannya.
"Sejak hari itu, ya?" dia bertanya, tahu tepat apa yang kumaksud.
Dengan anggukan kecil aku menjawab pertanyaannya.
"Tapi aku menyarankan untuk tidak
selamanya berburu solo, kamu
tahu?" dia beropini, memang benar, tidak selamanya aku kuat jika harus solo seperti ini. Ada batasnya aku
menjadi hunter solo. Karena semakin
tinggi levelku, semakin sulit juga monster yang bermunculan, dan itu bisa
saja membuatku celaka suatu saat. Itulah yang kupikirkan saat ini saat melihat
mereka berempat tadi.
"Kamu benar, eh, siapa namamu
tadi?"
"Aku belum menyebutkan namaku,"
dia menggeleng sambil tersenyum melihat ke depan, "Arianne."
"Arianne." aku diam sesaat
"Lalu yang lain?" aku bertanya, merujuk pada nama-nama anggota partynya.
"Hmm," dia berpikir sejenak.
"Kamu tahu Lancer yang
tadi?" aku mengangguk. "Namanya Avery," kemudian dia melanjutkan
"Kalau yang Slayer-"
"-Foxx." aku memotong
kata-katanya sebelum sempat dilanjutkan, aku tahu karena tadi aku sempat
mendengar Si Lancer—Avery, memanggil perempuan Slayer itu dengan sebutan Foxx,
jadi, itu pasti nicknamenya.
"Benar. Lalu untuk Rogue, dia bernama
Cello. Tapi Cello bukan dari Indonesia seperti kita." dia melanjutkan.
"Jadi?"
"Dia dari Greenland." aku
manggut-manggut mengerti.
Diam untuk sejenak, hingga kami akhirnya
sampai di tempat tadi, di mana partynya
berada. Aku agak canggung untuk situasi seperti ini.
Kami tiba, tidak banyak yang
memperhatikan. Mereka semua sedang sibuk istirahat, mungkin karena mereka
barusan hunting cukup lama, jadi
mereka lelah.
"Oh, jadi dia orangnya?" seorang
perempuan yang perhatiannya teralihkan karena menyadari kedatangan kami langsung
menyambar kedua tanganku dan memegangnya takjub. Dia nampak seperti melihat
keajaiban dan matanya berbinar seperti melihat bintang.
"Perkenalkan, namanya Blue."
Arianne memperkenalkan.
"Aku Foxx," ia tersenyum lebar.
Tapi saat itu juga dia mengubah ekspresinya menjadi serius dalam sekejap mata
"Blue ya?" ekspresinya berganti lagi, sekarang dia lagi berpikir.
"Oh! Blue, anggota Rainbow, bukan?" dia menebak. Dari mana dia
mengenal Rainbow? Padahal Rainbow ‘kan sudah bubar sejak lama?
"Sudah tidak." aku menanggapi
dengan singkat disertai gelengan kecil. Namun kelihatannya dia belum cukup puas
dengan jawaban singkatku.
"Eh? Kenapa? Apa mereka mendepakmu?
Atau karena sudah tidak cocok lagi? Katakan padaku! Padahal party itu selalu menjadi inspirasiku
bermain VRO!" dia nampak
penasaran dengan menyerangku bertubi-tubi melalui pertanyaan-pertanyaannya yang
menggebu-gebu, kemudian melepas genggaman tangannya, wajahnya manyun, dia terlihat sedikit kecewa.
Nampaknya dia sedikit mengingatkanku kepada Violet yang sudah empat bulan ini
-sejak hari itu kami terpisah. Dari wajahnya bisa terlihat kalau dia lebih tua
dariku, namun tidak dengan sifatnya.
"Ah, sudah-sudah. Biarkan dia
istirahat dulu, Foxx." Arianne menyela sambil tersenyum, memegang tangan
Foxx yang berarti isyarat untuknya mundur sejenak.
"Hmm, benar juga. Maafkan aku!"
lalu Foxx berlalu kembali ke tempatnya duduk, melanjutkan istirahatnya.
Kemudian dia menoleh "Kamu berhutang padaku cerita itu!" dia nyengir sambil memberiku sebuah jempol
dari sana.
Aku tersenyum juga, "Oke."
"Istirahat saja dulu. Kita bisa duduk
di sana." lalu Arianne mengajakku ke sebuah tempat di mana kita bisa
duduk. Aku mengikutinya.
Aku duduk setelahnya. Mengedarkan pandang
ke arah masing-masing mereka yang tidak kuketahui. Di depan sana yang sedang
berdiri, di arah menuju tempat goa yang lebih dalam, dia pasti Avery, memegangi
perisainya yang besar dengan sangat tegas. Kalau aku boleh menebak dia pasti
ketua party di sini, atau sejenisnya
yang memimpin party ini. Sekilas dia
tidak terlihat sebagai orang yang bisa diajak bercanda -dengan kata lain dia
orangnya sangat serius, pendirian teguh namun tidak individualis. Dia terlihat
cukup kuat juga. Dia pasti mempunyai tugas yang besar sebagai satu-satunya tanker di party ini.
Lalu di pojok, yang sedang menyandar di
dinding. Dia pasti Cello, sosok yang selalu berbaur dalam kegelapan, dan juga
seringai-seringai mencurigakan yang tidak bisa diartikan secara langsung. Rogue
dengan kombinasi Myria. Kombinasi unik. Rogue pada dasarnya adalah si ahli
jebakan dan penyerbuan, tidak buruk juga jika dikombinasikan dengan slayer
untuk support finisher. Dia
sepertinya terlihat sebagai 'sosok
misterius' di party ini, terlihat
dari bagaimana dia bertindak -sangat tenang dan mematikan, namun bisa
diandalkan untuk bekerja sama. Untuk saat ini, mungkin memang dialah anggota party yang paling misterius, lebih
misterius daripada Avery. Untuk kekuatannya, mungkin saat ini dia tidak pernah
mengeluarkan kemampuannya dengan penuh, dan tidak ada dalam party yang pernah melihat kemampuannya
yang sebenarnya.
Setelahnya, aku memandang ke arah lain,
seorang gadis yang sedang memakan makanan yang aku tidak tahu apa namanya,
sosok Slayer yang terlihat selalu riang, Foxx. Seorang Pixie. Di VRO, Pixie memang ras yang paling
diminati nomor dua setelah Human. Jadi bukanlah hal yang aneh jika aku sering
bertemu ras Pixie ke mana pun aku pergi. Tidak suka hal yang rumit, kurasa.
Senang berbicara sebagai si penyejuk
sekaligus penengah dalam party jika
terjadi perdebatan. Sifat ingin tahunya mungkin akan menjadi masalah dalam party ini juga ke depannya. Dibalik
parasnya yang cukup memikat, namun dia kelihatannya cukup bisa diandalkan saat
bertarung, walaupun kelihatannya tidak terlalu bisa mematuhi perintah yang akan
diberikan nantinya.
Yang terakhir, gadis Pixie juga yang
berada di sebelahku sekarang. Arianne. Wajahnya nampak sangat kalem sebagai
seorang Priest karena dia tidak bisa diandalkan dalam pertarungan langsung,
namun sebagai support dia bisa
diandalkan. Oleh karena itu kebanyakan waktu bertarungnya selalu ditemani oleh
Cello yang mengawasinya setelah memasang jebakan. Wajahnya datar. Dia kebalikan
dari Foxx, Arianne ini terlihat sedikit pendiam karena wajahnya yang selalu
terlihat tenang setiap saat. Tahu apa yang harus dilakukan saat sesuatu datang.
Dia lebih terkesan cuek, namun tidak seperti Cello yang seratus persen
misterius karena pendiamnya. Kalau Arianne pendiam lebih karena tidak bisa
berbicara banyak, karena dia terlihat seperti seorang gadis yang selalu
mengalah jika sesuatu hal terjadi dalam party.
Namun meskipun begitu. Dia adalah kunci dalam party ini. Memang sekarang, healer
sangat dibutuhkan dalam pertempuran, dan ketersediaan Priest atau Conjurer
sangat sedikit sekali. Maka dari itu party
ini sangat beruntung memiliki Arianne sebagai healer mereka.
Aku terduduk diam memandangi mereka
berempat secara bergantian. Seorang pemimpin yang terlihat tegas dengan
sekumpulan anggota yang mempunyai sifat-sifat unik. Mereka tidak terlihat
seperti sebuah party, namun lebih
terlihat seperti sebuah keluarga.
Tak lama seperti ini, sang
pemimpin—Avery. Mengambil perisainya. Melangkah kembali ke arah kami.
"Jadi, kamu." dia membuka
mulut, memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Terdengar sedikit
serak.
Aku langsung berdiri setelahnya.
"Maafkan aku karena telah
lancang memasu—“
"—tidak. Justru sebaliknya,
kami berterima kasih." dia memotong kalimatku, sebelum selesai dia bahkan sudah
tahu maksud perkataanku. Aku sedikit kaget.
"O-oh."
"Perkenalkan, namaku
Avery." dia mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk menjabat tanganku.
Aku langsung menjabat balik tangannya.
"Aku Blue." kenalku
dengan singkat. Lalu jabat tangan kami pun terlepas.
Setelah itu, Foxx dan Arianne
berdiri, mendekatiku, begitu juga dengan Cello yang sedari tadi hanya melihat
kami.
"Yo!" Cello membuka mulut juga pada akhirnya, sambil
melambaikan tangan kirinya dengan kaku, dia kemudian mendekat lagi.
"Kalau kamu tidak keberatan,
kami sekarang akan berangkat kembali ke kota. Kami bisa menemanimu sampai
sana." Avery menawarkan dengan senyum, terdengar tulus dan penuh semangat.
"Ayolah Blue, ikut dengan
kami!" Foxx menambahi "Lagi pula kamu masih punya hutang bercerita
tentang tadi!" dia mengingat-ingat sambil memelankan suaranya. Kemudian
dengan centil menggandeng tanganku. Aku hanya pasrah saja dibuatnya.
"Hehe, maafkan Foxx."
Arianne kemudian angkat bicara melihat kelakuan Foxx barusan.
"Tidak apa-apa." aku
tersenyum memandangnya sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Walaupun
wajah yang ditampilkan olehnya selalu datar, namun aku bisa melihat ada sosok
lain dibalik itu, sebuah senyum yang indah.
"Jadi kamu setuju untuk ikut
dengan kami kembali ke kota?" Foxx tiba-tiba berbicara lagi, wajahnya
nampak lebih bersinar kali ini. "Kamu ikut, ‘kan? Katakan kalau kamu
ikut!" dia nampak lebih bersemangat sebelum sempat aku menjawab
pertanyaannya. Aku hanya mengangguk saja menanggapi kelakuannya.
"Baiklah." kemudian Avery
menyudahi perbincangan singkat kita, dan mulai berjalan memimpin di depan. Ini
sangat wajah apabila seorang Lancer selalu berjalan terlebih dahulu di depan,
karena selain mereka adalah tanker
terkuat nomor tiga setelah Paladin dan
Guardian, dia adalah job petarung
jarak dekat yang memiliki aggro
tertinggi daripada job lainnya. Aggro atau agresivitas di sini pun
memiliki arti daya tarik terhadap monster.
Kalau ada monster yang mendekat, dia pasti akan menyerang Lancer terlebih
dahulu karena peralatan berat dan baju zirahnya, terlebih jika Lancer
mengeluarkan skill provokenya, bisa dipastikan semua monster akan berbalik menyerangnya lagi
walaupun monster-monster itu sudah tidak tertarik padanya.
Setelah Avery berjalan di depan.
Kemudian aku dan Foxx mengikuti di belakangnya. Tak jauh dari kami berdua,
Arianne mengikuti. Berbeda lagi dengan Cello yang menghilang entah ke mana
untuk memastikan keamanan wilayah yang kami lalui. Selain berguna sebagai ahli
jebakan dan penyerbuan, Rogue yang dikombinasikan dengan ras Myria juga bisa
menjadi scout bagi anggota party dengan skill Stealth khas Myria.
Dengan skill itu, dia bisa berjalan
sendiri tanpa diketahui oleh siapa pun.
Perjalanan kembali kami pun tidak
berlangsung lama karena Cello sepertinya sudah hafal betul dengan jalan dungeon ini meskipun tanpa melihat peta.
Hari sudah mulai gelap. Matahari mulai terbenam menyusut di ujung mata
memandangnya. Hingga menghilang secara penuh dan hari berganti menjadi malam.
Walaupun monster di malam hari cukup
berbahaya dibandingkan siang harinya, ternyata Cello tahu rute aman
melewatinya, aku bahkan tidak tahu kalau ada rute aman menuju kota selain
menggunakan item teleportasi ke kota
terdekat. Selain melewati rute aman, kami juga menghemat waktu karena jaraknya
cukup jauh.
Setelah sampai di kota, di sinilah
semestinya akhir pertemuanku dengan mereka.
"Oh, sudah sampai."
gumamku sesampainya di gerbang masuk kota yang bertuliskan Manila. Memang
benar, aku sekarang sedang berada di Filipina.
"Jadi..." Arianne
menggantung kata-katanya. Tidak melanjutkan. Aku bingung.
"Bisakah kamu ikut bersama
kami?" Foxx berbinar lagi, menyambar kedua tanganku sambil mengeluarkan
ekspresi wajah yang tak bisa kutolak.
"E-eh?" aku salah
tingkah.
"Ayolah!" tatapnya lebih
tajam, ekspresinya masih sama namun malah lebih parah lagi.
"Akan kutinggal kalian
dulu." Avery tersenyum kemudian berjalan menjauh beberapa meter. Memandang
ke arah pemandangan yang terletak tepat di sebelah kota.
"Apa kamu tak bisa tinggal
dulu bersama kami? Aku rasa aku menyukaimu!" Foxx secara spontan
mengatakan itu dan membuatku mundur beberapa langkah. Arianne tertawa kecil
melihatku dibalik wajah datarnya.
"Lebih baik bersama untuk saat
ini, ‘kan?" Arianne menimpali dengan sebuah pertanyaan sekaligus
pernyataan.
"Lagi pula berbahaya berburu
sendiri, walaupun kamu sudah kuat. Karena kalau kita bersama, kita pasti bisa
melewatinya!" Foxx nyengir,
semakin erat pegangannya terhadap tanganku. Dia memang benar-benar gadis yang
spontan dan jujur dengan perasaannya.
"Aku harap -tidak,"
Arianne menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kami berharap kamu mau
bergabung dengan kami." lanjut Arianne. Kami? Aku bahkan tidak mengetahui
mereka merundingkan suatu hal tentang itu tadi, dan mereka memang tidak
terlihat seperti merundingkannya.
Aku sesaat memandang satu persatu
dari mereka. Mereka seperti sebuah keluarga. Arianne tersenyum, begitu pula
dengan Foxx, bahkan lebih lebar lagi. Cello menyeringai lalu membuang
pandangannya. Bahkan Avery yang terlihat seperti itu pun juga tersenyum. Mereka
semua memandangku.
Aku mengingat-ingat sejenak, mereka
seperti sahabat-sahabatku di dunia nyata. Mereka tidak peduli dengan apapun
selain persahabatan mereka.
Dalam satu sisi, aku ingin menerima
tawarannya. Namun satu sisi yang lain aku tidak ingin persahabatan mereka
nantinya rusak karena kedatanganku di kehidupan mereka. Aku bingung.
"Bagaimana?" Foxx
menyadarkanku dari lamunan singkat, ekspresinya masih terlihat menunggu jawaban
yang belum kunjung keluar dari mulutku. Apa jawaban yang harus kuberikan kepada
mereka? Menolak dan berlalu begitu saja? Atau menerimanya?
Aku masih terdiam hingga beberapa
saat kemudian, memikirkan tawaran yang terkesan sangat tiba-tiba ini. Setelah
merasa yakin dengan perasaanku, aku akan putuskan untuk menerima tawarannya.
Aku tersenyum simpul dan memberikan
jawaban singkat "Baiklah."
Senyum merekah dari bibir Foxx
setelah aku mengatakan itu lalu memelukku dengan singkat kemudian melepaskan
pelukannya. Mereka semua terlihat senang dengan jawabanku, walaupun aku sendiri
tidak seratus persen yakin, namun akan aku coba.
"Baiklah." Avery menutup
senyumnya, kembali mengangkat perisai yang tadi ia letakkan.
"Asyik!" Foxx terlihat
sangat senang. Berbeda dengan Arianne yang menutupi wajahnya dengan ekspresi
datar. "Ayo kita pulang! Aku akan memasak sesuatu yang istimewa!"
"Pulang?" aku bertanya,
tidak mengerti.
"Kami mempunyai rumah bersama
yang cukup luas yang kami beli dari hasil berburu kami selama ini."
Arianne menjawab. Aku mengerti. Memang seperti dugaanku, mereka sudah seperti
sebuah keluarga.
"Oh. Aku jadi tidak
enak." aku menggaruk kepalaku sambil nyengir
tidak jelas.
"Tidak apa-apa!" Foxx
memberiku sebuah acungan jempol "Kami sudah seperti keluarga sendiri. Dan
karena kamu sudah setuju untuk bergabung, jadi kamu juga anggota keluarga kami
sekarang!" Foxx nyengir lagi di
akhir kalimatnya, benar-benar jiwa yang polos. Aku bahkan jarang sekali menemui
orang seperti ini di dunia nyata. Dan kurasa, aku cukup beruntung bisa bertemu
orang-orang seperti mereka semua.
Setelahnya, kami semua berjalan
menuju sebuah rumah yang tidak terlalu besar yang terletak di atas bukit,
beberapa blok dari gerbang masuk kota. Rumahnya sama seperti rumah-rumah
kebanyakan di daerah sini. Tidak banyak yang berbeda.
Kami berlima berhenti tepat di
depan rumah. Avery, maju terlebih dahulu. Menekan sebuah kata kunci untuk dapat
memasuki rumah. Itu adalah fitur keamanan di dalam VRO agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumah, hanya
orang-orang tertentu yang dapat keluar masuk setelah ada di dalam daftar
pemilik setelah pemilik asli mendaftarkannya.
Setelah pintu terbuka, Foxx lah
yang terlebih dulu memasuki rumah, dia kelihatannya semangat setiap saat.
Kemudian satu per satu kami semua memasuki rumah itu. Setelah yang terakhir
masuk, pintu rumah ditutup. Arianne memanduku menuju kamar yang masih kosong
untuk kutempati sementara waktu selama aku bergabung di dalam party, entah sampai kapan akan terus
seperti ini.
"Masuklah." Arianne
mempersilahkanku masuk ke dalam kamar yang ukurannya hampir persis dengan
kamarku di dunia nyata, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, singkat
kata, kamar ini berukuran standar. Karena sistem di dalam game terlihat cukup simpel, mereka membuat agar rumah ini tidak
bisa kotor karena debu. Jadi mereka dapat meninggalkan rumah ini selama mereka
mau namun akan tetap bersih.
Aku duduk di kasur, memandang
Arianne yang tetap menampilkan wajah datarnya. Dia hendak pergi. "Nanti
akan kuberitahu saat makan malam sudah siap." surai rambut panjang
sepunggungnya berayun sempurna seiring langkah kakinya keluar kamar dan menutup
pintu. Aku hanya dapat menghela napas panjang setelah kejadian yang langka ini.
Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, mereka semua terlihat baik. Ini aneh
karena aku belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya.
Aku merebahkan tubuhku. Interior di
dalam ruangan ini sangat indah dengan desain yang biasa saja. Tidak banyak
warna, hanya beberapa bingkai lukisan yang pernah aku lihat sebelumnya namun
aku tidak tahu namanya. Kemudian aku mengeluarkan sebuah item melalui inventoryku,
item yang sehari-hari kudengar saat
berburu, MP3 Player. Kusematkan earphone
itu di kedua telingaku. Sebuah lantunan lagu kemudian terdengar. Aku memejamkan
mataku.
Tak selang beberapa lama, rentetan
derap kaki terdengar, kemudian berhenti tepat di depan pintu. Sebuah ketukan
tercipta tiga kali.
"Blue?" itu suara
Arianne.
"Ya?" aku menjawab sambil
melepas satu sisi earphone yang
sedang kupakai.
"Makan malam sudah siap."
dia kemudian membuka pintu itu secara perlahan, sedikit demi sedikit cahaya
lampu dari luar yang lebih terang masuk melalui sela-sela pintu yang dibuka.
Dibaliknya, Arianne berdiri di sana. Dia sudah tidak mengenakan baju
bertarungnya lagi seperti tadi, sekarang terlihat lebih seperti pakaian rumah. Aku sendiri bahkan sampai lupa
belum mengganti pakaianku.
Aku bangun dari posisiku, beranjak
berdiri. Arianne kemudian berbalik tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Aku segera
membuka menu, mengganti pakaianku.
Setelah pakaianku sudah berganti
sepenuhnya menjadi pakaian yang biasa kupakai ketika sedang bersantai. Setelan
putih dengan kombinasi hitam yang santai. Kemudian aku mengikuti Arianne menuju
tempat di mana mereka semua akan berkumpul untuk makan malam, tempat yang tadi
sudah kulewati beberapa puluh menit lalu.
Mereka semua sudah berkumpul di
sana. Avery di ujung, sebagai orang yang paling tua. Di sebelah, ada Cello dan
Arianne yang kemudian duduk di sebelahnya. Di seberangnya terdapat dua meja
kosong. Kurasa itu tempat dudukku, sedangkan Foxx masih sibuk mempersiapkan
makanan masakannya yang terlihat istimewa sekali.
"Duduk dulu, Blue!" ucap
Foxx dengan nada yang bersemangat, selagi mengambil panci yang berukuran cukup
besar dari kompor yang sedang menyala. Aku duduk sambil terus melihatnya.
"Ah, kalian repot
sekali." ucapku tidak enak karena merasa membuat mereka repot seperti ini.
"Tidak apa-apa. Acara seperti
ini jarang terjadi." Avery berkata seraya membalik koran yang entah dari
mana dia dapatkan. Itu koran elektronik dengan berita hanya seputar dunia VRO. Yang kutahu fitur seperti itu dulu
hanya dijalankan oleh player iseng
yang menjadi jurnalis di dunia nyata. Namun nampaknya pekerjaan itu sudah
diminati karena sekarang kami semua terperangkap di dunia ini.
"Betul!" Foxx menambahi
sembari menaruh panci itu di atas sebuah kain tebal di tengah meja yang
berukuran tidak terlalu besar, seukuran dengan panci yang di letakannya.
"Mungkin akan sering setelah ini!" dia nyengir, lalu melepas celemek yang dipakainya untuk memasak tadi,
walaupun terdengar aneh kalau terlalu formal. Karena di dunia ini memasak pun
serba praktis, hanya tinggal sekali klik saja sudah jadi. Namun nampaknya fitur
itu tidak bisa menjadi kebiasaan di sini, itu terlalu aneh. Kemudian dia
mengambil tempat duduk di sebelahku -satu-satunya tempat duduk yang tersisa di
sini.
"Aromanya menggugah selera."
Arianne tersenyum kecil sambil sesekali mencium bau masakan yang dibawakan oleh
Foxx. Lalu Foxx mengklik sebuah tombol yang keluar dari menu makanan yang sudah
tersedia. Use. Dengan sekejap makanan
itu sudah siap di piring kami masing-masing. Ini kebiasaan yang harus
kubiasakan mulai sekarang. Karena aku biasanya tidak pernah makan bersama
seperti ini.
Setelah itu, dimulai dari Avery
yang menaruh korannya dan mulai memakan makanannya, kami pun memulai makan
malam kami -makan malamku yang pertama.
"Ngomong-ngomong,
Foxx," aku menghentikan santapanku yang masih beberapa sendok, Foxx
menoleh ke arahku karena kupanggil, masakannya memang lezat, "Skill memasakmu level berapa?" tanyaku, kemudian menyantap lagi.
Dia berpikir sejenak,
mengingat-ingat "Kalau tidak salah hampir penuh." dia kemudian
tersenyum, lalu menyantap.
"Dia memang satu-satunya di
sini yang bisa memasak." Avery menambahi.
"Itu karena Foxx tidak bisa
melakukan hal lain lagi." Arianne terkekeh lalu meminum minumannya. Foxx manyun.
"Itu ‘kan karena aku punya
banyak waktu luang!" protes Foxx menatap Avery dan Arianne secara
bergantian. Tatapannya yang cukup tajam itu dapat membuat orang yang ditatapnya
tertawa. Aku hanya dapat tersenyum simpul melihat mereka berbicara seperti itu.
"Useless." suara itu terdengar dari mulut Cello, yang notabene
manusia paling pendiam di party ini.
Suara tawa mereka meledak minus Foxx yang menjadi bahan tertawaan. Cello bahkan
terlihat tertawa walaupun hanya tersenyum saja. Kemudian Foxx yang setengah
jengkel melempar makanannya ke arah Cello namun dapat ditepis olehnya, dia
semakin jengkel.
"Kan Chef itu seseorang yang paling penting di party!" tolak Foxx lagi, dia mencari-cari sebuah alasan lagi
"Coba tidak ada aku, bagaimana kalian akan berburu tanpa buff dari makananku?" suara tawa
itu kemudian berganti menjadi sunyi.
"I-itu benar juga, sih."
aku menimpali pernyataan Foxx, memang benar kalau makanan itu mempunyai buff yang berguna dalam pertarungan, dan
harganya pun cukup mahal kalau harus beli melalui dagangan player yang mempunyai skill
memasak tinggi, Foxx salah satunya.
"Tidak apa, Blue," ucap
Avery. Aku bingung dengan perkataannya "Lagi pula, Foxx tidak pernah bisa
benar-benar marah." dia terkekeh sambil menghabiskan makanannya yang sudah
tersisa sedikit.
"E-eh?"
"Itu benar." ujar Foxx.
Sampai sekarang pun aku masih
bingung. Apa yang membuat mereka bisa bahagia? Hubungan mereka adalah hubungan
yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ini jauh lebih simpel dibandingkan
hubungan percintaan remaja yang penuh dengan konflik tak berujung. Hubungan
mereka tidak didasari dengan sifat, fisik, ataupun perbedaan. Justru
perbedaanlah yang menyantukan mereka. Hubungan mereka dapat diungkapkan melalui
dua kata: kasih sayang. Itulah yang menurutku cocok untuk mendeskripsikan
mereka.
--