21 May 2015

Legacy - 03.2

(Image: tinypic.com)

---

Legacy © Fariz Azmi


"Kita berada dalam zona mati!" suara itu menggema dalam sebuah dungeon yang sedang kujelajahi. Dan, zona mati yang dia katakan itu adalah, kita tidak bisa menggunakan map, item-item teleportasi instan ke kota terdekat, dan juga telepati. Itu tidak heran karena mengingat dungeon ini adalah dungeon baru -tidak baru seperti baru dibuka. Namun baru aku ketahui. Tidak banyak yang masuk dan berburu ke dalam dungeon ini karena mungkin levelnya cukup untuk membuatku mati konyol dengan berburu sendirian di sini. Aku hanya melihat-lihat di dalam sini. Aku kemudian berhenti sejenak. Memfokuskan pendengaranku kepada arah sumber suara.
"Mundur!" suara itu terdengar lagi, namun berbeda dengan suara yang tadi. Kelihatannya mereka berada dalam masalah. Mungkin mereka tidak sengaja bertemu mini boss atau sejenisnya. Setelahnya, aku mulai berjalan menuju suara itu. Suara-suara geraman monster juga tak jarang kudengar.

"Ah!" sebuah suara menggema lagi. Suara perempuan. Aku mempercepat jalanku melewati terowongan goa yang jalannya bercabang-cabang. Hingga akhirnya aku terhenti lagi di sebuah cabang. Dua cabang yang aku ragu untuk memilih mana yang akan kulalui untuk menemukan mereka. Di dalam sini bahkan tidak bisa menggunakan peta untuk menentukan di mana lokasi mereka.
Masa bodoh, aku ambil saja jalur kiri.
Suara dentingan pedang terdengar semakin menjelas seirama dengan langkahku yang semakin jauh memasuki goa itu lebih dalam. Aku sekarang tidak yakin bisa keluar dari sini dengan cepat.
"Heal!" seruan itu keluar lagi, dilanjutkan dengan lafal mantra yang tidak aku ketahui. Aku tahu aku sudah semakin dekat.
"Counter!" suara tebasan terdengar sesaat kemudian.
Semakin dalam aku memasuki goa ini, semakin berbeda aura yang muncul. Aura di sini semakin suram. Aku hafal tentang aura seperti ini.
"Mundur!" suara pertama yang kudengar tadi mengucapkan kata yang sama. "Foxx!" dia memanggil seseorang, pasti anggota partynya. Kilatan cahaya akibat dentingan pedang mereka muncul berkali-kali di ujung belokan yang beberapa puluh meter di depanku. Mereka pasti di sana.
Aku segera mengambil busur yang kutaruh di punggungku. Busur ini baru saja dapatkan setelah ikut membantu mengalahkan wave boss beberapa hari lalu yang muncul disebuah kota di negara kecil di eropa yang aku tidak ingat namanya. Seingatku mereka hanya meminta bantuan untuk mempertahankan kota kecil mereka karena guild mereka masih tergolong kecil untuk dapat bertahan oleh serangan wave boss. Itu wave keempat yang muncul. Seekor monster bertipe naga. Aku harus sedikit bersusah-payah mengalahkan monster itu sambil menaiki Bahamut. Untungnya monster itu tidak terlalu sulit untuk dikalahkan.
Dengan skill Silent Move dari Archer. Aku mendekati belokan itu dengan perlahan. Suara dentuman perisai terdengar terus menerus. Dengan diam-diam aku memutar arah, aku mencapai titik di mana aku bisa menembak dengan leluasa. Tepat di sebuah lubang yang menanjak yang berakhir didinding area pertempuran mereka.
Ada empat orang di sana. Human Lancer. Pixie Priest. Pixie Slayer. Myria Rogue. Masing-masing dari mereka terlihat sibuk. Lancer sedang sibuk menahan serangan-serangan monster berbentuk kelelawar dengan level yang sedikit diatasku, 95. Ukuran kelelawar ini justru lebih besar daripada kelelawar biasa. Sedangkan Priest sibuk melempari Lancer itu dengan kristal healing, Rogue sedang mempersiapkan sebuah jebakan. Slayer sedang kewalahan menghadapi monster terbang itu. Job Slayer justru tidak berguna saat melawan monster yang terbang karena senjata mereka yang tergolong cukup berat untuk diayunkan.
Aku tahu masalah mereka di sini: mereka tidak mempunyai hitter dengan job range. Namun sampai di sini, aku masih sedikit heran. Mereka justru nampak terlihat senang dengan pekerjaan mereka -bukan senang karena mereka bisa saja terbunuh.
Aku sempat mengamati mereka lebih jauh sebelum aku menolong mereka. Mereka sekarang bahkan belum menyadari keberadaanku, mungkin karena tempat yang cukup gelap ini. Tapi itu sedikit mustahil karena mereka mempunyai seorang Myrian yang notabene ras dengan penglihatan dan pendengaran paling tajam di antara ras-ras lain.
Semangat mereka, semangat yang jarang kutemui di saat kondisi seperti ini. Baiklah, aku tidak akan diam saja dan menyaksikan mereka terbunuh secara perlahan dan tidak akan bisa hidup lagi dengan respawn di kota terdekat. Korban pertama adalah seorang Valkyrie saat wave kedua berlangsung. Dia mati di tengah pertempuran, dan tidak pernah terlihat lagi setelahnya. Dengan kejadian itu, mereka tidak akan mencari risiko dengan berburu solo.
Aku menarik busurku, sebuah charge penuh. Membidik acak ke arah langit-langit goa. Setelah mendapat langit-langit yang tepat, aku melepaskan tarikan pada busurku. Rains blow! Sebuah skill yang dapat membuat anak panah tersebar menjadi banyak saat ditembakkan ke arah langit. Sebenarnya skill ini lebih berguna untuk membantai sekumpulan monster yang sedang mengejar. Namun aku sering berimprovisasi dengan keadaan.
Setelah tembakan itu tersebar dan membunuh sebagian kecil itu, mereka semua menoleh, mencari keberadaanku.
"Tampaknya kita kedatangan seorang tamu!" seorang Pixie perempuan dengan job Slayer menghentikan tebasan-tebasannya di udara. Meringis melihat ke dinding-dinding goa sambil bertolak pinggang memegang pedangnya yang besar. Lalu dia melanjutkan lagi dengan kuda-kuda bertarungnya lagi. Nampaknya mereka tidak terusik jika aku membantu mereka.
Hampir semua dari mereka mencari-cari keberadaanku.
Aku mengeluarkan sebuah item pada inventoryku, sebungkus oil. Kulempar ke udara, lalu dengan cepat aku menarik busur dan menembaknya ketika mencapai titik paling atas. Star Fire. Sebuah anak panah api. Tepat mengenai item yang tadi kulempar ke langit-langit goa dan membakarnya. Menciptakan sebuah cahaya api yang tersebar. Kalian tahu, ‘kan, kalau kelelawar itu benci dengan sinar? Itulah mengapa sebabnya mereka menempati goa yang gelap seperti ini.
Setelah kilatan api pertama, kelelawar itu terlihat bingung, tidak ada lagi langit-langit untuk mereka menghindari serangan dan terpaksa turun dan menghadapi secara langsung. Dan tentu saja, kelelawar itu dengan mudah dibunuh saat mereka tidak terbang terlalu tinggi.
Hanya butuh waktu beberapa menit saja untuk menghabisi sekawanan kelelawar itu. Aku hanya duduk melihat mereka setelah menembakkan api tadi.
Setelah bersih semua, aku segera pergi dari sana. Namun aku sudah terlambat untuk pergi. Aku terlalu membuang waktu untuk mengamati mereka. Mereka menemukan aku.
"Hei!" seorang perempuan berteriak, menggema di dinding-dinding goa. "Kami hanya mau berterima kasih!" aku tidak menghiraukan suara itu. Yang kulakukan hanya menjauh dari sana, berjalan menyusuri untuk keluar dari sana. Ini sudah menjelang malam. Seharusnya tadi aku pulang jika tidak mendengar suara mereka.
"Cari dia." suara Lancer itu terdengar memerintah anggota-anggota partynya. Dengan singkat mereka menemukanku.
"Hei aku menemukan dia." seorang perempuan lagi, sang Priest, terlihat muncul dari sebuah jalan yang kulalui sekarang. Di belakangku. Namun dia tidak menahanku. Hanya berjalan di belakangku.
Aku berhenti. Dia juga berhenti. "Apa?" aku bertanya dengan sinis.
"Kami hanya mau berterima kasih," suaranya jujur. Sudah lama aku tidak mendengar kata-kata seperti itu di dunia ini. "Kamu, Hunter solo?"
"Begitulah." jawabku singkat.
"Kalau begitu, bergabunglah dulu bersama kami hingga keluar dari dungeon ini." tawarnya, sebuah tawaran yang terlalu lugu dan polos. Aku terkekeh.
"Kamu yakin?" aku menoleh 90 derajat sambil bertanya meyakinkan.
"Aku memaksa," dia menggembungkan kedua pipinya, nadanya sedikit ditekan memaksa namun terdengar lucu dengan wajah yang dipertahankan datar. Aku terkekeh lagi. Sama seperti Violet, aku jadi teringat akan dirinya sekarang ada di mana. Aku berpikir sejenak, menyilangkan kedua tanganku di dada. "Bagaimana?" dia bertanya lagi.
"Baiklah." aku memutuskan untuk ikut bersama mereka tanpa berpikir panjang, itu akan hanya membuang waktuku. Lagi pula, saat malam hari, di luar monster yang muncul juga berbeda dengan saat siang harinya.
"Benarkah?" dia terlihat sedikit lega. Aku menangguk. Dia kemudian berjalan kembali ke dalam goa, ke tempat yang tadi, aku mengikutinya di belakang. "Jadi, siapa namamu?" dia bertanya, sedikit ragu-ragu, entah atau malu.
"Blue."
Kemudian diam untuk beberapa saat.
"Lalu..." dia melanjutkan dengan ragu "...apa yang membawamu ke sini?"
"Hunting, ini ‘kan wilayah baru."
"Eee..." dia berpikir sejenak, rupanya dia berusaha untuk menjadi akrab disituasi ini. "...apa kamu tidak mempunyai teman?" nadanya sedikit pelan daripada sebelumnya, mungkin dia ragu-ragu menanyakan itu takut kalau aku bakal tersinggung dengan pertanyaannya.
Aku terkekeh sebentar, langkahnya terhenti dan menoleh ke belakang -ke arahku "Tidak."
"Kenapa?" dia kemudian berjalan lagi setelah pertanyaannya, sekarang kami berjalan sejajar.
"Tidak ada alasan khusus. Aku hanya sulit mempercayai orang lain beberapa bulan terakhir." jawaban terpanjangku untuk pertanyaannya.
"Sejak hari itu, ya?" dia bertanya, tahu tepat apa yang kumaksud. Dengan anggukan kecil aku menjawab pertanyaannya.
"Tapi aku menyarankan untuk tidak selamanya berburu solo, kamu tahu?" dia beropini, memang benar, tidak selamanya aku kuat jika harus solo seperti ini. Ada batasnya aku menjadi hunter solo. Karena semakin tinggi levelku, semakin sulit juga monster yang bermunculan, dan itu bisa saja membuatku celaka suatu saat. Itulah yang kupikirkan saat ini saat melihat mereka berempat tadi.
"Kamu benar, eh, siapa namamu tadi?"
"Aku belum menyebutkan namaku," dia menggeleng sambil tersenyum melihat ke depan, "Arianne."
"Arianne." aku diam sesaat "Lalu yang lain?" aku bertanya, merujuk pada nama-nama anggota partynya.
"Hmm," dia berpikir sejenak. "Kamu tahu Lancer yang tadi?" aku mengangguk. "Namanya Avery," kemudian dia melanjutkan "Kalau yang Slayer-"
"-Foxx." aku memotong kata-katanya sebelum sempat dilanjutkan, aku tahu karena tadi aku sempat mendengar Si Lancer—Avery, memanggil perempuan Slayer itu dengan sebutan Foxx, jadi, itu pasti nicknamenya.
"Benar. Lalu untuk Rogue, dia bernama Cello. Tapi Cello bukan dari Indonesia seperti kita." dia melanjutkan.
"Jadi?"
"Dia dari Greenland." aku manggut-manggut mengerti.
Diam untuk sejenak, hingga kami akhirnya sampai di tempat tadi, di mana partynya berada. Aku agak canggung untuk situasi seperti ini.
Kami tiba, tidak banyak yang memperhatikan. Mereka semua sedang sibuk istirahat, mungkin karena mereka barusan hunting cukup lama, jadi mereka lelah.
"Oh, jadi dia orangnya?" seorang perempuan yang perhatiannya teralihkan karena menyadari kedatangan kami langsung menyambar kedua tanganku dan memegangnya takjub. Dia nampak seperti melihat keajaiban dan matanya berbinar seperti melihat bintang.
"Perkenalkan, namanya Blue." Arianne memperkenalkan.
"Aku Foxx," ia tersenyum lebar. Tapi saat itu juga dia mengubah ekspresinya menjadi serius dalam sekejap mata "Blue ya?" ekspresinya berganti lagi, sekarang dia lagi berpikir. "Oh! Blue, anggota Rainbow, bukan?" dia menebak. Dari mana dia mengenal Rainbow? Padahal Rainbow ‘kan sudah bubar sejak lama?
"Sudah tidak." aku menanggapi dengan singkat disertai gelengan kecil. Namun kelihatannya dia belum cukup puas dengan jawaban singkatku.
"Eh? Kenapa? Apa mereka mendepakmu? Atau karena sudah tidak cocok lagi? Katakan padaku! Padahal party itu selalu menjadi inspirasiku bermain VRO!" dia nampak penasaran dengan menyerangku bertubi-tubi melalui pertanyaan-pertanyaannya yang menggebu-gebu, kemudian melepas genggaman tangannya, wajahnya manyun, dia terlihat sedikit kecewa. Nampaknya dia sedikit mengingatkanku kepada Violet yang sudah empat bulan ini -sejak hari itu kami terpisah. Dari wajahnya bisa terlihat kalau dia lebih tua dariku, namun tidak dengan sifatnya.
"Ah, sudah-sudah. Biarkan dia istirahat dulu, Foxx." Arianne menyela sambil tersenyum, memegang tangan Foxx yang berarti isyarat untuknya mundur sejenak.
"Hmm, benar juga. Maafkan aku!" lalu Foxx berlalu kembali ke tempatnya duduk, melanjutkan istirahatnya. Kemudian dia menoleh "Kamu berhutang padaku cerita itu!" dia nyengir sambil memberiku sebuah jempol dari sana.
Aku tersenyum juga, "Oke."
"Istirahat saja dulu. Kita bisa duduk di sana." lalu Arianne mengajakku ke sebuah tempat di mana kita bisa duduk. Aku mengikutinya.
Aku duduk setelahnya. Mengedarkan pandang ke arah masing-masing mereka yang tidak kuketahui. Di depan sana yang sedang berdiri, di arah menuju tempat goa yang lebih dalam, dia pasti Avery, memegangi perisainya yang besar dengan sangat tegas. Kalau aku boleh menebak dia pasti ketua party di sini, atau sejenisnya yang memimpin party ini. Sekilas dia tidak terlihat sebagai orang yang bisa diajak bercanda -dengan kata lain dia orangnya sangat serius, pendirian teguh namun tidak individualis. Dia terlihat cukup kuat juga. Dia pasti mempunyai tugas yang besar sebagai satu-satunya tanker di party ini.
Lalu di pojok, yang sedang menyandar di dinding. Dia pasti Cello, sosok yang selalu berbaur dalam kegelapan, dan juga seringai-seringai mencurigakan yang tidak bisa diartikan secara langsung. Rogue dengan kombinasi Myria. Kombinasi unik. Rogue pada dasarnya adalah si ahli jebakan dan penyerbuan, tidak buruk juga jika dikombinasikan dengan slayer untuk support finisher. Dia sepertinya terlihat sebagai 'sosok misterius' di party ini, terlihat dari bagaimana dia bertindak -sangat tenang dan mematikan, namun bisa diandalkan untuk bekerja sama. Untuk saat ini, mungkin memang dialah anggota party yang paling misterius, lebih misterius daripada Avery. Untuk kekuatannya, mungkin saat ini dia tidak pernah mengeluarkan kemampuannya dengan penuh, dan tidak ada dalam party yang pernah melihat kemampuannya yang sebenarnya.
Setelahnya, aku memandang ke arah lain, seorang gadis yang sedang memakan makanan yang aku tidak tahu apa namanya, sosok Slayer yang terlihat selalu riang, Foxx. Seorang Pixie. Di VRO, Pixie memang ras yang paling diminati nomor dua setelah Human. Jadi bukanlah hal yang aneh jika aku sering bertemu ras Pixie ke mana pun aku pergi. Tidak suka hal yang rumit, kurasa. Senang berbicara sebagai si penyejuk sekaligus penengah dalam party jika terjadi perdebatan. Sifat ingin tahunya mungkin akan menjadi masalah dalam party ini juga ke depannya. Dibalik parasnya yang cukup memikat, namun dia kelihatannya cukup bisa diandalkan saat bertarung, walaupun kelihatannya tidak terlalu bisa mematuhi perintah yang akan diberikan nantinya.
Yang terakhir, gadis Pixie juga yang berada di sebelahku sekarang. Arianne. Wajahnya nampak sangat kalem sebagai seorang Priest karena dia tidak bisa diandalkan dalam pertarungan langsung, namun sebagai support dia bisa diandalkan. Oleh karena itu kebanyakan waktu bertarungnya selalu ditemani oleh Cello yang mengawasinya setelah memasang jebakan. Wajahnya datar. Dia kebalikan dari Foxx, Arianne ini terlihat sedikit pendiam karena wajahnya yang selalu terlihat tenang setiap saat. Tahu apa yang harus dilakukan saat sesuatu datang. Dia lebih terkesan cuek, namun tidak seperti Cello yang seratus persen misterius karena pendiamnya. Kalau Arianne pendiam lebih karena tidak bisa berbicara banyak, karena dia terlihat seperti seorang gadis yang selalu mengalah jika sesuatu hal terjadi dalam party. Namun meskipun begitu. Dia adalah kunci dalam party ini. Memang sekarang, healer sangat dibutuhkan dalam pertempuran, dan ketersediaan Priest atau Conjurer sangat sedikit sekali. Maka dari itu party ini sangat beruntung memiliki Arianne sebagai healer mereka.
Aku terduduk diam memandangi mereka berempat secara bergantian. Seorang pemimpin yang terlihat tegas dengan sekumpulan anggota yang mempunyai sifat-sifat unik. Mereka tidak terlihat seperti sebuah party, namun lebih terlihat seperti sebuah keluarga.
Tak lama seperti ini, sang pemimpin—Avery. Mengambil perisainya. Melangkah kembali ke arah kami.
"Jadi, kamu." dia membuka mulut, memandangiku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Terdengar sedikit serak.
Aku langsung berdiri setelahnya.
"Maafkan aku karena telah lancang memasu—“
"—tidak. Justru sebaliknya, kami berterima kasih." dia memotong kalimatku, sebelum selesai dia bahkan sudah tahu maksud perkataanku. Aku sedikit kaget.
"O-oh."
"Perkenalkan, namaku Avery." dia mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk menjabat tanganku. Aku langsung menjabat balik tangannya.
"Aku Blue." kenalku dengan singkat. Lalu jabat tangan kami pun terlepas.
Setelah itu, Foxx dan Arianne berdiri, mendekatiku, begitu juga dengan Cello yang sedari tadi hanya melihat kami.
"Yo!" Cello membuka mulut juga pada akhirnya, sambil melambaikan tangan kirinya dengan kaku, dia kemudian mendekat lagi.
"Kalau kamu tidak keberatan, kami sekarang akan berangkat kembali ke kota. Kami bisa menemanimu sampai sana." Avery menawarkan dengan senyum, terdengar tulus dan penuh semangat.
"Ayolah Blue, ikut dengan kami!" Foxx menambahi "Lagi pula kamu masih punya hutang bercerita tentang tadi!" dia mengingat-ingat sambil memelankan suaranya. Kemudian dengan centil menggandeng tanganku. Aku hanya pasrah saja dibuatnya.
"Hehe, maafkan Foxx." Arianne kemudian angkat bicara melihat kelakuan Foxx barusan.
"Tidak apa-apa." aku tersenyum memandangnya sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Walaupun wajah yang ditampilkan olehnya selalu datar, namun aku bisa melihat ada sosok lain dibalik itu, sebuah senyum yang indah.
"Jadi kamu setuju untuk ikut dengan kami kembali ke kota?" Foxx tiba-tiba berbicara lagi, wajahnya nampak lebih bersinar kali ini. "Kamu ikut, ‘kan? Katakan kalau kamu ikut!" dia nampak lebih bersemangat sebelum sempat aku menjawab pertanyaannya. Aku hanya mengangguk saja menanggapi kelakuannya.
"Baiklah." kemudian Avery menyudahi perbincangan singkat kita, dan mulai berjalan memimpin di depan. Ini sangat wajah apabila seorang Lancer selalu berjalan terlebih dahulu di depan, karena selain mereka adalah tanker terkuat nomor tiga setelah Paladin dan Guardian, dia adalah job petarung jarak dekat yang memiliki aggro tertinggi daripada job lainnya. Aggro atau agresivitas di sini pun memiliki arti daya tarik terhadap monster. Kalau ada monster yang mendekat, dia pasti akan menyerang Lancer terlebih dahulu karena peralatan berat dan baju zirahnya, terlebih jika Lancer mengeluarkan skill provokenya, bisa dipastikan semua monster akan berbalik menyerangnya lagi walaupun monster-monster itu sudah tidak tertarik padanya.
Setelah Avery berjalan di depan. Kemudian aku dan Foxx mengikuti di belakangnya. Tak jauh dari kami berdua, Arianne mengikuti. Berbeda lagi dengan Cello yang menghilang entah ke mana untuk memastikan keamanan wilayah yang kami lalui. Selain berguna sebagai ahli jebakan dan penyerbuan, Rogue yang dikombinasikan dengan ras Myria juga bisa menjadi scout bagi anggota party dengan skill Stealth khas Myria. Dengan skill itu, dia bisa berjalan sendiri tanpa diketahui oleh siapa pun.
Perjalanan kembali kami pun tidak berlangsung lama karena Cello sepertinya sudah hafal betul dengan jalan dungeon ini meskipun tanpa melihat peta. Hari sudah mulai gelap. Matahari mulai terbenam menyusut di ujung mata memandangnya. Hingga menghilang secara penuh dan hari berganti menjadi malam. Walaupun monster di malam hari cukup berbahaya dibandingkan siang harinya, ternyata Cello tahu rute aman melewatinya, aku bahkan tidak tahu kalau ada rute aman menuju kota selain menggunakan item teleportasi ke kota terdekat. Selain melewati rute aman, kami juga menghemat waktu karena jaraknya cukup jauh.
Setelah sampai di kota, di sinilah semestinya akhir pertemuanku dengan mereka.
"Oh, sudah sampai." gumamku sesampainya di gerbang masuk kota yang bertuliskan Manila. Memang benar, aku sekarang sedang berada di Filipina.
"Jadi..." Arianne menggantung kata-katanya. Tidak melanjutkan. Aku bingung.
"Bisakah kamu ikut bersama kami?" Foxx berbinar lagi, menyambar kedua tanganku sambil mengeluarkan ekspresi wajah yang tak bisa kutolak.
"E-eh?" aku salah tingkah.
"Ayolah!" tatapnya lebih tajam, ekspresinya masih sama namun malah lebih parah lagi.
"Akan kutinggal kalian dulu." Avery tersenyum kemudian berjalan menjauh beberapa meter. Memandang ke arah pemandangan yang terletak tepat di sebelah kota.
"Apa kamu tak bisa tinggal dulu bersama kami? Aku rasa aku menyukaimu!" Foxx secara spontan mengatakan itu dan membuatku mundur beberapa langkah. Arianne tertawa kecil melihatku dibalik wajah datarnya.
"Lebih baik bersama untuk saat ini, ‘kan?" Arianne menimpali dengan sebuah pertanyaan sekaligus pernyataan.
"Lagi pula berbahaya berburu sendiri, walaupun kamu sudah kuat. Karena kalau kita bersama, kita pasti bisa melewatinya!" Foxx nyengir, semakin erat pegangannya terhadap tanganku. Dia memang benar-benar gadis yang spontan dan jujur dengan perasaannya.
"Aku harap -tidak," Arianne menggeleng sebelum melanjutkan kalimatnya, "Kami berharap kamu mau bergabung dengan kami." lanjut Arianne. Kami? Aku bahkan tidak mengetahui mereka merundingkan suatu hal tentang itu tadi, dan mereka memang tidak terlihat seperti merundingkannya.
Aku sesaat memandang satu persatu dari mereka. Mereka seperti sebuah keluarga. Arianne tersenyum, begitu pula dengan Foxx, bahkan lebih lebar lagi. Cello menyeringai lalu membuang pandangannya. Bahkan Avery yang terlihat seperti itu pun juga tersenyum. Mereka semua memandangku.
Aku mengingat-ingat sejenak, mereka seperti sahabat-sahabatku di dunia nyata. Mereka tidak peduli dengan apapun selain persahabatan mereka.
Dalam satu sisi, aku ingin menerima tawarannya. Namun satu sisi yang lain aku tidak ingin persahabatan mereka nantinya rusak karena kedatanganku di kehidupan mereka. Aku bingung.
"Bagaimana?" Foxx menyadarkanku dari lamunan singkat, ekspresinya masih terlihat menunggu jawaban yang belum kunjung keluar dari mulutku. Apa jawaban yang harus kuberikan kepada mereka? Menolak dan berlalu begitu saja? Atau menerimanya?
Aku masih terdiam hingga beberapa saat kemudian, memikirkan tawaran yang terkesan sangat tiba-tiba ini. Setelah merasa yakin dengan perasaanku, aku akan putuskan untuk menerima tawarannya.
Aku tersenyum simpul dan memberikan jawaban singkat "Baiklah."
Senyum merekah dari bibir Foxx setelah aku mengatakan itu lalu memelukku dengan singkat kemudian melepaskan pelukannya. Mereka semua terlihat senang dengan jawabanku, walaupun aku sendiri tidak seratus persen yakin, namun akan aku coba.
"Baiklah." Avery menutup senyumnya, kembali mengangkat perisai yang tadi ia letakkan.
"Asyik!" Foxx terlihat sangat senang. Berbeda dengan Arianne yang menutupi wajahnya dengan ekspresi datar. "Ayo kita pulang! Aku akan memasak sesuatu yang istimewa!"
"Pulang?" aku bertanya, tidak mengerti.
"Kami mempunyai rumah bersama yang cukup luas yang kami beli dari hasil berburu kami selama ini." Arianne menjawab. Aku mengerti. Memang seperti dugaanku, mereka sudah seperti sebuah keluarga.
"Oh. Aku jadi tidak enak." aku menggaruk kepalaku sambil nyengir tidak jelas.
"Tidak apa-apa!" Foxx memberiku sebuah acungan jempol "Kami sudah seperti keluarga sendiri. Dan karena kamu sudah setuju untuk bergabung, jadi kamu juga anggota keluarga kami sekarang!" Foxx nyengir lagi di akhir kalimatnya, benar-benar jiwa yang polos. Aku bahkan jarang sekali menemui orang seperti ini di dunia nyata. Dan kurasa, aku cukup beruntung bisa bertemu orang-orang seperti mereka semua.
Setelahnya, kami semua berjalan menuju sebuah rumah yang tidak terlalu besar yang terletak di atas bukit, beberapa blok dari gerbang masuk kota. Rumahnya sama seperti rumah-rumah kebanyakan di daerah sini. Tidak banyak yang berbeda.
Kami berlima berhenti tepat di depan rumah. Avery, maju terlebih dahulu. Menekan sebuah kata kunci untuk dapat memasuki rumah. Itu adalah fitur keamanan di dalam VRO agar tidak sembarang orang bisa masuk ke dalam rumah, hanya orang-orang tertentu yang dapat keluar masuk setelah ada di dalam daftar pemilik setelah pemilik asli mendaftarkannya.
Setelah pintu terbuka, Foxx lah yang terlebih dulu memasuki rumah, dia kelihatannya semangat setiap saat. Kemudian satu per satu kami semua memasuki rumah itu. Setelah yang terakhir masuk, pintu rumah ditutup. Arianne memanduku menuju kamar yang masih kosong untuk kutempati sementara waktu selama aku bergabung di dalam party, entah sampai kapan akan terus seperti ini.
"Masuklah." Arianne mempersilahkanku masuk ke dalam kamar yang ukurannya hampir persis dengan kamarku di dunia nyata, tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil, singkat kata, kamar ini berukuran standar. Karena sistem di dalam game terlihat cukup simpel, mereka membuat agar rumah ini tidak bisa kotor karena debu. Jadi mereka dapat meninggalkan rumah ini selama mereka mau namun akan tetap bersih.
Aku duduk di kasur, memandang Arianne yang tetap menampilkan wajah datarnya. Dia hendak pergi. "Nanti akan kuberitahu saat makan malam sudah siap." surai rambut panjang sepunggungnya berayun sempurna seiring langkah kakinya keluar kamar dan menutup pintu. Aku hanya dapat menghela napas panjang setelah kejadian yang langka ini. Aku tidak tahu harus bagaimana lagi, mereka semua terlihat baik. Ini aneh karena aku belum pernah bertemu dengan mereka sebelumnya.
Aku merebahkan tubuhku. Interior di dalam ruangan ini sangat indah dengan desain yang biasa saja. Tidak banyak warna, hanya beberapa bingkai lukisan yang pernah aku lihat sebelumnya namun aku tidak tahu namanya. Kemudian aku mengeluarkan sebuah item melalui inventoryku, item yang sehari-hari kudengar saat berburu, MP3 Player. Kusematkan earphone itu di kedua telingaku. Sebuah lantunan lagu kemudian terdengar. Aku memejamkan mataku.
Tak selang beberapa lama, rentetan derap kaki terdengar, kemudian berhenti tepat di depan pintu. Sebuah ketukan tercipta tiga kali.
"Blue?" itu suara Arianne.
"Ya?" aku menjawab sambil melepas satu sisi earphone yang sedang kupakai.
"Makan malam sudah siap." dia kemudian membuka pintu itu secara perlahan, sedikit demi sedikit cahaya lampu dari luar yang lebih terang masuk melalui sela-sela pintu yang dibuka. Dibaliknya, Arianne berdiri di sana. Dia sudah tidak mengenakan baju bertarungnya lagi seperti tadi, sekarang terlihat lebih seperti pakaian rumah. Aku sendiri bahkan sampai lupa belum mengganti pakaianku.
Aku bangun dari posisiku, beranjak berdiri. Arianne kemudian berbalik tanpa mengucapkan kata-kata lagi. Aku segera membuka menu, mengganti pakaianku.
Setelah pakaianku sudah berganti sepenuhnya menjadi pakaian yang biasa kupakai ketika sedang bersantai. Setelan putih dengan kombinasi hitam yang santai. Kemudian aku mengikuti Arianne menuju tempat di mana mereka semua akan berkumpul untuk makan malam, tempat yang tadi sudah kulewati beberapa puluh menit lalu.
Mereka semua sudah berkumpul di sana. Avery di ujung, sebagai orang yang paling tua. Di sebelah, ada Cello dan Arianne yang kemudian duduk di sebelahnya. Di seberangnya terdapat dua meja kosong. Kurasa itu tempat dudukku, sedangkan Foxx masih sibuk mempersiapkan makanan masakannya yang terlihat istimewa sekali.
"Duduk dulu, Blue!" ucap Foxx dengan nada yang bersemangat, selagi mengambil panci yang berukuran cukup besar dari kompor yang sedang menyala. Aku duduk sambil terus melihatnya.
"Ah, kalian repot sekali." ucapku tidak enak karena merasa membuat mereka repot seperti ini.
"Tidak apa-apa. Acara seperti ini jarang terjadi." Avery berkata seraya membalik koran yang entah dari mana dia dapatkan. Itu koran elektronik dengan berita hanya seputar dunia VRO. Yang kutahu fitur seperti itu dulu hanya dijalankan oleh player iseng yang menjadi jurnalis di dunia nyata. Namun nampaknya pekerjaan itu sudah diminati karena sekarang kami semua terperangkap di dunia ini.
"Betul!" Foxx menambahi sembari menaruh panci itu di atas sebuah kain tebal di tengah meja yang berukuran tidak terlalu besar, seukuran dengan panci yang di letakannya. "Mungkin akan sering setelah ini!" dia nyengir, lalu melepas celemek yang dipakainya untuk memasak tadi, walaupun terdengar aneh kalau terlalu formal. Karena di dunia ini memasak pun serba praktis, hanya tinggal sekali klik saja sudah jadi. Namun nampaknya fitur itu tidak bisa menjadi kebiasaan di sini, itu terlalu aneh. Kemudian dia mengambil tempat duduk di sebelahku -satu-satunya tempat duduk yang tersisa di sini.
"Aromanya menggugah selera." Arianne tersenyum kecil sambil sesekali mencium bau masakan yang dibawakan oleh Foxx. Lalu Foxx mengklik sebuah tombol yang keluar dari menu makanan yang sudah tersedia. Use. Dengan sekejap makanan itu sudah siap di piring kami masing-masing. Ini kebiasaan yang harus kubiasakan mulai sekarang. Karena aku biasanya tidak pernah makan bersama seperti ini.
Setelah itu, dimulai dari Avery yang menaruh korannya dan mulai memakan makanannya, kami pun memulai makan malam kami -makan malamku yang pertama.
"Ngomong-ngomong, Foxx," aku menghentikan santapanku yang masih beberapa sendok, Foxx menoleh ke arahku karena kupanggil, masakannya memang lezat, "Skill memasakmu level berapa?" tanyaku, kemudian menyantap lagi.
Dia berpikir sejenak, mengingat-ingat "Kalau tidak salah hampir penuh." dia kemudian tersenyum, lalu menyantap.
"Dia memang satu-satunya di sini yang bisa memasak." Avery menambahi.
"Itu karena Foxx tidak bisa melakukan hal lain lagi." Arianne terkekeh lalu meminum minumannya. Foxx manyun.
"Itu ‘kan karena aku punya banyak waktu luang!" protes Foxx menatap Avery dan Arianne secara bergantian. Tatapannya yang cukup tajam itu dapat membuat orang yang ditatapnya tertawa. Aku hanya dapat tersenyum simpul melihat mereka berbicara seperti itu.
"Useless." suara itu terdengar dari mulut Cello, yang notabene manusia paling pendiam di party ini. Suara tawa mereka meledak minus Foxx yang menjadi bahan tertawaan. Cello bahkan terlihat tertawa walaupun hanya tersenyum saja. Kemudian Foxx yang setengah jengkel melempar makanannya ke arah Cello namun dapat ditepis olehnya, dia semakin jengkel.
"Kan Chef itu seseorang yang paling penting di party!" tolak Foxx lagi, dia mencari-cari sebuah alasan lagi "Coba tidak ada aku, bagaimana kalian akan berburu tanpa buff dari makananku?" suara tawa itu kemudian berganti menjadi sunyi.
"I-itu benar juga, sih." aku menimpali pernyataan Foxx, memang benar kalau makanan itu mempunyai buff yang berguna dalam pertarungan, dan harganya pun cukup mahal kalau harus beli melalui dagangan player yang mempunyai skill memasak tinggi, Foxx salah satunya.
"Tidak apa, Blue," ucap Avery. Aku bingung dengan perkataannya "Lagi pula, Foxx tidak pernah bisa benar-benar marah." dia terkekeh sambil menghabiskan makanannya yang sudah tersisa sedikit.
"E-eh?"
"Itu benar." ujar Foxx.
Sampai sekarang pun aku masih bingung. Apa yang membuat mereka bisa bahagia? Hubungan mereka adalah hubungan yang bisa diungkapkan dengan kata-kata. Ini jauh lebih simpel dibandingkan hubungan percintaan remaja yang penuh dengan konflik tak berujung. Hubungan mereka tidak didasari dengan sifat, fisik, ataupun perbedaan. Justru perbedaanlah yang menyantukan mereka. Hubungan mereka dapat diungkapkan melalui dua kata: kasih sayang. Itulah yang menurutku cocok untuk mendeskripsikan mereka.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)