(Image: digital-art-gallery.com)
---
Legacy © Fariz Azmi
Perjalanannya tidak terlalu lama. Aku
mendarat tepat di jantung kota Lyon, kotanya masih kalah indah jika
dibandingkan dengan ibukota Prancis, Paris. Ternyata banyak juga player di sini. Kukira masih sepi
seperti dulu. Lyon dulu tidak banyak dikunjungi oleh player-player pada umumnya, hanya orang-orang tertentu saja.
Setelah turun dari Bahamut dan naga itu pergi, aku berjalan menuju portal
teleportasi yang berbentuk seperti sebuah gerbang tanpa gerbang -maksudku,
bentuknya seperti gerbang, namun tanpa pintunya, hanya cahaya berwarna biru
muda—aqua, seperti blackhole, kau masuk lalu menekan kota
tujuanmu dari menu dan sekejap kau sudah berada di kota tujuanmu. Namun kau
bisa dengan mudah 'mengatakan'
daripada 'menekan' melalui menu, itu
jika kau sudah hafal nama-nama kota. Simpel.
Wajah-wajah mereka, wajah yang tak pernah
kukenal di dunia nyata. Itukah wajah para pemain VRO? Wajah para gamer?
Aku terpaku untuk beberapa saat. Aku bahkan tidak menyadarinya hingga sekarang.
Banyak yang terlewat selama dua tahun ini. Wajah-wajah gembira ini sudah lama
tidak kusaksikan. Aku kembali dalam permainan.
"Allen!"
Suara itu samar-samar memanggilku dalam
kerumunan ini. Allen adalah nama asliku. Mungkin aku hanya salah dengar, atau
ada seseorang dengan nickname yang
sama dengan nama asliku. Mana mungkin ada seseorang yang kenal denganku di sini.
"Allen!"
Oke, kali ini langkahku terhenti karena
ada seseorang yang menarik lengan bajuku, sontak aku menoleh dan membalik badan
hampir 180 derajat. Ah, bahkan sinar matahari ini menghalangiku melihat 'orang' ini. Aku naikkan tangan kiriku
untuk menghalangi sinar yang mengenai langsung ke arah wajahku.
Sosok yang kukenal beberapa tahun lalu.
Suaranya khas. Masih suara yang kukenal dulu. Ini aneh, sekejap memoriku
kembali muncul ke permukaan otak.
"Susah banget manggil kamu di kerumunan ini!" napasnya memburu seraya
melepas pegangannya di lenganku dan membungkuk, kedua tangannya memegang
lututnya. Dia mencoba untuk mengatur napas kali ini.
"Kau..." napasnya masih
tersengal-sengal ketika berusaha untuk berkata, "Kau Allen, ‘kan?"
sial. Aku benar-benar ingin melihat wajah dibalik jubah ini. Aku lupa dengan
siapa pemilik suara ini di dunia nyata.
"Ah, kamu siapa?" tanyaku balik.
"Aku..." dia mencoba mengatur
napas lagi, game ini benar-benar di
desain sedemikian rupa bahkan sekarang kau bisa merasa lelah walaupun berada di
dunia nyata, "Aku Chloe!" Chloe?
"Chloe? Chloe siapa?"
"Memangnya siapa lagi temanmu yang
bernama Chloe selain aku?" napasnya kini sudah teratur dibandingkan tadi.
Perkataannya benar, aku hanya mempunyai satu teman yang bernama Chloe. Wajahnya
kini terangkat, lagi-lagi aku mengangkat tanganku untuk menghalangi sinar
matahari yang menerpa wajahku secara langsung. Dia pun membuka tudung jubah
berwarna ungu dengan corak tribal
simpelnya.
Wajah itu adalah wajah yang sempat kupuja
sewaktu masih SMA dulu, tidak ada yang berubah sama sekali walau sudah hampir
lima tahun. Walaupun ditutupi dengan kuping runcing khas ras Pixie, lekukan
wajahnya tidak pernah luput untuk kukenali.
"Chloe Éclair?"
dia mengangguk tanda setuju dengan ucapanku.
"Ini udah hampir lima tahun. Aku nggak nyangka bakal bertemu kamu di sini." ujarnya tersenyum sembari
menyeka keringat yang menetes melewati pelipis dahinya.
"Dan kamu masih tetap pendek."
ledekku, dan dia langsung manyun. Dia
memang sedikit lebih pendek dari teman-temannya, tapi itu bukan pokok
permasalahan yang dia punya dan juga bukan pokok bahasan kali ini.
"Dasar."
manyunnya hilang "Kamu ngapain di sini?" tanyanya. Justru
aku yang seharusnya bertanya seperti itu kepadamu.
"Kamu sendiri? Bukannya kamu nggak
begitu tertarik dengan game? Apalagi game kayak
gini"
"Ah, tahu sendiri lah. Bosen
kerja mulu."
"Oh, jadi ini cuma pelarian, ya."
"Baru tiga bulan, kok."
"Aku ngerti."
"Terus, kamu sendiri ngapain?"
Aku berpikir sejenak akan pertanyaannya.
Benar, apa yang kulakukan di sini? "Iseng."
"Mencurigakan." ekspresi
wajahnya tiba-tiba berubah menjadi lebih misterius.
"Apanya yang mencurigakan?" aku
berdalih.
"Jawabanmu."
Ah, gadis ini memang selalu pintar, dia
tahu ke mana arah pembicaraan akan berlangsung. Mungkin gadis ini adalah gadis
terpandai yang pernah kutemui selama bersekolah, itulah salah satu sebab aku
tidak pernah bisa mendapatkan hatinya, dulu.
"Aku mau bertemu dengan teman lamaku.
Mau ikut?" tawarku, aku ingat kalau sekarang aku punya janji untuk bertemu
dengan kacang itu.
"Ke?"
"Ke Yunani, ada kafe kecil yang
bernama Arcelius Cafe di dekat Tripoli. Tahu?"
Dia menggeleng sesaat setelah aku
mengatakan itu. Ah, benar juga, dia ‘kan baru tiga bulan di VRO.
"Tapi, boleh." dia setuju
setelah terlihat berpikir untuk sejenak.
"Oke, waktuku tidak banyak." Aku
langsung bergegas menuju portal teleportasi yang berada dua belas meter dari
tempatku berdiri—lebih tepatnya terhenti. Chloe mengikutiku di belakang.
"Tripoli." ucapku setelah
memasuki portal, aku keluar portal dan aku sudah berada di Tripoli. Chloe masih
tetap mengikuti di belakangku, ternyata dia lebih menguasai dunia ini dibanding
dengan perkiraanku. Buktinya dia langsung menyebut kota dibandingkan menekan
melalui menu, aku saja baru menyadari bahwa bisa dengan 'menyebut' daripada 'menekan'
setelah satu tahun lebih. Fitur itu memang tidak diberitahukan melalui guide game ini. Ada banyak fitur tersembunyi, malah.
Sekeluarnya dari portal, aku melihat
sekelilingku. Cukup ramai. Pemandangannya masih sama, arsitektur Yunani-nya
tidak pernah berubah. Aku mengarahkan kakiku ke arah barat, menuju sebuah jalan
yang cukup besar, di ujungnya aku melihat sebuah patung seorang dewa -atau anak
dewa, entahlah, patung itu kecil, mungkin tingginya hanya satu meter.
"Sudah lama main, ya?" Chloe
memulai pembicaraan, sambil terus berjalan berayun memainkan kedua kak
mungilnya terhadap bebatuan kecil yang terus ia tendang-tendang.
Aku mengangguk, "Aku main dua tahun
saat game ini berusia satu
tahun."
"Lalu dua tahun lainnya?" benar,
game ini dua bulan lagi kalau tidak
salah akan genap berusia lima tahun.
Aku memasang wajah sedikit bingung,
bingung untuk menjawabnya "Dua tahunnya aku pensiun dari gamer." aku tersenyum simpul sambil
merapikan tatanan rambutku yang terkena angin semilir.
"Kok bisa?" dia bertanya
penasaran.
"Ah, tahu sendiri. I'm not the cleverest kid in school, but you
are." dia terkekeh saat aku melontarkan kata-kata sok inggrisku.
"Aku tahu skenario itu."
"Ya, nilaiku tidak begitu bagus,
karena game ini juga memperparah
nilaiku. Dan selanjutnya aku berhenti total dari VRO."
"Tapi aku kagum." aku menoleh,
kagum untuk apa? Tidak ada sesuatu yang bisa dikagumi dariku. Aku bahkan bukan
orang yang pandai membuat orang kagum.
"Tentang apa?"
"Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya
murid di sekolah yang mampu mengalahkanku dalam pelajaran Bahasa Inggris."
lagi-lagi, memoriku muncul. Mengingatkanku tentang betapa buruknya nilaiku di
semua mata pelajaran yang ada di sekolah, except
one, Bahasa Inggris.
"Ah, itu tidak termasuk dengan
sesuatu yang bisa membuat orang kagum."
"I
know, tapi aku kagum." dia tersenyum seraya membuang wajahnya ke arah
lain, bisa kulihat rambutnya terayun-ayun diterpa angin-angin nakal yang sedang
berhembus kesana-kemari.
"Ah, kita belok dari sini."
beberapa menit berjalan, waktu terasa cepat berlalu, biasanya aku harus memutar
beberapa lagu jika berjalan dari portal hingga jalan bercabang ini. Atau
mungkin karena ada Chloe? Mungkin saja. Jalan itu bercabang menjadi jalan
setapak, kita sekarang sudah berada di pinggiran Tripoli. Rumah-rumah sudah
jarang terlihat dari sini, jadi dari sini kau sudah bisa melihat ada sebuah
kafe kecil di ujung jalan setapak ini, ditemani oleh beberapa bangunan lain.
"Ini pertama kalinya aku
kemari." Chloe memulai lagi pembicaraan, nampaknya dia sekarang jadi lebih
suka berbicara, dulu dia tidak terlalu banyak bicara.
"Makanya exploring. Itu nilai plus
di game ini. Kamu pasti terlalu sibuk
hunting ya?" tebakku, dan dia
mengangguk. "Dulu aku juga sepertimu, tapi saat bosan, aku pergi exploring ke tempat-tempat yang belum
pernah kukunjungi."
Alisnya sebelah naik, "Memang sudah
pernah ke mana saja, di VRO?"
Aku berpikir sejenak, ke mana saja aku
pernah pergi? Kurasa hampir semua wilayah di sini sudah pernah aku jelajahi.
"Hampir semua."
"Yang benar?" dia terlihat
sedikit terkejut, memang sih, exploring
di VRO itu tidak mudah, apalagi
sendirian, karena ketika kau keluar dari wilayah kota—wilayah aman, di mana monster tidak bisa masuk. Kau akan
bertemu banyak monster dengan berbagai jenis dan level. Untungnya saat aku mulai menjelajah, aku sudah berada dalam level cap, jadi para monsternya tidak ada yang mustahil
dikalahkan, mungkin yang paling kuat, kita seimbang saat pertempuran.
"Ya, tapi mungkin sekarang jumlah
wilayahnya sudah ditambah, mengingat sudah dua tahun aku tidak main."
tambahku. Jelas saja ada penambahan wilayah, terutama dungeon dan hidden dungeon.
Dia mengangguk setuju lagi.
"Kalau kamu, Chloe, sudah pernah ke
mana saja?" aku bertanya kembali untuk memastikan dia sudah ke mana saja
sejak tiga bulan berada di sini. Dia berpikir sejenak sambil mengingat-ingat
sesuatu.
"Hanya sekitar benua Asia dan
beberapa negara di eropa."
"Oh, lumayan juga. Ah, sudah ke
Obihiro? Di sana kamu bisa lihat sunset
yang sangat indah." tiba-tiba aku teringat dengan sebuah landscape di wilayah Jepang, sunset yang tidak sengaja aku temukan
ketika aku tersesat ketika memasuki dungeon
di gunung sebelahnya, dan berakhir di sana. Hanya beberapa orang saja yang tahu
tempat itu adalah tempat yang indah untuk menyaksikan sunset.
"Obihiro?"
"Jepang, tidak terlalu jauh dari
Sapporo. Tapi kamu harus berjalan dari Sapporo, karena belum ada jalan di sana,
hanya ada lembah dan gunung."
"Belum," dia menggeleng,
"Itu artinya nanti kamu yang membawaku kesana!" dia nyengir sambil berlari kecil beberapa
meter di depanku. "Hitung-hitung sebagai perayaan kembalinya kamu di VRO."
"Baiklah," aku tersenyum sambil
memandangi aksi kekanak-kanakannya. "Eh," aku tiba teringat sesuatu.
Dia menoleh tiba-tiba "Kamu, sudah kerja, ‘kan?"
Dia mengangguk lalu melanjutkannya dengan
kalimat "Setelah lulus dari sana aku langsung bekerja untuk perusahaan
itu. Perusahaannya membosankan," wajahnya kembali manyun pada kalimat terakhir. Aku terkekeh. "Kalau kamu?"
Pertanyaan itu bagai belati yang menusuk
langsung ke jantungku. Memang benar, bahkan sekarang aku masih kuliah, sedikit
terlambat dari teman-temanku. "Ah, bagaimana ya?" ekspresiku kecut dengan senyum yang sedikit
dipaksakan, mungkin sekarang aku terlihat seperti orang yang bingung.
"Bagaimana apanya? Bukankah kamu
penulis juga?"
Aku mengangguk setuju, aku memang
bercita-cita sebagai penulis. Itulah sebabnya aku masuk Jurusan Sastra.
"Hanya beberapa buku yang diterbitkan."
"Tuh
‘kan! Kamu itu berbakat jadi penulis! Kamu nulis
novel? Apa judulnya? Lalu genrenya?"
dia terlihat bersemangat mendadak dengan menamparku dengan pertanyaannya.
"Ah, cuma novel norak dengan genre percintaan, misteri, dengan sedikit
campuran humor garing."
"Oh~," dia ber-oh-ria seraya
bersiap-siap bertanya lagi "Judulnya?"
Ah, padahal aku sudah berusaha agar dia
tidak bertanya tentang judulnya, tapi apa boleh buat "Lady in Silhouete."
"Covernya
seorang gadis yang sedang berdiri di sebuah padang rumput luas dengan efek
siluet?" aku mengangguk, bagaimana dia bisa mengerti? "Yang benar
saja kalau kamu bilang novel norak! Itu ‘kan novel bagus! Hanya saja aku tidak
tahu kalau kamu yang menulis itu. Tahun berapa ya novel itu keluar?"
"Satu tahun lebih mungkin." aku
memang sengaja tidak mencantumkan nama asliku di novel itu, aku lebih memilih
nama anonymous daripada nama asli. Wajar
saja dia tidak tahu. Tapi sekarang aku lega mendengar itu semua darinya.
"Ah benar." dia tersenyum lagi
sembari membuang wajah ke arah lain.
Kakiku terhenti di sini, kami sudah
sampai. Berada di depan kafe ini sekarang, serasa kembali menjadi hunter solo seperti dua tahun lalu.
"Kita sudah sampai." tapi ketika dia akan beranjak membuka pintu itu,
aku menahannya.
"Kenapa?" dia bertanya bingung.
"Di dunia ini, kita nggak boleh
mengumbar identitas kita ke sembarang orang. Mulai sekarang, panggil aku dengan
nicknameku, Blue." aku
meyakinkan sejenak dan dia mengangguk dengan cepat.
"Violet." aku tidak menyangka
dia mempunyai nickname warna seperti
denganku. Kukira dulu dia menyukai warna pink
atau sejenisnya.
"Baiklah, Violet, kita masuk."
Aku membuka sisi sebelah pintu itu, Violet
masuk mengikuti di belakangku. Aroma ini, khas, aroma yang hampir setiap hari
aku hirup ketika menjadi pemberhentian terakhirku sesudah hunting. Namun sebaliknya, Chloe—maksudku, Violet, malah menutup
rapat-rapat hidungnya, kurasa dia harus membiasakan dirinya dengan bau-bau
seperti ini jika mau ikut denganku.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh
penjuru ruangan yang terlihat cukup besar. Di antara sosok-sosok yang tidak
kukenal, kutangkap sesosok Myrian yang kukenal, wajah songong dengan setelan yang bahkan tidak cocok dengan kombinasi
warnanya. Itulah si kacang, Walnut.
Seperti biasa, dia sedang minum-minum sambil terus merayu player perempuan lain. Aku langsung
menghampirinya.
"Lama nggak ketemu, dude."
oh, aku hampir lupa mengatakan kalau Walnut
itu adalah orang Mexico. Di VRO,
karena hanya ada satu server yaitu server internasional, jadi kita wajib
menggunakan Bahasa Inggris untuk berbicara, tapi kalau untuk teman satu negara,
tidak apa memakai bahasa sendiri.
"Well
well well, lihat siapa yang berada di sini sekarang? Kau kembali bermain, bro?"
pertanyaan itu pasti pertanyaan pertama yang ditanyakan seseorang ketika
temannya kembali bermain dalam sebuah game
yang sempat dimainkan, hiatus, kemudian kembali bermain lagi. Namun aku tidak
begitu yakin menjawabnya. Dan hmm, fitur live
translationnya cukup menarik, logatnya tidak diganti, dan memang
benar-benar sudah sempurna, kukira.
"Aku nggak yakin," aku
berdalih sambil tersenyum memandangnya, "Oh, ini temanku, dia
masih baru di VRO. Katanya sudah
sekitar tiga bulan dia bermain, aku juga baru tahu dan bertemu dengannya." aku beralih memperkenalkan
Violet yang dari tadi kulihat hanya diam saja sambil memandang kesana-kemari.
"Oh,
kau membawa pacarmu?" sial.
Pertanyaan macam apa itu, dia bahkan tidak tahu sejarah hubunganku bersama
Violet seperti apa.
"Tidak tidak, dia temanku dulu saat SMA. Aku
baru bertemu dengannya tadi di Lyon saat
akan kemari." aku tersenyum
kecut, melirik Violet sesekali, untung saja dia tidak marah.
"Okay,
aku mengerti, kok," dia terkekeh mengatakannya lalu beralih memandang
Violet "Jadi, siapa gadis cantik ini?"
gawat, dia akan melancarkan serangannya kepada Violet dengan rayuan-rayuan
murahan yang dulu sering kudengar.
"Aku Violet, salam kenal." Violet tersenyum malu-malu
sambil bersalaman dengan Walnut.
"I'm
Walnut, but i'm not nut," dia melucu, seperti kebiasaannya "Jadi,
namamu Violet, huh?" Violet
mengangguk menjawabnya "Nama warna, seperti
nama temanmu itu," dia membuang
pandangannya ke arahku lalu kembali memandangnya "Kau yakin jika dia bukan pacarmu?" sial, pertanyaannya semakin tidak mengarah.
Violet melirikku sesekali, lalu membalas
"Apa kau mengira kita ini seperti sepasang kekasih?" what? Kenapa
Violet sendiri malah melanjutkan pembicaraan itu?
"Tentu saja, dia orang baik," dia beralih memandangku sambil
tersenyum lalu kembali memandang Violet, sebuah pujian atau serangan? Great, sekarang aku seperti patung yang
dipajang dengan mereka sebagai pemain utamanya. "Hey Blue," aku
menoleh menatapnya "Kau harus memasukkannya ke Rainbow, kupikir dia
hebat. Omong-omong namanya juga warna
sepertimu." ah, benar juga,
mungkin kalau Rainbow sudah berkumpul lagi, aku bisa memasukkannya ke dalam party.
"Oh,
kau benar, aku tidak pernah
memikirkan itu." aku setuju
dengan perkataannya. Walnut tersenyum bangga melihatku setuju dengannya.
"Jadi, Blue, apa yang
membawamu ke sini?" dia
mengingatkanku tentang mengapa tujuanku kemari.
"Tidak ada yang penting, aku hanya ingin bertanya beberapa
pertanyaan kepadamu."
"Kalau begitu tanyalah, aku akan dengan senang hati menjawab
pertanyaanmu." dia meneguk minumannya
sedikit lalu menaruhnya kembali.
"Sejak aku pergi, aku ketinggalan banyak update,
katakan kepadaku dengan singkat."
"Baiklah, tidak banyak, hanya
penambahan kapasitas level," dia
mengingat-ingat sesuatu, menampakkan wajah berpikirnya "Penambahan dungeon yang sangat banyak, dan beberapa dari itu adalah hidden dungeon," kalimatnya
selesai, nampaknya memang hanya update-update
biasa saja sesuai perkembangannya "Oh,
dan beberapa fitur baru, tetapi
aku tidak terlalu paham dengan yang satu ini."
"Hm, kapasitas level?"
"Sejauh yang kutahu, forum resminya memberitahu penambahan levelnya menjadi 100, itu delapan bulan lalu. Tetapi,
beberapa hari lalu aku melihat seorang player
berlevel 106. Mungkin mereka menambahkannya namun lupa untuk memberitahu kita." oke, itu sangat banyak, karena
untuk mencapai level 60 saja
dibutuhkan waktu total bermain sebanyak sembilan bulan untuk rata-rata player, namun aku hanya membutuhkan
waktu enam bulan saja karena aku sering bermain di raid bersama Rainbow.
"Lalu, tentang dungeonnya? Di mana itu?" aku melanjutkan pertanyaanku yang sudah layaknya seorang
wartawan mewawancarai seseorang.
"Kukira di setiap kota ada yang baru."
"Yang satunya?" aku bertanya lagi, kali ini merujuk pada dungeon yang tersembunyi, seperti
perkataannya tadi.
"Ah,
tentang itu—“
"—cukup beri tahu aku saja, okay? Aku juga nggak akan menyebarkannya, kok."
"Baiklah kalau begitu," dia nampak cukup ragu, di sini, hidden dungeon adalah surga bagi para
pemburu exp. Exp itu dibutuhkan untuk menaikkan levelmu, semua game
MMORPG yang menganut sistem leveling
pasti ada expnya. Dengan lirih dia
berkata lirih "Wallachia Castle, Wallachia. Yggdrasil Tundra, Sweden. Ancient Ruins, Thailand," lalu dia mendekatkan tubuhnya ke arahku, membisikkan
sesuatu "Tapi untukmu, aku
menyarankanmu untuk berburu di Devil Forest, Germany. Di sana ada hidden dungeon di bawah camp terakhir. Bertarunglah di sana hingga 68.
Setelah itu, pergi ke Uwajima Springbreak, Jepang. Kau seharusnya akan menemukan pintu
masuk ke hidden dungeon jika kau
menggunakan 'item' yang benar. Bertarunglah sampai 75.
Lalu pergilah ke Angkor Wat,
tetapi tempatnya nggak
benar-benar di sana, beberapa ratus
meter dari sana, ada stupa yang
berbentuk unik, yang paling unik. Bertarunglah hingga 85." kata-katanya terhenti. Itu akhir
penjelasannya. Ia kembali meneguk segelas minuman yang tersisa sedikit, hingga
habis. Kalau saja aku bukan temannya, mungkin informasi itu sepadan dengan
harga sebuah kota kecil, tentu saja dalam dunia VRO.
"Terima kasih, mate, aku akan membalasnya suatu saat nanti." aku memandang manusia setengah serigala di depanku, ras
Myria. Itu adalah satu-satunya ras demihuman
di VRO, mereka mempunyai daya pandang
dan pendengaran jauh di atas ras-ras lainnya.
"Pergilah berburu, sana pergi," dia
tersenyum lalu mengalihkan pandang ke arah bartender
yang sedang sibuk melayani pelanggan lain "Tambah minumnya!" damn, dia suka sekali minum.
"Oke, ayo Violet." aku bergegas
beranjak dari tempat dudukku, tanganku menyambar lengan Violet yang sedang
bersandar di kursi kecil itu.
"Eh? Sudah selesai?" dia
bertanya. Aku hanya mengangguk membalasnya.
"Hey,"
suara Walnut kembali terdengar, kami masih beberapa langkah dari tempat duduk
kami tadi, kami berdua menoleh panggilan itu. "Tolong jaga gadis cantik
itu, oke?" matanya menatap tajam
ke arahku. Ini bukan sebuah pesan atau amanat, ini lebih mengarah ke ancaman.
"Tentu saja."
Kemudian langkahku kembali berayun, entah
ke mana sekarang aku harus pergi, dengan gadis di sampingku ini.
"Ke mana kita akan pergi?"
Violet bertanya selepas keluarnya kami dari kafe itu. Oh, aku bahkan belum
memesan minuman.
"Entahlah."
Gadis itu menghentikan langkahnya,
peganganku di lengannya terlepas.
"Itu tidak menjawab pertanyaanku,
Blue." ini pertama kalinya dia memanggilku dengan sebutan itu.
"Oke," aku membalikkan tubuhku,
menghadap ke arahnya, tersenyum simpul "Aku tidak yakin, aku berpikir
harus meng-GB-mu jika kamu mau ikut
denganku, ini hanya tawaran biasa, aku tidak meminta sesuatu." GB, istilah kami untuk menyebut leveling cepat, di mana karakter yang
akan di-GB tidak perlu bersusah-payah
hunting sendirian untuk mencari exp, namun cukup ditemani oleh pemain
yang levelnya lebih tinggi.
--