19 May 2015

Legacy - 01.2

(Image: digital-art-gallery.com)

---

Legacy © Fariz Azmi


Perjalanannya tidak terlalu lama. Aku mendarat tepat di jantung kota Lyon, kotanya masih kalah indah jika dibandingkan dengan ibukota Prancis, Paris. Ternyata banyak juga player di sini. Kukira masih sepi seperti dulu. Lyon dulu tidak banyak dikunjungi oleh player-player pada umumnya, hanya orang-orang tertentu saja. Setelah turun dari Bahamut dan naga itu pergi, aku berjalan menuju portal teleportasi yang berbentuk seperti sebuah gerbang tanpa gerbang -maksudku, bentuknya seperti gerbang, namun tanpa pintunya, hanya cahaya berwarna biru muda—aqua, seperti blackhole, kau masuk lalu menekan kota tujuanmu dari menu dan sekejap kau sudah berada di kota tujuanmu. Namun kau bisa dengan mudah 'mengatakan' daripada 'menekan' melalui menu, itu jika kau sudah hafal nama-nama kota. Simpel.

Wajah-wajah mereka, wajah yang tak pernah kukenal di dunia nyata. Itukah wajah para pemain VRO? Wajah para gamer? Aku terpaku untuk beberapa saat. Aku bahkan tidak menyadarinya hingga sekarang. Banyak yang terlewat selama dua tahun ini. Wajah-wajah gembira ini sudah lama tidak kusaksikan. Aku kembali dalam permainan.
"Allen!"
Suara itu samar-samar memanggilku dalam kerumunan ini. Allen adalah nama asliku. Mungkin aku hanya salah dengar, atau ada seseorang dengan nickname yang sama dengan nama asliku. Mana mungkin ada seseorang yang kenal denganku di sini.
"Allen!"
Oke, kali ini langkahku terhenti karena ada seseorang yang menarik lengan bajuku, sontak aku menoleh dan membalik badan hampir 180 derajat. Ah, bahkan sinar matahari ini menghalangiku melihat 'orang' ini. Aku naikkan tangan kiriku untuk menghalangi sinar yang mengenai langsung ke arah wajahku.
Sosok yang kukenal beberapa tahun lalu. Suaranya khas. Masih suara yang kukenal dulu. Ini aneh, sekejap memoriku kembali muncul ke permukaan otak.
"Susah banget manggil kamu di kerumunan ini!" napasnya memburu seraya melepas pegangannya di lenganku dan membungkuk, kedua tangannya memegang lututnya. Dia mencoba untuk mengatur napas kali ini.
"Kau..." napasnya masih tersengal-sengal ketika berusaha untuk berkata, "Kau Allen, ‘kan?" sial. Aku benar-benar ingin melihat wajah dibalik jubah ini. Aku lupa dengan siapa pemilik suara ini di dunia nyata.
"Ah, kamu siapa?" tanyaku balik.
"Aku..." dia mencoba mengatur napas lagi, game ini benar-benar di desain sedemikian rupa bahkan sekarang kau bisa merasa lelah walaupun berada di dunia nyata, "Aku Chloe!" Chloe?
"Chloe? Chloe siapa?"
"Memangnya siapa lagi temanmu yang bernama Chloe selain aku?" napasnya kini sudah teratur dibandingkan tadi. Perkataannya benar, aku hanya mempunyai satu teman yang bernama Chloe. Wajahnya kini terangkat, lagi-lagi aku mengangkat tanganku untuk menghalangi sinar matahari yang menerpa wajahku secara langsung. Dia pun membuka tudung jubah berwarna ungu dengan corak tribal simpelnya.
Wajah itu adalah wajah yang sempat kupuja sewaktu masih SMA dulu, tidak ada yang berubah sama sekali walau sudah hampir lima tahun. Walaupun ditutupi dengan kuping runcing khas ras Pixie, lekukan wajahnya tidak pernah luput untuk kukenali.
"Chloe Éclair?" dia mengangguk tanda setuju dengan ucapanku.
"Ini udah hampir lima tahun. Aku nggak nyangka bakal bertemu kamu di sini." ujarnya tersenyum sembari menyeka keringat yang menetes melewati pelipis dahinya.
"Dan kamu masih tetap pendek." ledekku, dan dia langsung manyun. Dia memang sedikit lebih pendek dari teman-temannya, tapi itu bukan pokok permasalahan yang dia punya dan juga bukan pokok bahasan kali ini.
"Dasar." manyunnya hilang "Kamu ngapain di sini?" tanyanya. Justru aku yang seharusnya bertanya seperti itu kepadamu.
"Kamu sendiri? Bukannya kamu nggak begitu tertarik dengan game? Apalagi game kayak gini"
"Ah, tahu sendiri lah. Bosen kerja mulu."
"Oh, jadi ini cuma pelarian, ya."
"Baru tiga bulan, kok."
"Aku ngerti."
"Terus, kamu sendiri ngapain?"
Aku berpikir sejenak akan pertanyaannya. Benar, apa yang kulakukan di sini? "Iseng."
"Mencurigakan." ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah menjadi lebih misterius.
"Apanya yang mencurigakan?" aku berdalih.
"Jawabanmu."
Ah, gadis ini memang selalu pintar, dia tahu ke mana arah pembicaraan akan berlangsung. Mungkin gadis ini adalah gadis terpandai yang pernah kutemui selama bersekolah, itulah salah satu sebab aku tidak pernah bisa mendapatkan hatinya, dulu.
"Aku mau bertemu dengan teman lamaku. Mau ikut?" tawarku, aku ingat kalau sekarang aku punya janji untuk bertemu dengan kacang itu.
"Ke?"
"Ke Yunani, ada kafe kecil yang bernama Arcelius Cafe di dekat Tripoli. Tahu?"
Dia menggeleng sesaat setelah aku mengatakan itu. Ah, benar juga, dia ‘kan baru tiga bulan di VRO.
"Tapi, boleh." dia setuju setelah terlihat berpikir untuk sejenak.
"Oke, waktuku tidak banyak." Aku langsung bergegas menuju portal teleportasi yang berada dua belas meter dari tempatku berdiri—lebih tepatnya terhenti. Chloe mengikutiku di belakang.
"Tripoli." ucapku setelah memasuki portal, aku keluar portal dan aku sudah berada di Tripoli. Chloe masih tetap mengikuti di belakangku, ternyata dia lebih menguasai dunia ini dibanding dengan perkiraanku. Buktinya dia langsung menyebut kota dibandingkan menekan melalui menu, aku saja baru menyadari bahwa bisa dengan 'menyebut' daripada 'menekan' setelah satu tahun lebih. Fitur itu memang tidak diberitahukan melalui guide game ini. Ada banyak fitur tersembunyi, malah.
Sekeluarnya dari portal, aku melihat sekelilingku. Cukup ramai. Pemandangannya masih sama, arsitektur Yunani-nya tidak pernah berubah. Aku mengarahkan kakiku ke arah barat, menuju sebuah jalan yang cukup besar, di ujungnya aku melihat sebuah patung seorang dewa -atau anak dewa, entahlah, patung itu kecil, mungkin tingginya hanya satu meter.
"Sudah lama main, ya?" Chloe memulai pembicaraan, sambil terus berjalan berayun memainkan kedua kak mungilnya terhadap bebatuan kecil yang terus ia tendang-tendang.
Aku mengangguk, "Aku main dua tahun saat game ini berusia satu tahun."
"Lalu dua tahun lainnya?" benar, game ini dua bulan lagi kalau tidak salah akan genap berusia lima tahun.
Aku memasang wajah sedikit bingung, bingung untuk menjawabnya "Dua tahunnya aku pensiun dari gamer." aku tersenyum simpul sambil merapikan tatanan rambutku yang terkena angin semilir.
"Kok bisa?" dia bertanya penasaran.
"Ah, tahu sendiri. I'm not the cleverest kid in school, but you are." dia terkekeh saat aku melontarkan kata-kata sok inggrisku.
"Aku tahu skenario itu."
"Ya, nilaiku tidak begitu bagus, karena game ini juga memperparah nilaiku. Dan selanjutnya aku berhenti total dari VRO."
"Tapi aku kagum." aku menoleh, kagum untuk apa? Tidak ada sesuatu yang bisa dikagumi dariku. Aku bahkan bukan orang yang pandai membuat orang kagum.
"Tentang apa?"
"Kamu tahu, kamu adalah satu-satunya murid di sekolah yang mampu mengalahkanku dalam pelajaran Bahasa Inggris." lagi-lagi, memoriku muncul. Mengingatkanku tentang betapa buruknya nilaiku di semua mata pelajaran yang ada di sekolah, except one, Bahasa Inggris.
"Ah, itu tidak termasuk dengan sesuatu yang bisa membuat orang kagum."
"I know, tapi aku kagum." dia tersenyum seraya membuang wajahnya ke arah lain, bisa kulihat rambutnya terayun-ayun diterpa angin-angin nakal yang sedang berhembus kesana-kemari.
"Ah, kita belok dari sini." beberapa menit berjalan, waktu terasa cepat berlalu, biasanya aku harus memutar beberapa lagu jika berjalan dari portal hingga jalan bercabang ini. Atau mungkin karena ada Chloe? Mungkin saja. Jalan itu bercabang menjadi jalan setapak, kita sekarang sudah berada di pinggiran Tripoli. Rumah-rumah sudah jarang terlihat dari sini, jadi dari sini kau sudah bisa melihat ada sebuah kafe kecil di ujung jalan setapak ini, ditemani oleh beberapa bangunan lain.
"Ini pertama kalinya aku kemari." Chloe memulai lagi pembicaraan, nampaknya dia sekarang jadi lebih suka berbicara, dulu dia tidak terlalu banyak bicara.
"Makanya exploring. Itu nilai plus di game ini. Kamu pasti terlalu sibuk hunting ya?" tebakku, dan dia mengangguk. "Dulu aku juga sepertimu, tapi saat bosan, aku pergi exploring ke tempat-tempat yang belum pernah kukunjungi."
Alisnya sebelah naik, "Memang sudah pernah ke mana saja, di VRO?"
Aku berpikir sejenak, ke mana saja aku pernah pergi? Kurasa hampir semua wilayah di sini sudah pernah aku jelajahi. "Hampir semua."
"Yang benar?" dia terlihat sedikit terkejut, memang sih, exploring di VRO itu tidak mudah, apalagi sendirian, karena ketika kau keluar dari wilayah kota—wilayah aman, di mana monster tidak bisa masuk. Kau akan bertemu banyak monster dengan berbagai jenis dan level. Untungnya saat aku mulai menjelajah, aku sudah berada dalam level cap, jadi para monsternya tidak ada yang mustahil dikalahkan, mungkin yang paling kuat, kita seimbang saat pertempuran.
"Ya, tapi mungkin sekarang jumlah wilayahnya sudah ditambah, mengingat sudah dua tahun aku tidak main." tambahku. Jelas saja ada penambahan wilayah, terutama dungeon dan hidden dungeon.
Dia mengangguk setuju lagi.
"Kalau kamu, Chloe, sudah pernah ke mana saja?" aku bertanya kembali untuk memastikan dia sudah ke mana saja sejak tiga bulan berada di sini. Dia berpikir sejenak sambil mengingat-ingat sesuatu.
"Hanya sekitar benua Asia dan beberapa negara di eropa."
"Oh, lumayan juga. Ah, sudah ke Obihiro? Di sana kamu bisa lihat sunset yang sangat indah." tiba-tiba aku teringat dengan sebuah landscape di wilayah Jepang, sunset yang tidak sengaja aku temukan ketika aku tersesat ketika memasuki dungeon di gunung sebelahnya, dan berakhir di sana. Hanya beberapa orang saja yang tahu tempat itu adalah tempat yang indah untuk menyaksikan sunset.
"Obihiro?"
"Jepang, tidak terlalu jauh dari Sapporo. Tapi kamu harus berjalan dari Sapporo, karena belum ada jalan di sana, hanya ada lembah dan gunung."
"Belum," dia menggeleng, "Itu artinya nanti kamu yang membawaku kesana!" dia nyengir sambil berlari kecil beberapa meter di depanku. "Hitung-hitung sebagai perayaan kembalinya kamu di VRO."
"Baiklah," aku tersenyum sambil memandangi aksi kekanak-kanakannya. "Eh," aku tiba teringat sesuatu. Dia menoleh tiba-tiba "Kamu, sudah kerja, ‘kan?"
Dia mengangguk lalu melanjutkannya dengan kalimat "Setelah lulus dari sana aku langsung bekerja untuk perusahaan itu. Perusahaannya membosankan," wajahnya kembali manyun pada kalimat terakhir. Aku terkekeh. "Kalau kamu?"
Pertanyaan itu bagai belati yang menusuk langsung ke jantungku. Memang benar, bahkan sekarang aku masih kuliah, sedikit terlambat dari teman-temanku. "Ah, bagaimana ya?" ekspresiku kecut dengan senyum yang sedikit dipaksakan, mungkin sekarang aku terlihat seperti orang yang bingung.
"Bagaimana apanya? Bukankah kamu penulis juga?"
Aku mengangguk setuju, aku memang bercita-cita sebagai penulis. Itulah sebabnya aku masuk Jurusan Sastra. "Hanya beberapa buku yang diterbitkan."
"Tuh ‘kan! Kamu itu berbakat jadi penulis! Kamu nulis novel? Apa judulnya? Lalu genrenya?" dia terlihat bersemangat mendadak dengan menamparku dengan pertanyaannya.
"Ah, cuma novel norak dengan genre percintaan, misteri, dengan sedikit campuran humor garing."
"Oh~," dia ber-oh-ria seraya bersiap-siap bertanya lagi "Judulnya?"
Ah, padahal aku sudah berusaha agar dia tidak bertanya tentang judulnya, tapi apa boleh buat "Lady in Silhouete."
"Covernya seorang gadis yang sedang berdiri di sebuah padang rumput luas dengan efek siluet?" aku mengangguk, bagaimana dia bisa mengerti? "Yang benar saja kalau kamu bilang novel norak! Itu ‘kan novel bagus! Hanya saja aku tidak tahu kalau kamu yang menulis itu. Tahun berapa ya novel itu keluar?"
"Satu tahun lebih mungkin." aku memang sengaja tidak mencantumkan nama asliku di novel itu, aku lebih memilih nama anonymous daripada nama asli. Wajar saja dia tidak tahu. Tapi sekarang aku lega mendengar itu semua darinya.
"Ah benar." dia tersenyum lagi sembari membuang wajah ke arah lain.
Kakiku terhenti di sini, kami sudah sampai. Berada di depan kafe ini sekarang, serasa kembali menjadi hunter solo seperti dua tahun lalu. "Kita sudah sampai." tapi ketika dia akan beranjak membuka pintu itu, aku menahannya.
"Kenapa?" dia bertanya bingung.
"Di dunia ini, kita nggak boleh mengumbar identitas kita ke sembarang orang. Mulai sekarang, panggil aku dengan nicknameku, Blue." aku meyakinkan sejenak dan dia mengangguk dengan cepat.
"Violet." aku tidak menyangka dia mempunyai nickname warna seperti denganku. Kukira dulu dia menyukai warna pink atau sejenisnya.
"Baiklah, Violet, kita masuk."
Aku membuka sisi sebelah pintu itu, Violet masuk mengikuti di belakangku. Aroma ini, khas, aroma yang hampir setiap hari aku hirup ketika menjadi pemberhentian terakhirku sesudah hunting. Namun sebaliknya, Chloe—maksudku, Violet, malah menutup rapat-rapat hidungnya, kurasa dia harus membiasakan dirinya dengan bau-bau seperti ini jika mau ikut denganku.
Aku mengedarkan pandanganku ke seluruh penjuru ruangan yang terlihat cukup besar. Di antara sosok-sosok yang tidak kukenal, kutangkap sesosok Myrian yang kukenal, wajah songong dengan setelan yang bahkan tidak cocok dengan kombinasi warnanya. Itulah si kacang, Walnut.
Seperti biasa, dia sedang minum-minum sambil terus merayu player perempuan lain. Aku langsung menghampirinya.
"Lama nggak ketemu, dude." oh, aku hampir lupa mengatakan kalau Walnut itu adalah orang Mexico. Di VRO, karena hanya ada satu server yaitu server internasional, jadi kita wajib menggunakan Bahasa Inggris untuk berbicara, tapi kalau untuk teman satu negara, tidak apa memakai bahasa sendiri.
"Well well well, lihat siapa yang berada di sini sekarang? Kau kembali bermain, bro?" pertanyaan itu pasti pertanyaan pertama yang ditanyakan seseorang ketika temannya kembali bermain dalam sebuah game yang sempat dimainkan, hiatus, kemudian kembali bermain lagi. Namun aku tidak begitu yakin menjawabnya. Dan hmm, fitur live translationnya cukup menarik, logatnya tidak diganti, dan memang benar-benar sudah sempurna, kukira.
"Aku nggak yakin," aku berdalih sambil tersenyum memandangnya, "Oh, ini temanku, dia masih baru di VRO. Katanya sudah sekitar tiga bulan dia bermain, aku juga baru tahu dan bertemu dengannya." aku beralih memperkenalkan Violet yang dari tadi kulihat hanya diam saja sambil memandang kesana-kemari.
"Oh, kau membawa pacarmu?" sial. Pertanyaan macam apa itu, dia bahkan tidak tahu sejarah hubunganku bersama Violet seperti apa.
"Tidak tidak, dia temanku dulu saat SMA. Aku baru bertemu dengannya tadi di Lyon saat akan kemari." aku tersenyum kecut, melirik Violet sesekali, untung saja dia tidak marah.
"Okay, aku mengerti, kok," dia terkekeh mengatakannya lalu beralih memandang Violet "Jadi, siapa gadis cantik ini?" gawat, dia akan melancarkan serangannya kepada Violet dengan rayuan-rayuan murahan yang dulu sering kudengar.
"Aku Violet, salam kenal." Violet tersenyum malu-malu sambil bersalaman dengan Walnut.
"I'm Walnut, but i'm not nut," dia melucu, seperti kebiasaannya "Jadi, namamu Violet, huh?" Violet mengangguk menjawabnya "Nama warna, seperti nama temanmu itu," dia membuang pandangannya ke arahku lalu kembali memandangnya "Kau yakin jika dia bukan pacarmu?" sial, pertanyaannya semakin tidak mengarah.
Violet melirikku sesekali, lalu membalas "Apa kau mengira kita ini seperti sepasang kekasih?" what? Kenapa Violet sendiri malah melanjutkan pembicaraan itu?
"Tentu saja, dia orang baik," dia beralih memandangku sambil tersenyum lalu kembali memandang Violet, sebuah pujian atau serangan? Great, sekarang aku seperti patung yang dipajang dengan mereka sebagai pemain utamanya. "Hey Blue," aku menoleh menatapnya "Kau harus memasukkannya ke Rainbow, kupikir dia hebat. Omong-omong namanya juga warna sepertimu." ah, benar juga, mungkin kalau Rainbow sudah berkumpul lagi, aku bisa memasukkannya ke dalam party.
"Oh, kau benar, aku tidak pernah memikirkan itu." aku setuju dengan perkataannya. Walnut tersenyum bangga melihatku setuju dengannya.
"Jadi, Blue, apa yang membawamu ke sini?" dia mengingatkanku tentang mengapa tujuanku kemari.
"Tidak ada yang penting, aku hanya ingin bertanya beberapa pertanyaan kepadamu."
"Kalau begitu tanyalah, aku akan dengan senang hati menjawab pertanyaanmu." dia meneguk minumannya sedikit lalu menaruhnya kembali.
"Sejak aku pergi, aku ketinggalan banyak update, katakan kepadaku dengan singkat."
"Baiklah, tidak banyak, hanya penambahan kapasitas level," dia mengingat-ingat sesuatu, menampakkan wajah berpikirnya "Penambahan dungeon yang sangat banyak, dan beberapa dari itu adalah hidden dungeon," kalimatnya selesai, nampaknya memang hanya update-update biasa saja sesuai perkembangannya "Oh, dan beberapa fitur baru, tetapi aku tidak terlalu paham dengan yang satu ini."
"Hm, kapasitas level?"
"Sejauh yang kutahu, forum resminya memberitahu penambahan levelnya menjadi 100, itu delapan bulan lalu. Tetapi, beberapa hari lalu aku melihat seorang player ber­level 106. Mungkin mereka menambahkannya namun lupa untuk memberitahu kita." oke, itu sangat banyak, karena untuk mencapai level 60 saja dibutuhkan waktu total bermain sebanyak sembilan bulan untuk rata-rata player, namun aku hanya membutuhkan waktu enam bulan saja karena aku sering bermain di raid bersama Rainbow.
"Lalu, tentang dungeonnya? Di mana itu?" aku melanjutkan pertanyaanku yang sudah layaknya seorang wartawan mewawancarai seseorang.
"Kukira di setiap kota ada yang baru."
"Yang satunya?" aku bertanya lagi, kali ini merujuk pada dungeon yang tersembunyi, seperti perkataannya tadi.
"Ah, tentang itu—“
"—cukup beri tahu aku saja, okay? Aku juga nggak akan menyebarkannya, kok."
"Baiklah kalau begitu," dia nampak cukup ragu, di sini, hidden dungeon adalah surga bagi para pemburu exp. Exp itu dibutuhkan untuk menaikkan levelmu, semua game MMORPG yang menganut sistem leveling pasti ada expnya. Dengan lirih dia berkata lirih "Wallachia Castle, Wallachia. Yggdrasil Tundra, Sweden. Ancient Ruins, Thailand," lalu dia mendekatkan tubuhnya ke arahku, membisikkan sesuatu "Tapi untukmu, aku menyarankanmu untuk berburu di Devil Forest, Germany. Di sana ada hidden dungeon di bawah camp terakhir. Bertarunglah di sana hingga 68. Setelah itu, pergi ke Uwajima Springbreak, Jepang. Kau seharusnya akan menemukan pintu masuk ke hidden dungeon jika kau menggunakan 'item' yang benar. Bertarunglah sampai 75. Lalu pergilah ke Angkor Wat, tetapi tempatnya nggak benar-benar di sana, beberapa ratus meter dari sana, ada stupa yang berbentuk unik, yang paling unik. Bertarunglah hingga 85." kata-katanya terhenti. Itu akhir penjelasannya. Ia kembali meneguk segelas minuman yang tersisa sedikit, hingga habis. Kalau saja aku bukan temannya, mungkin informasi itu sepadan dengan harga sebuah kota kecil, tentu saja dalam dunia VRO.
"Terima kasih, mate, aku akan membalasnya suatu saat nanti." aku memandang manusia setengah serigala di depanku, ras Myria. Itu adalah satu-satunya ras demihuman di VRO, mereka mempunyai daya pandang dan pendengaran jauh di atas ras-ras lainnya.
"Pergilah berburu, sana pergi," dia tersenyum lalu mengalihkan pandang ke arah bartender yang sedang sibuk melayani pelanggan lain "Tambah minumnya!" damn, dia suka sekali minum.
"Oke, ayo Violet." aku bergegas beranjak dari tempat dudukku, tanganku menyambar lengan Violet yang sedang bersandar di kursi kecil itu.
"Eh? Sudah selesai?" dia bertanya. Aku hanya mengangguk membalasnya.
"Hey," suara Walnut kembali terdengar, kami masih beberapa langkah dari tempat duduk kami tadi, kami berdua menoleh panggilan itu. "Tolong jaga gadis cantik itu, oke?" matanya menatap tajam ke arahku. Ini bukan sebuah pesan atau amanat, ini lebih mengarah ke ancaman.
"Tentu saja."
Kemudian langkahku kembali berayun, entah ke mana sekarang aku harus pergi, dengan gadis di sampingku ini.
"Ke mana kita akan pergi?" Violet bertanya selepas keluarnya kami dari kafe itu. Oh, aku bahkan belum memesan minuman.
"Entahlah."
Gadis itu menghentikan langkahnya, peganganku di lengannya terlepas.
"Itu tidak menjawab pertanyaanku, Blue." ini pertama kalinya dia memanggilku dengan sebutan itu.
"Oke," aku membalikkan tubuhku, menghadap ke arahnya, tersenyum simpul "Aku tidak yakin, aku berpikir harus meng-GB-mu jika kamu mau ikut denganku, ini hanya tawaran biasa, aku tidak meminta sesuatu." GB, istilah kami untuk menyebut leveling cepat, di mana karakter yang akan di-GB tidak perlu bersusah-payah hunting sendirian untuk mencari exp, namun cukup ditemani oleh pemain yang levelnya lebih tinggi.

--

Cari

Labels

Article (1) Cover (1) Final Fantasy IX (5) GameStory (1) How To (2) Jimmy (3) Kita dan Dia (1) Legacy (22) Lyric (28) Movie Review (2) Music (1) Novel (25) Poetry (2) Story Fiction (30) Tips (8) Tutorial (2)