Hujan kala itu tidak terlalu menyenangkan. Seharusnya
itu menjadi hari bebasnya setelah beberapa kasus yang ia coba selesaikan
sekaligus. Tidak begitu beruntung, hanya sebagian saja yang terpecahkan.
Satu kasus baru hari ini, siang yang seharusnya
menjadi harinya bersantai di ranjangnya yang jarang sekali ia tempati. Walaupun
ia ingin sekali mengabaikan kasus baru yang satu ini, namun tuntutan pekerjaan
tidak mengharuskannya demikian. Awalnya dia enggan. Suntuk dengan pikiran
panjang yang tak berkesudahan.
Hari ini, di siang yang hujan ini, dia harus kembali
ke kantornya. Kasus baru itu nampaknya terlalu mendesak untuk dipecahkan.
Dengan lilitan syal di lehernya yang selama ini ingin
selalu ia kenakan saat kedinginan, ia kembali melihat keluar jendela apartemennya.
Anak-anak yang tadinya bermain bola di sana sudah menghilang. Ragu, dia
berusaha berdiri, mengambil jaket yang tebal yang tergantung di suatu tempat di
sebelah pintu.
Semua yang ia butuhkan sudah berada di dalam saku
celana jeans yang sudah ia kenakan dari pagi tadi. Walaupun dia tidak sedikit pun
berencana untuk berlama-lama di dalam kantor dengan aroma asap rokok yang biasa
ia hirup di sana, dia tahu bahwa nantinya dia harus siap jika harus menyelidiki
kasus baru itu.
Beritanya sih,
kasus itu adalah kasus yang cukup menarik, setidaknya itu yang rekan kerjanya
katakan saat berkas kasus itu dibaca.
Dia menuruni tangga apartemen sesaat setelah ia
mengunci pintunya. Lantai tiga tidak begitu melelahkan untuk menjadi olahraga
siang ini. Beberapa tetangganya bisa memaklumi jika melihat sosoknya itu adalah
hal yang tidak biasa mereka jumpai sehari-hari seperti menjumpai
tetangga-tetangga mereka lainnya. Seperti yang sudah dikatakan, ia memang lebih
sering tidur di dalam mobilnya karena kasus-kasus yang setiap hari ia buru
untuk dipecahkan.
Perjalanan menuju kantor ia lakukan dengan berjalan
kaki hari ini, di samping ia jarang berolahraga, mobilnya juga sedang masuk ke
bengkel karena ada sesuatu yang salah dengan mesinnya dan ia tak tahu apa itu.
Payung berwarna hitam menjadi teman baiknya hari ini.
Sebuah dering telepon terdengar lagi dari sakunya, itu
handphonenya berbunyi lagi. Dan masih
orang yang sama.
Pemberitahuan untuk dia agar menuju TKP saja daripada
ke kantor. Jarang-jarang ia diberi tugas untuk mencari di TKP langsung saat
kasus baru saja masuk. Lokasinya juga tidak berada jauh dari tempatnya,
mungkin hanya perlu menaiki bus sekali dan berjalan kaki sekitar
lima menit. Ia tahu persis tempat yang rekannya bilang.
Berjalan sebentar dan ia sampai pada halte kecil di
seberang jalan, saat itu tepat ada bus
yang sedang menurunkan penumpang, jadi ia tidak perlu menunggu lama untuk itu.
Seseorang turun dari bus yang akan dinaikinya, tergesa-gesa, orang itu terlihat sangat
mencurigakan baginya, dengan ekspresi pucat yang jelas di wajahnya, jelas ada
yang tidak benar dengan pemuda ini, orang yang ia identifikasi sekitar berumur
akhir 20-an atau seperti itulah. Baju polo berwarna merah yang ditutupi jaket hoodie yang bahkan tidak cocok jika
dilihat terlalu lama. Setelah orang itu turun dan melihat sekelilingnya dengan
cepat, ia berjalan cepat menuju sebuah bangunan yang entah digunakan untuk apa.
Hanya beberapa blok dari sana, tepat di perbatasan
kota, ia turun dari bus. Suasana dan
aroma tidak sedap langsung terpancar ketika ia turun. Hal itu sudah biasa
karena di sekitar sini adalah daerah kumuh dengan berbagai penduduknya yang
misterius.
Ia kembali berjalan setelah melihat-lihat sejenak apa
saja yang ada di sekitarnya: bangunan-bangunan yang terlihat nyaris runtuh,
coretan pada tembok yang kebanyakan adalah kata-kata kotor, sampah yang
berserakan di sepanjang trotoar, bahkan gelandangan yang sedang tidur di
pinggir jalan. Pikirannya kembali muncul untuk mengingat kenapa dia bisa
terjebak tinggal di tempat seperti itu. Tempat ini tidak jauh berbeda di daerah
tempat tinggalnya.
Payung yang ia pegang kembali ia buka, satu tangan
lain dimasukkan ke dalam saku jaket yang ia kenakan. Ia kembali berjalan
menyusuri trotoar tanpa menghiraukan orang-orang yang memandanginya dari sudut jendela
bangunan-bangunan.
Setiap udara yang ia hirup, bisa ia rasakan uap yang
keluar dari hidungnya saat dia kembali menghembuskan napasnya, di saat yang
bersamaan, ia tahu cuaca tidak akan membaik untuk beberapa jam kemudian, atau
bahkan hingga besok, dan ini tidak baik.
Tepat sekitar lima menit lebih sedikit ia berjalan, ia
menemukan pemandangan baru yang berbeda. Kerumunan orang-orang dan para polisi
berkumpul di sana. Ia memandang TKP yang berada di seberang jalan.
Ia segera menutup payung itu dan membuangnya sembarang
ke trotoar, ia menaikkan hoodie yang
ia pakai untuk menutupi seluruh kepala kecuali wajahnya, meskipun begitu,
wajahnya pun hampir tidak terlihat.
Ia berjalan menyeberangi jalan yang terlihat sepi
kendaraan, namun justru kumpulan orang-orang yang berdiri di seberang itulah
yang memadati jalan sehingga tidak dapat dilewati oleh kendaraan, tapi
pengecualian untuk sepeda atau motor.
Dia berjalan menembus orang-orang yang berdiri
mengumpul di satu tempat, di baris terdepan, sebuah garis polisi berwarna
kuning terlihat mengelilingi sesosok mayat yang perempuan, bersimbah darah
karena tertusuk di bagian lambungnya yang terlihat lebih merah dibandingkan
bagian baju lainnya. Kucuran darah yang bercampur dengan air hujan itu tidak membuatnya
menjadi lebih penasaran untuk mengejar pelaku pembunuhannya. Jelas ini adalah
pembunuhan amatir, walaupun tidak banyak yang bisa ia lihat di sana, beberapa
benda dapat menjelaskannya.
Ia mengeluarkan lencananya pada seorang petugas yang
tidak pernah ia lihat sebelumnya, mungkin dia baru, wajah muda yang terlihat
gugup itu dapat ia pandang dengan sekejap walau dia tidak terlihat memandang
petugas dan langsung meringkuk masuk ke dalam lingkaran TKP.
"Dapat kau jelaskan situasinya?" ucapnya
pada salah seorang petugas yang beberapa kali sempat ia lihat sebelumnya di
kantor, wajah tua dengan seragam yang sudah sedikit lusuh. Apa dia selama ini
menyukai melihat mayat?
Petugas itu berjongkok, sama seperti yang dilakukan
petugas yang masih terlihat cukup muda, tidak kalah muda jika dibandingkan
dengan petugas baru yang tadi.
"Mereka mengatakan ini perampokan. Uang di meja
kasir menghilang. Bisa kau lihat sendiri dia—“ ia menunjuk mayat yang ada di depannya
dengan menggunakan isyarat pandangan mata "—melawan dan hal ini terjadi
begitu saja."
"Apa kau bisa memberiku deskripsi tentang
pembunuh amatir yang sedang kita kejar?" ia kembali memandang petugas itu
dengan wajah datar.
"Tidak, Jim," petugas tua itu kembali
mengedarkan pandang ke arah kerumunan yang berusaha masuk ke dalam namun
dihalangi oleh petugas yang mengelilinginya. "Tidak seorang pun melihat
pembunuhnya." jelasnya.
Pemuda yang dipanggil Jim oleh petugas tua itu lalu melihat ke tangan kanan mayat yang
tergeletak itu. Tangannya mengepal. Dia membuka kepalan tangannya dan menemukan
robekan kain berwarna merah, dan mengambilnya.
"Kukira kita sudah menemukan pelakunya." ia
menunjukkan robekan kain itu pada petugas tua yang masih berjongkok di depannya
dan memberikan robekan itu.
"Bagaimana kau tahu?"
"Dia sekarang mungkin sedang berada di dekat
daerah tempat tinggalku. Ia mengenakan kaos polo berwarna merah dan hoodie." ia menjelaskan lagi secara
singkat. Jelas kalau pemuda dengan kaos polo merah yang ia lihat itu terlihat
mencurigakan dengan gerak-geriknya. “Pastikan benar jika robekan ini adalah
miliknya.”
Ia kembali berdiri, ini kasus yang mudah. Ia mungkin
sudah dapat menebak bagaimana pembunuhan ini terjadi. Hendak pergi, langkahnya
dihentikan.
"Jimmy, maaf sudah mengganggu hari liburmu."
petugas itu kemudian melepaskan pegangannya. Jimmy tidak melangkah, ia
tersenyum.
"Tidak usah dipikirkan, Petugas Wright."
Jimmy kemudian berjalan, menembus kembali kerumunan
yang bahkan ia sendiri bingung mengapa mereka tertarik melihat seorang mayat
dibandingkan melakukan pekerjaan mereka. Itu bukanlah sebuah pemandangan yang
enak untuk dipandang.
Tujuannya kini tidak pasti, antara pulang ke apartemen
atau ke kantor. Dia sangat yakin kalau kasus yang rekannya bicarakan di telepon
berbeda dengan yang ia katakan di tentang kasus yang barusan ia pecahkan. Dalam
beberapa hal yang tidak bisa dijelaskan, Jimmy lebih suka terjebak dalam Divisi
Pembunuhan -Homicide, daripada harus
bersusah-payah bekerja di jabatan yang lebih tinggi namun tidak disukainya.
Hanya saja, ia sudah terlalu jenuh dalam beberapa tahun terakhir. Ia belum bisa
menemukan sebuah titik di mana bisa mengantarnya pada sesuatu yang menarik
perhatiannya, walaupun hanya sedikit.
Ia berjalan kembali ke seberang. Payung yang ia buang
tadi, ia ambil lagi, dan rupanya masih utuh, tidak ada yang menyentuhnya
ataupun mencurinya.
Jimmy tahu tugasnya selesai, namun hanya setengahnya
saja. Entah intuisi apa yang ia miliki, tujuannya sekarang adalah kantor.
Stasiun bisa ia lihat dua blok dari tempatnya berada.
~~~
Pintu kantor utama kantor polisi kembali terbuka,
bukan pemandangan yang tidak lazim jika setiap hari orang-orang lebih sering
mengujungi kantor polisi ini daripada rumah sakit yang terletak di seberang
jalan.
Setiap kali Jimmy menjejakkan sepasang kakinya di sana,
perhatian seluruh orang yang berada di dalam selalu tertuju padanya, seolah dia
adalah tersangka pembunuhan berantai yang baru saja tertangkap, atau mungkin
bisa seperti anggota baru di kepolisian, padahal hampir setiap saat ia disana.
Namun ketika masuk dan sesudah masuk itu adalah hal yang sangat berbeda
baginya.
Payung yang ia pakai tadi sekarang ia lipat ketika
kakinya sampai pada karpet, di sebelahnya, ada sebuah wadah payung. Dia
meletakkan payungnya di sana, masih dengan keadaan basah tentunya.
Jimmy melangkah masuk, tak menghiraukan apapun yang
berada disana, makhluk hidup ataupun tidak, menurutnya sama saja. Hingga sampai
lorong, seorang polisi yang kira-kira sedikit lebih tua darinya muncul dari
balik pintu yang hendak ia masuki.
Lelaki itu hampir saja menabrak Jimmy yang akan
menaruh tangannya di kenop pintu dan membukanya, "Oh, kebetulan kau di sini.
Nolan mencarimu."
Ya, dia tahu kalau rekan yang meneleponnya tadi
mencarinya, dan namanya Nolan. Dia adalah rekan, atau partner. Walaupun mereka adalah partner,
mereka lebih suka bekerja sendiri, atau bisa dibilang, tugas mereka sudah
terbagi. Jika Jimmy ahli dalam mencari bukti, maka peran Nolan adalah
menginterogasi saksi-saksi dan orang-orang yang diduga sebagai tersangka, atau
lebih tepatnya Jimmy bekerja sebagai pemulai dan Nolan bekerja sebagai
penyelesai.
"Aku tahu." Jimmy menjawab tanpa memandang
wajah petugas yang ada di depannya, dia lebih suka menatap sebuah nama yang ada
diatas saku seragam petugas itu.
Tanpa percakapan yang berlanjut, petugas itu pergi,
kini Jimmy bisa dengan leluasa memasuki ruangan yang tak lebih besar dari
sebuah ruangan kelas, beberapa meja yang tertata di sana, berbagai macam bau
dapat ia hirup di sana, mulai dari asap rokok, kertas yang sudah usang, bau
kaos kaki, dan lain sebagainya.
Ada empat buah meja di dalam sana, terdapat nama di atasnya.
Salah satu namanya ada di sana, Jimmy
Dorian.
Jimmy memasuki ruangan itu, pencahayaannya tidak
terlalu terang, ia berjalan menuju mejanya. Di atas mejanya, sudah terdapat
sebuah berkas berwarna cokelat muda, lebih terlihat seperti amplop berukuran
besar. Dia duduk di kursi yang ia rasa selalu tidak empuk saat dia duduki.
Nolan datang ketika Jimmy baru saja duduk dan langsung
memburu menuju Jimmy seperti sedang mengejar tersangka.
"Kau sudah selesaikan kasus perampokan
tadi?" kedua tangannya diletakkan di atas meja Jimmy, di antara papan
namanya.
Jimmy mengangguk tanpa memperhatikannya, pandangannya
masih tertuju pada berkas yang hendak ia sentuh, ambil, dan baca tersebut.
"Kau tahu aku tidak suka mengerjakan kasus yang tidak worth seperti itu." ia memandang Nolan dengan wajah acuh. "Apa
ini?" Jimmy bertanya dengan wajah seperti sedang melihat sesuatu yang
tidak ia kenali.
"Itu adalah berkas kasus yang kuberitahu
sebelumnya, kau tahu kasus pembunuhan dua bulan lalu yang kau pernah bilang
bahwa kau tidak tertarik?"
"Uh-uh," Jimmy mengangguk ingat, sebelumnya
ada kasus pembunuhan yang sempat beberapa kali ditunjukkan kepadanya, namun dia
tidak tertarik, karena ia rasa hanya akan membuang waktu. "Ada apa dengan
kasus-kasus itu? Apa kalian sudah berhasil memecahkannya?" tanya Jimmy
diselingi dengan lirikan kilat lalu kembali menatap berkas yang ia pegang,
membolak-balikkannya seperti mainan.
"Tidak, dan mungkin kau harus menarik kata-katamu
tersebut." Nolan tersenyum saat mengatakan itu, matanya menatap berkas
yang dipegang Jimmy seolah ia merencanakan sesuatu.
"Dan kenapa aku harus menariknya?" Jimmy
membuka berkasnya, lusinan kertas terjajar rapi saat ia mengeluarkannya.
"Dua kasus itu dan kasus yang baru masuk itu
identik -maksudku, pembunuhannya."
"Lalu?"
"Kau pernah mengatakan hanya mengejar kasus yang
menurutmu menarik, 'kan? Kukira kau akan tertarik dengan yang satu ini."
"Hmm." Jimmy mulai membaca berkas yang ia
pegang. Tak tampak sedikit pun ekspresinya yang menunjukkan bahwa ia tertarik
dengan apa yang sedang ia baca. Meski akhirnya dia merubah ekspresinya sedikit demi
sedikit.
"Bagaimana?" Nolan bertanya.
"Akan kuberitahu nanti."
"Baiklah—tapi, kasus itu benar-benar
menunggumu." dengan senyuman dan sebuah isyarat tangan ia berbalik menuju
pintu.
Akhirnya dia bisa membuat Nolan enyah dari
pandangannya. Itulah cara agar dia dapat konsentrasi. Karena jika ada Nolan,
dia akan terus berbicara pada pembicaraan yang tidak ada alurnya.
Di dalam berkas yang ia keluarkan, ada tiga kasus yang
dibagi dengan sebuah map sebagai
pembatas. Map pertama yang ia buka
berisi kasus awal pembunuhan yang Nolan maksud tadi. Jimmy pernah membacanya
sekali dan langsung membuangnya di tempat sampah. Berkas kedua adalah kasus
kedua yang berkaitan dengan kasus pertama tadi, walau ia rasa bukti yang
ditunjukkan sangat sedikit kemungkinannya bahwa dua kasus itu terkait, Jimmy
tidak bisa menyangkal bahwa polisi yang menyelidiknya bisa sejeli ini untuk
dapat menyimpulkan bahwa kedua kasus itu berkaitan.
Yang terakhir, dia membuka map ketiga. Kasus itu masih terlihat baru, ia pegang dan
membolak-balikkannya, aromanya pun masih seperti baru. Map itu tertanggal beberapa hari lalu. Berarti ini benar-benar
kasus yang masih baru.
Ia baca dengan seksama. Bukti. TKP. Saksi. Semua dia
baca dengan konsentrasi penuh.
Posisinya berubah. Ia membolak-balikkan kertas itu
lebih cepat dan menghentikan itu. Ia menyebarkan ketiga kasus itu di atas meja
kerjanya yang cukup besar dan setengah melingkar. Kasus pertama, kedua dan
ketiga, ia letakkan secara urut dari kiri hingga kanan.
Ia buka semua map
itu. Mengambil beberapa kertas yang terlihat begitu menarik baginya yang
terdapat pada map. Ketiga kertas yang
ia ambil mempunyai sub judul yang sama: saksi. Ia kumpulkan di dekat map pertama.
Selanjutnya ia mengambil kembali masing-masing kertas
dari ketiga map itu. Sub judul yang
ia ambil kali ini adalah: barang bukti. Kembali ia kumpulkan di dekat map kedua.
Lalu ia mengambil kertas lain lagi dari ketiga map yang berjajar di hadapannya: lokasi.
Ia kumpulkan di dekat map ketiga.
Selebihnya ia tidak memerlukan ketiga map itu dan ia sudah mengumpulkan apa
saja yang ia butuhkan sekarang.
Dia merebahkan punggungnya pada kursi yang sedang ia
duduki dan menengadahkan kepalanya memandang langit-langit ruangannya yang berwarna
putih dan disertai sarang-sarang laba-laba dan kipas angin besar di tengah
ruangan.
Ia menghela napas panjang. Ia tahu ini akan menjadi
kasus yang panjang untuknya jika saja ia mengambil kasus itu. Antara tertarik
dan tidak tertarik.
Ia mengangkat kedua tangannya dan meletakkannya di belakang
kepala sebagai tumpuannya.
“Hmm.”
Beberapa menit terakhir yang ia jalani terasa begitu
berat, entah kenapa, biasanya ia tidak pernah merasakan hal seperti ini. Apakah
karena terlalu banyak pikiran yang tertahan dalam otaknya dan tidak dapat ia
keluarkan? Itu mungkin saja jika dilihat dari bagaimana ia menjalani hidup
selama ini.
Lalu dia berdiri dan berjalan menuju meja yang berada
di dekatnya. Ia ambil bungkus rokok yang tergeletak di sana lalu satu batang
rokok ia tarik dari bungkus itu. Itu hal terakhir yang akan ia lakukan di saat seperti
ini; merokok.
Ia tempatkan rokok itu di mulutnya, menyalakannya
dengan pemantik yang berada di samping bungkus rokok itu.
Asap mengepul dari rokok itu, ia menaruh kembali
bungkus rokok dan pemantik itu dan kembali duduk di tempatnya.
Tak lama, suara pintu terdengar dan secara otomatis
membuat Jimmy menoleh. Sosok wanita terlihat, kira-kira seumuran dengannya,
mengenakan kacamata berbentuk persegi panjang dengan frame tidak terlalu tebal dan setelan khas ala wanita kantor. Surai rambut sebahu lebih panjang berwarna cokelat
itu berayun sesuai gerakannya ketika terhenti menutup pintu.
Wanita itu bersandar di pintu itu sambil menyilangkan
tangan di depan dadanya. Ia menoleh ke arah Jimmy dan mereka berdua pun saling
bertatap mata untuk sejenak. Kemudian wanita itu maju ke arah di mana Jimmy
berada.
Wanita itu menempatkan kedua tangannya pada meja yang
ditempati Jimmy sebagai tumpuan tubuhnya, tepat di depan nama pada meja Jimmy Dorian.
Jimmy mengalihkan pandangannya dari wanita itu, wanita
yang sangat ia kenal dan memandang kembali kertas-kertas yang ada di hadapannya.
“Apa?” ucapnya tanpa memandang lawan bicaranya.
Wanita itu
tersenyum tanpa memberi jawaban pada pertanyaan yang ditujukan padanya.
“Ada apa, Christi?” Jimmy mengulangi pertanyaannya
dengan mendongakkan kepalanya, memandang wanita yang ia panggil Christi dengan
ekspresi datar. Christi tidak melepas senyum di kedua sudut bibirnya.
“Aku yang seharusnya bertanya seperti itu, Jimmy.”
suaranya terdengar begitu lembut. Jimmy kembali bersandar pada kursi tua
berwarna cokelat itu.
“Hmm?” Jimmy acuh sambil kembali menghisap rokoknya.
“Bukankah kau sudah berhenti dengan benda itu?”
ucapnya sembari menunjuk sebatang rokok yang dipegang oleh Jimmy.
“Ini?” Jimmy melihat batang rokok yang sedang ia
pegang. Christi mengangguk dan Jimmy menaikkan kedua bahunya “Entahlah.”
“Pasti ada sesuatu yang mengganggumu.” Christi
menebak, namun ia tahu benar jika ada sesuatu yang mengganggu Jimmy. Jika
tidak, ia tidak mungkin akan menghisap rokok lagi. Hal yang pantang dilakukan
oleh Jimmy sejak dua tahun lalu ketika ia mendapat vonis dari seorang dokter
karena kondisi paru-parunya memburuk. Sejak saat itu, tak sebatang rokok pun
pernah ia hisap, setidaknya hingga hari ini dan hal ini cukup mengejutkan bagi
Christi.
“Mungkin.” Jimmy kembali mengambil kertas yang ia
pandangi sedari tadi, namun sebelum ia sempat membaca kembali, Christi
mengambil lembaran kertas itu.
“Apa ini?” Christi membaca lembaran itu, Jimmy bahkan
tidak berniat untuk bergerak mengambil kembali kertas itu. Ia baca secara
singkat “Bukankah ini kasus yang pernah kaubuang waktu itu? Kenapa ada di sini?”
Christi terheran-heran. Dua kali Jimmy membuatnya penasaran dalam jangka waktu
yang cukup singkat. Ia mengenal Jimmy sebagai orang yang tidak pernah mengubah keputusan
yang telah ia buat.
“Kini kau bisa berpikir hal yang tidak pernah
kaupikirkan tentangku.”
Christi tersenyum.
“Hari ini aku melihat beberapa hal yang tidak biasa
kulihat tentang dirimu selama aku mengenalmu.”
Perkataan Christi membuat Jimmy mengubah posisinya,
lebih tepatnya membenarkan caranya duduk. Jimmy tersenyum simpul sambil meniup
asap rokok yang ia keluarkan dari mulutnya.
“Oh?”
“Uh-uh.” Christi mengganggu dan memberi kertas-kertas
yang ia pegang pada Jimmy. Ia berjalan kembali ke arah pintu. Sebelum ia
membuka pintu, ia menoleh menatap Jimmy “Ikutlah makan siang denganku.” Setelah
perkataannya itu, Christi membuka pintu dan berjalan keluar tanpa menunggu
ataupun mengharapkan sebuah jawaban dari Jimmy.
Jimmy memandang jam tangan yang ia pakai di tangan
kirinya. Masih jam satu siang.
--