Hari yang sama, dan hujan masih membanjiri kota kecil
bernama Lexington yang berada di negara bagian Virginia. Tidak lebih deras juga
tidak lebih reda.
Jimmy kini sedang terlihat berjalan menyusuri trotoar
setelah ia beranjak dari kantornya. Ajakan Christi tiga puluh menit yang lalu
rupanya cukup untuk membuat dia beranjak dari kursinya. Ia perlu membicarakan
sesuatu tentang kasus itu pada
Christi.
Ia tahu persis ke mana ia menuju. Hanya ada satu
restoran kecil yang menjadi tempat makan favorit Christi yang berada di sekitar
sini. Dan restoran kecil itu tepat berada di depannya, restoran yang berada
tepat di pojokan perempatan. Restoran kecil yang mempunyai sudut pandang lebar
ketika ia berada di dalamnya.
Ia menaiki tangga pendek yang hanya memiliki tiga anak
tangga, kemudian membuka pintu kaca ganda dengan gantungan berukuran sedang
bertuliskan Open dibaliknya. Sebuah
pemandangan yang tidak terlalu sesak. Hanya ada beberapa orang yang singgah di sini
untuk makan siang.
Jimmy melipat kembali payungnya dan menaruhnya di
wadah payung yang berada tepat di sebelah pintu masuk, ia mengedarkan
pandangannya ke seisi ruangan. Ia berpikir tentang apa yang membuat restoran
kecil ini menjadi tempat favorit Christi. Ini terlihat seperti restoran biasa
seperti lainnya yang pernah ia jumpai.
Ia melihat Christi sedang duduk memunggunginya di samping
jendela yang langsung menghadap ke arah jalan. Jimmy berjalan mendekatinya.
Tak sepatah kata pun ia ucapkan ketika duduk di sana.
Begitu juga dengan Christi yang masih sibuk menghabiskan makanannya.
Jimmy hanya menatapnya hingga ia selesai.
“Jadi, apa yang membuatmu kemari?” tanya Christi
setelah meneguk habis jus jeruknya. Menaruh gelas dengan sisa-sisa buih
berwarna putih pucat dan menatap Jimmy. Ia menyandarkan bahunya pada kursi
kulit berwarna cokelat yang sudah hampir pudar warnanya.
“Entahlah.” jawabnya singkat. Ia kemudian menyandarkan
bahunya pada kursi yang seperti lawan bicaranya lakukan.
“Rupanya hari ini kau lebih suka mengatakan kata entahlah dibandingkan dengan kata-kata
lain.”
“Begitukah?”
“Uh-uh.” Christi kemudian mengubah posisinya, ia kini
memajukan tubuhnya lebih condong ke meja, menaruh kedua sikunya pada meja. “Aku
tahu kau ingin tahu sesuatu. Kau tidak bisa membohongiku yang sudah mengenalmu
sejak kecil. Aku tahu segala sifat dan tingkah lakumu.” ia tersenyum menatap
Jimmy, tidak jelas antara geli dan penasaran.
“Hmm,”
“Aku tidak mau berbasa-basi lagi denganmu. Aku tahu
kau tertarik dengan kasus itu. Hmm?”
“Kau tahu. Kalau begitu beritahu padaku tentang apa
yang kau ketahui saat menyelidiki kasus itu.” Jimmy mengambil kertas yang ia
lipat dalam jaketnya. Kertas itu adalah kertas-kertas yang ia ambil dari berkas
kasus yang ia baca sebelumnya.
Ia kemudian menyodorkannya, atau lebih tepatnya
menaruh kertas itu pada meja. Christi dengan lembut mengambil kertas-kertas
itu. Selagi membacanya, ia berkata “Tidak banyak yang dapat kuceritakan. Dua
pembunuhan itu dilakukan secara bersih. Tak ada satupun barang bukti yang
menjadi petunjuk kepada pembunuhnya.” jelas Christi pada Jimmy. Lalu ia kembali
menyodorkan lembaran-lembaran itu pada Jimmy dan ia mengambilnya. “Hanya ada
satu tanda pada kedua korban yang identik. Itulah mengapa kedua kasus ini
dikaitkan.”
Jimmy diam. Berpikir sejenak. Menurutnya ini bisa saja
menjadi sebuah kasus yang sangat menarik nantinya, ia berharap timbul suatu
ketegangan atau hal yang tidak terduga akan terjadi. Setidaknya inilah yang
selalu ia pikir tentang setiap kasus yang ia ambil.
Hujan tiba-tiba saja berhenti, namun awan masih masih
menutupi sinar matahari.
Mereka berdua secara bersamaan menoleh ke arah
jendela, bertanya mengapa hujan tiba-tiba saja berhenti saat itu
“Baiklah.” ucap Jimmy, ia segera beranjak dari tempat
duduknya tanpa mengatakan sesuatu lebih lanjut. Hanya pergi begitu saja.
Seperti yang ia selalu lakukan, pergi dan datang sesuka hatinya.
Jimmy melangkahkan kakinya pada trotoar di pinggir
jalan. Buih-buih sisa hujan masih terlihat olehnya. Tidak ia pedulikan.
Kini ia sendiri bingung harus ke mana. Langkah kakinya
tetap namun ia sendiri tidak mempunyai tujuan yang pasti. Ada beberapa pilihan
yang muncul dalam pikirannya, seperti mengujungi crime scene kedua kasus yang sekarang ia lagi cari tahu. Atau mengunjungi korban dari kasus itu. Atau
ia juga bisa mengujungi pusat berkas barang bukti disimpan.
~~~
Entah apa yang ia pikirkan siang hari itu, ia hanya
pergi begitu saja, tempat yang ia tuju saat itu adalah crime scene, selalu itu ketika ia memulai pencariannya. Ia memilih tempat pembunuhan pada kasus pertama, di mana
awal itu dimulai. Sebuah tempat yang tidak asing baginya, ia pernah ke sana
sebelumnya, sebuah apartemen tua yang pernah ia tempati dulu ketika masih baru
masuk dalam akademi kepolisian, saat itu ia masih lebih muda—tentunya.
Cat putih yang sudah tidak putih lagi, dan bahkan
sudah hampir hilang termakan waktu. Jendela yang tidak bisa dibersihkan. Debu
bertebaran seperti tidak ada yang pernah menghuninya. Apartemen ini terlihat
seperti rumah tua bertingkat biasa dengan banyak kamar.
Ia kembali membuka berkas yang ia bawa di dalam jas
yang ia pakai. Melihat kembali alamat pasti yang akan ia tuju. Apartemen bernomor
tiga digit, digit pertama adalah empat yang berarti lantai empat, dan dua nomor
terakhir adalah 29 yang berarti nomor urut kamar. 429. Ia sejenak berpikir
ketika memandang nomor itu untuk kedua kalinya. Hampir sama dengan nomor
kamarnya dulu, 329. Tepat satu lantai di bawahnya. Entah kenapa, namun ia hanya
menganggap itu hanya sebagai sebuah kebetulan saja.
Tepat di depan apartemen lama itu, sebuah
kenangan-kenangan singkat muncul dalam otaknya ketika ia baru pindah kemari,
bagaimana perjuangannya selama ia masih di akademi. Tangga tua yang sudah reyot
itu masih bertahan hingga sekarang, ia sedikit heran, bukankah lebih baik
diganti sebelum menelan korban? Entah, dia hanya berhati-hati ketika melangkah
menaiki tangga itu, bahkan pegangannya pun tidak bisa dipercaya untuk keselamatan.
Walaupun masih siang dan matahari sudah mulai
terlihat, cahaya tidak dapat menembus ruangan yang berada di dalam.
Pengap dan gelap.
Sisi kirinya terdapat kotak surat untuk setiap
penghuni di apartemen itu. James memandang kotak itu satu per satu, mencari
nomor 429. Dan ia menemukannya. Sesuai dengan nama yang ada di korban kasus
itu: Sarah Brean.
Di sebelah kotak surat itu terdapat tangga, tangga
cokelat yang tak kalah reyot seperti tangga kecil di depan apartemen. Tumben sekali kosong meski masih siang.
Ia sejenak berpikir mengapa di sana kosong, entah mengapa.
“Persetan dengan itu..” gumamnya. Kemudian ia mulai
menaiki tangga tersebut.
Tetap gelap. Ia heran mengapa mereka suka sekali
dengan tempat minim cahaya dan tak seorang pun yang protes terhadap hal itu.
Satu lantai selesai dan ia berpapasan dengan satu
orang yang tidak ia kenal, bahkan menghiraukan saja tidak. Tua, seperti
kebanyakan. Ia kemudian melanjutkan.
Dua lantai selanjutnya ia tidak berpapasan dengan
orang lain.
Kini ia berada di depan pintu bernomor 429 tersebut. Garis
polisi rupanya masih ada di situ, tidak ada yang menempatinya lagi setelah
penyewanya meninggal? Hell, orang sinting
saja tidak akan mau tinggal di situ jika mengetahui penghuni sebelumnya
meninggal dibunuh. Ia kemudian kembali membuka berkas yang ia bawa, di
pojok kiri atas diselipkan sebuah kunci apartemen yang dimasukkan ke dalam
wadah plastik kecil yang diberi klip kecil. Itulah istimewanya Nolan, dia
selalu tahu untuk menyelipkan sesuatu yang pasti berguna untuk James.
Ia menyeringai singkat sembari mengeluarkan kunci itu.
Memasukkan kunci dan membukanya. Suara berderit
terdengar ketika ia membuka pintu itu.
Gelap. Tentu saja, tidak ada penghuninya!
Ia mencari sakelar lampu untuk penerangannya, karena
ia masih ingat di mana tata letak sakelar lampu di apartemen ini, dengan mudah
ia menyalakannya.
Awalnya hanya berkedip, kemudian menyala dan semakin
terang.
Berantakan.
Hmm. Tempat pembunuhannya di apartemennya sendiri,
sangat ironis.
Ia kembali membaca berkas itu, tersangkanya terlihat
benar-benar pintar, tidak meninggalkan jejak, clueless, tidak ada motif apapun. Bagi Jimmy, itu hanya omong
kosong, ia menganggap itu hanya sebuah tantangan, tidak ada pembunuh yang tidak
meninggalkan satu pun jejak. Kemudian ia melihat foto-fotonya, berantakan dan
sama persis dengan yang ia lihat sekarang.
Mereka tidak membersihkannya.
Ia memulai pencariannya dimana korban ditemukan,
bahkan luka yang diciptakan oleh sang pembunuh terlihat sangat bersih dan rapi
dalam foto itu.
Tidak seperti ada sesuatu yang diinginkan oleh sang
pembunuh, mungkin saja ini berantakan natural yang dibuat oleh korban, bahkan terlalu natural jika sang
pembunuh membuat berantakan seperti ini.
Baju, blus, sweter, bungkus camilan, semuanya tercecer
di lantai. Di ruang tamu inilah Sarah ditemukan tidak bernyawa, mengapa tidak di kamarnya saja agar korban
terlihat lebih nyaman ketika nyawanya dicabut? Dan ya, itulah Jimmy: untuk
menemukan sang pembunuh, kau harus bisa berpikir seperti kaulah pembunuhnya.
Aroma bercampur, pengap. Udaranya tidak bersih, ia
heran mengapa perempuan seperti ini mempunyai kebiasaan sepertinya, tidak hanya
laki-laki saja yang bisa berantakan.
Jimmy kemudian duduk di sofa dengan kapasitas dua
orang di sebelah pintu masuk apartemen. Hijau dan sangat berdebu ketika Jimmy
mendudukinya. Televisinya bahkan tidak dihadapkan dengan sofanya melainkan di
sisi kiri sofa. Perempuan ini mempunyai selera yang unik, absurd.
Ia menyilangkan kakinya dan mulai berpikir, apa
motifnya? Pasti ada motif!
Namun jika ternyata memang tidak ada motif, berarti
ini benar-benar akan menjadi menarik. Berkutat dengan motif selama beberapa
tahun terakhir ini memang sudah tidak membuatnya tertantang seperti ia
dihadapkan dengan kasus pertamanya dan menjadi seorang yang tidak terlalu
penting perannya; menjadi rekan seorang polisi senior yang hampir pensiun, yang
ia tahu selama ini sudah membuatnya seperti dirinya. Ia dulu tidak seperti
sekarang ini, lebih banyak berubah.
Apakah berantakan ini hanya datang ketika ia akan dijemput? Entah, untuk mencari tahu hal
itu, ia harus melakukan penyelidikan lanjut terhadap relasi dekat korban.
Mungkin ini bisa menjadi hal pertama yang bisa ia lakukan.
Lalu hal kedua? Ia masih memikirkannya.
Jimmy kemudian menoleh ke bawah, karpet putih yang masih sama berdebunya dengan hal-hal
lain yang ada di sini. Menoleh lagi, tidak jauh ke depan, rak buku yang juga berantakan, bukunya terlihat tidak
lengkap. Apa ia suka membaca? Atau hanya
mengoleksi?
Dekorasi-dekorasi di sebelah rak buku yang tidak lebih
tinggi daripada jendela juga tak luput dari penglihatannya, ada beberapa figur
yang tak ia kenal. Apa itu hobinya? Atau
hanya sesuatu untuk mengisi ruang?
Ia meninggal di sini. Di ruang di mana sesuatu akan
langsung ditemukan ketika seseorang memasuki ruangan ini. Entah, ini masih
terlalu rumit untuk ia bisa melangkah maju, kasus ini sudah terlanjur memasuki
hidupnya sejak siang hari tadi hingga tiga jam sekarang.
Berdiri, ia kembali melihat-lihat seisi ruangan. Ini bukan tempatnya. Pasti bukan di sini,
ia hanya ingin mereka mempercayai
bahwa di sinilah tempatnya, tetapi tidak. Pasti tidak di sini. Terlalu dan
bahkan sangat rapi.
Sudah berapa lama perempuan ini tinggal di sini? Itu
mungkin pertanyaan yang lebih masuk akal. Namun dengan barang yang berantakan
dan tidak ada beberapa kardus yang terlihat, sepertinya sudah cukup lama.
Jadi, apa yang harus ia lakukan sekarang?
Pertanyaannya kini berganti lagi. Tidak ada yang bisa ia dapatkan di sini,
walaupun masih terlalu dini untuk memutuskan bahwa di sini memang benar-benar
tidak ada apa-apa. Ia hanya masuk dan
duduk saja di sini.
Fokusnya masih belum bisa terkumpul hingga saat ini,
terlalu banyak yang harus ia pikirkan dalam satu waktu.
“Hm.” Ia menghela napas pendek, aroma ruangan ini tiba-tiba
membuatnya ingin keluar dengan segera. Pengap, busuk, debu. Entah apa saja yang
tercampur di situ. Mungkin ia harus mengajak Nolan atau Christi kemari untuk
lebih lanjut, karena, yah, tentu saja mereka berdua sudah mengetahui detail
kasus ini ketika ia tidak tertarik.
Ia kemudian mengambil sesuatu dari saku kiri celana
yang ia kenakan; sebungkus rokok, bukan miliknya, itu rokok yang tadi berada di
kantornya, mungkin milik Dean atau Riley,
karena tidak mungkin rokok itu milik Ryan.
Ia ambil sebatang rokok, masih ada tiga lagi tersisa,
entah mengapa rokok ini lebih menarik untuk dia lakukan sekarang. Ia pasang di
mulutnya dan kemudian menyulutnya dengan korek api yang ia ambil bersamaan
dengan bungkus rokok itu.
Percikan kecil api terbentuk dan asap mengikuti
setelahnya, membuat kepulan kecil seiring tarikan napas Jimmy. Batang rokok itu
menyusut.
Ia mematikan lampu dan keluar ruangan setelah sedotan
keduanya pada rokok itu. Ia tidak lupa untuk mengunci pintunya.
Masih tidak ada satu pun penghuni apartemen yang
terlihat, terutama di sekitar kamar yang ia masuki ini, apakah mereka semua pergi? Mungkin saja. Siapa yang tidak takut
jika ada tetanggamu yang mati dibunuh? Ia juga pasti akan pindah dari situ
secepatnya.
Ia tidak segera beranjak dari situ ketika selesai
mengunci pintu apartemen dengan papan nomor 429 yang baru ia masuki untuk
beberapa menit terakhir. Ia lebih memilih untuk menghabiskan rokok yang sedang
ia pegang. Hari ini sudah satu dan akan
dua setelah ini.
Entah, terkadang ia ingin hidup lebih lama lagi dengan
berhenti berkutat dengan rokok, namun di samping itu ia tidak peduli jika ia
tidak bisa hidup lama untuk menjadi seseorang yang istimewa. Istimewa bukan hal
yang tepat untuk dirinya. Tidak.
Satu per empat rokok itu sudah habis dalam hitungan
menit-menit awal, kini ia mulai berjalan ke arah tangga. Tanpa tujuan yang
pasti ia melangkahkan kakinya menuju tangga yang berada di sudut lorong,
apartemen ini terlihat seperti hotel. Mungkin ia harus pulang, mungkin juga ia
harus kembali ke kantor, meluruskan
beberapa hal yang perlu diluruskan.
--